Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan luas yang besar dan berpenduduk besar. Besarnya jumlah penduduk berasal dari beragam suku bangsa dan agama. Indonesia menjadi negara pemilik pemeluk agama terbanyak di dunia. Tidak banyak negara yang bisa seperti Indonesia. Beberapa negara hanya menjadikan dua sampai tiga agama saja dalam negaranya.
Selain suku bangsa yang jumlahnya amat banyak, tiap suku bangsa pun punya kebebasan memeluk agama yang dipiliih. Ini adalah bukti betapa para pendahulu negeri ini sangat mengedepankan toleransi dengan menjadikan agama-agama lain yang bukan dianutnya menjadi agama yang diakui negara.
Isu-isu agama sebenarnya sudah muncul sebelum era reformasi. Isu jilbab racun menyebabkan umat Islam tidak berani menggunakan jilbab secara tertutup di ruang-ruang publik. Meski isu yang mendiskriditkan agama bermunculan, namun majelis ilmu agama tetap rutin diadakan tanpa merasa takut dan terancam.
Kajian-kajian agama bersifat mendasar sehingga masyarakat memiliki fondasi yang kuat dalam bertoleransi. Tak heran, perbedaan pendapat seperti apapun bisa disikapi dengan dewasa. Agama saat itu justru yang menjadi basis kekuatan bangsa dari tantangan yang kerap mendera bangsa.
Saat itu, bertetangga dengan non muslim tidak pernah ada masalah. Bahkan kami saling berkunjung di saat hari raya masing-masing. Berhubung dalam Islam tidak boleh mengucapkan selamat natal, kami tetap datang dengan mengucapkan “Selamat Hari Raya”. Tidak ada rasa tersinggung sama sekali dari tetangga saya yang Kristen Protestan karena mereka tahu bahwa itu adalah hal yang prinsip bagi kami.
Bahkan mereka pernah mengadakan pesta ulang tahun anaknya dan ternyata hanya keluarga kami yang diundangnya. Katanya, mereka lebih nyaman dengan keluarga kami ketimbang dengan tetangga-tetangga yang lain meski banyak yang seagama dengan mereka. Hingga kini, kami rutin saling berkunjung di hari raya dan saling bertukar makanan menjelang hari raya.
Atau ketika saya dan teman saya yang beragama Budha sedang membahas suatu persoalan dari sisi agama kami masing-masing. Ternyata masing-masing agama punya jawaban yang unik. Tapi kami pun bisa memberikan alasannya tanpa saling menyudutkan.
Perubahan di Era Reformasi
Era reformasi yang telah membuka keran-keran informasi memberikan efek di mana-mana, salah satunya dalam semangat beragama. Beragam media-media Islam yang membahas isu politik negara dan peperangan di berbagai negara dengan umat Islam sebagai korbannya bermunculan.
Era reformasi menjadi kesempatan untuk menyampaikan berbagai opini yang sebelumnya terbelenggu. Geliat gairah beragama terlihat di mana-mana. Kajian-kajian islam modern dan kontemporer bermunculan. Mayoritas kajian ini diisi dengan kajian politik dan ekonomi. Hal ini terkait dengan masalah negara saat itu dan rasa ingin tahu yang begitu besar dari para penganut agama, terutama mereka yang tidak punya dasarnya.
Agak berbeda dengan era ’90-an, kajian agama pasca reformasi (di era 2000-an) sifatnya lebih tematis agar lebih praktis menopang semangat keberagamaan. Sayangnya, era ini tidak diimbangi dengan penyadaran akan pentingnya memahami secara menyeluruh segala sesuatu lalu kemudian berpendapat di hadapan publik. Akibatnya, isu apapun yang hadir di ruang-ruang publik mendadak menjadi isu yang sensitif dan kericuhan pun kerap terjadi.
