Mohon tunggu...
Sam Pasai
Sam Pasai Mohon Tunggu... -

Pengkhayal gila ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mirah

24 November 2010   19:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:20 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Pasar VII, besok ku ambil alih," kata Jenal dingin.

Bagi Kha, ancaman suksesi serupa sayat bagi daging: tak cukup mengusik untuk membuatnya panik. Kalau bukan karena alasan yang melatari tato baru di lengan kirinya, Kha masih serius memungut lalat nahas dalam gelas berisi bir. Tapi ia hentikan itu, lantas melanggar tabu bikinannya sendiri, melunak kepada sesama preman.

"Tak usah bikin ribut. Begini, kuberi kau lokasi parkir yang sebelah Timur."

Jenal nekan-nekan puntung rokok ke dalam asbak lalu beranjak pergi. Ia berpesan kepada Kha di balik punggungnya.

"Aku bukan meminta tapi ‘kan mengambil-alih, semua. Jam 12 nanti malam kutunggu kau di gang Sentosa. Kita main, sampai habis."

Krak! Gelas pecah dalam genggaman Kha. "Anjing," desisnya.

***

Malam tegak. Klakson kendaraan dan mesin butut becak bikin semrawut. Gerombolan punk jalan sambil tertawa-tawa, menyalip-nyalip perempuan yang berdiri di sepanjang trotoar. Aroma lipstik membaur dengan sate dan bakso. Seseorang menyimak berita lewat radio transistor dalam becak yang lagi parkir.

***

"JENAL!"

Penghuni rumah kiri kanan gang Sentosa mengunci pintu dari dalam. Televisi dimatikan. Dari gelap, Jenal meloncat ke tengah jalan, menghadapi Kha yang berada delapan meter di depannya.

Senyap menggigil. Dedaunan berkerisik.

Siap mengecup lengannya yang bertato kaligrafi MIRAH, tiba-tiba Kha berlari ke arah Jenal. Cring-cring-cring, bunga api berloncatan dari ujung kelewang yang diseret-seret pada jalan.

Jenal lompat menerkam. Semasih di udara tangannya menyelip ke belakang lantas sebilah kapak telah teracung, mengarah ke kepala Kha.

***

"Usy-usy-usy... dieeem... diem nak udah larut."

Mirah, bayi berusia lima bulan, menangis keras-keras. Ia menepis susu botolan. ASI pun tak berhasil menenangkan. Jena menggendongnya ke beranda.

"Ninabobo o ninabobo, ya Allah, diem nak diem... usy-usy-usy."

Tangis Mirah menjerit-jerit.

Reranting kering seakan urat nadi pada bulan: purnama berdenyut-denyut. Airmata Jena netes segulir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun