Ghirah beragama ini masih sekedar ingin bisa berpendapat di ruang-ruang publik dengan mengikuti sumber-sumber tertentu terutama internet. Ghirah beragama yang tidak sabar dan mengikuti begitu saja orang yang pendapatnya diikuti oleh orang banyak tanpa ditelaah dahulu kebenarannya. Ibarat orang yang belum bisa berkendara tapi langsung belajar balapan. Risikonya, pasti tabrakan terjadi di mana-mana karena belum mengerti prinsip berkendara secara mendasar.
Inilah yang terjadi pada bangsa Indonesia kini. Kajian-kajian agama begitu marak tapi minim fondasi. Jarang sekali ditemukan kajian yang membahas tentang akhlak terhadap sesama manusia. Padahal agama diturunkan untuk memperbaiki akhlak. Padahal agama diturunkan sebagai rahmat seru sekalian alam[1].
Di era ini gesekan agama lebih sering terasa karena akses informasi yang lebih mudah. Masyarakat belum dewasa dalam berdemokrasi sehingga mudah terprovokasi. Kasus bom Bali, JW Marriot adalah contoh sikap beragama yang salah kaprah.
Berpendapat di Media Sosial
Munculnya media sosial makin memudahkan siapapun untuk menyampaikan pendapatnya di muka umum. Kebutuhan akan eksistensi diri membuat siapapun berani berpendapat tanpa dasar yang jelas. Jika ada status yang tidak sesuai dengan nilai yang dipegangnya, maka dengan mudah dibantah. Ada bantahan halus yang masih mengindahkan nilai-nilai kesopanan. Namun lebih banyak bantahan yang sifatnya justru menyerang karakter sang pembuat status. Twitwar dan balasan terhadap status tertentu di Facebook marak terjadi.
Namun hal ini belum tentu menjadi gambaran kondisi rakyat Indonesia secara menyeluruh. Pertama, akses internet di Indonesia belum sampai ke pelosok negeri. Kedua, mayoritas yang senang melakukan penyerangan karakter di media sosial berada pada usia di bawah 30 tahun[2]. Ketiga, mereka yang menghabiskan waktunya untuk selalu kontroversial di media sosial dapat dipastikan tidak memiliki kesibukan di luar itu.
Untuk itu, sebelum meneruskan informasi yang diterima, ada baiknya dicek dahulu kebenarannya. Pastikan ada unsur 5W+1H[3] di dalamnya. Pastikan kejelasan sumber berita, biasanya berupa link alamat referensi berita tersebut.
Biasanya menjelang Natal selalu Fecebook dan Twitter diramaikan isu ucapan selamat natal. Isu ini adalah isu lama yang dinaikkan kembali. Dalam dunia nyata pun sebenarnya tidak ada yang meributkannya.
Terpenting dalam menghadapi isu-isu di media sosial adalah jangan mudah terpengaruh. Biasakan bersikap mandiri dan kembangkan keyakinan bahwa agama manapun tidak pernah melakukan ajaran untuk mengikuti Ibadah agama lainnya. Penting untuk melakukan cross check ke sumbernya langsung.
Sosialisali netiket juga penting untuk dilakukan. Netiket[4] membahas tentang etika dalam berinteraksi di media sosial. Ujaran kebencian termasuk pelanggaran netiket yang sanksinya dijabarkan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronika (UU ITE). Selama ini baru segelintir orang yang mengetahui netiket. Untuk ke depannya, netiket bisa dijadikan salah satu bab dalam mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di sekolah-sekolah.Â