Ghirah beragama ini masih sekedar ingin bisa berpendapat di ruang-ruang publik dengan mengikuti sumber-sumber tertentu terutama internet. Ghirah beragama yang tidak sabar dan mengikuti begitu saja orang yang pendapatnya diikuti oleh orang banyak tanpa ditelaah dahulu kebenarannya. Ibarat orang yang belum bisa berkendara tapi langsung belajar balapan. Risikonya, pasti tabrakan terjadi di mana-mana karena belum mengerti prinsip berkendara secara mendasar.
Inilah yang terjadi pada bangsa Indonesia kini. Kajian-kajian agama begitu marak tapi minim fondasi. Jarang sekali ditemukan kajian yang membahas tentang akhlak terhadap sesama manusia. Padahal agama diturunkan untuk memperbaiki akhlak. Padahal agama diturunkan sebagai rahmat seru sekalian alam[1].
Di era ini gesekan agama lebih sering terasa karena akses informasi yang lebih mudah. Masyarakat belum dewasa dalam berdemokrasi sehingga mudah terprovokasi. Kasus bom Bali, JW Marriot adalah contoh sikap beragama yang salah kaprah.
Berpendapat di Media Sosial
Munculnya media sosial makin memudahkan siapapun untuk menyampaikan pendapatnya di muka umum. Kebutuhan akan eksistensi diri membuat siapapun berani berpendapat tanpa dasar yang jelas. Jika ada status yang tidak sesuai dengan nilai yang dipegangnya, maka dengan mudah dibantah. Ada bantahan halus yang masih mengindahkan nilai-nilai kesopanan. Namun lebih banyak bantahan yang sifatnya justru menyerang karakter sang pembuat status. Twitwar dan balasan terhadap status tertentu di Facebook marak terjadi.
Namun hal ini belum tentu menjadi gambaran kondisi rakyat Indonesia secara menyeluruh. Pertama, akses internet di Indonesia belum sampai ke pelosok negeri. Kedua, mayoritas yang senang melakukan penyerangan karakter di media sosial berada pada usia di bawah 30 tahun[2]. Ketiga, mereka yang menghabiskan waktunya untuk selalu kontroversial di media sosial dapat dipastikan tidak memiliki kesibukan di luar itu.
Untuk itu, sebelum meneruskan informasi yang diterima, ada baiknya dicek dahulu kebenarannya. Pastikan ada unsur 5W+1H[3] di dalamnya. Pastikan kejelasan sumber berita, biasanya berupa link alamat referensi berita tersebut.
Biasanya menjelang Natal selalu Fecebook dan Twitter diramaikan isu ucapan selamat natal. Isu ini adalah isu lama yang dinaikkan kembali. Dalam dunia nyata pun sebenarnya tidak ada yang meributkannya.
Terpenting dalam menghadapi isu-isu di media sosial adalah jangan mudah terpengaruh. Biasakan bersikap mandiri dan kembangkan keyakinan bahwa agama manapun tidak pernah melakukan ajaran untuk mengikuti Ibadah agama lainnya. Penting untuk melakukan cross check ke sumbernya langsung.
Sosialisali netiket juga penting untuk dilakukan. Netiket[4] membahas tentang etika dalam berinteraksi di media sosial. Ujaran kebencian termasuk pelanggaran netiket yang sanksinya dijabarkan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronika (UU ITE). Selama ini baru segelintir orang yang mengetahui netiket. Untuk ke depannya, netiket bisa dijadikan salah satu bab dalam mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di sekolah-sekolah.
[2] Hasil riset Markplus Insight. Sumber: id.techinasia.com/tingkah-laku-pengguna-internet-indonesia
[3] When, where, what, why, who + How. Unsur keabsahan berita dilihat dari 5W +1H. Jika tidak memenuhi semua unsur 5W+1H, berita dianggap tidak valid.
[4] Netiket bersumber dari International Engineering Task Force (IETF) dan di Indonesia diserap melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Artikel ini diikutsertakan dalam Kompetisi Blog yang diselenggarakan oleh ICRS dan Sebangsa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H