“Ram, nggak tarawih? Udah azan, tuh,”
Suara Harlan, teman satu sel, memotong lamunanku. Harlan, dia juga senasib denganku; mendekam di jeruji besi ini. Bedanya, dia memang benar-benar pernah berbuat kekhilafan. Lima bulan yang lalu dia diringkus polisi saat terbukti membawa kabur kendaraan roda dua yang tengah diparkir di pinggir jalan. Tapi aku bersyukur, nampaknya dia kini sudah menyesali perbuatannya. Dialah satu-satunya teman satu sel yang kurasa paling cocok untuk berbagi hati menumpah segala kesah. Meski dia bukan seorang muslim. Tapi yang aku saluti dari Harlan adalah; dia begitu menghormati agama lain. Bahkan kerap mengingatkanku sudah shalat apa belum saat terdengar suara azan dari corong mushala yang ada di dalam sel tahanan ini. Ah, bahkan teman-temanku sesama muslim saat di kampung pun, tak sebegitu perhatiannya mengingatkan aku untuk lekas menunaikan shalat.
Segera kuusap bebutir embun yang terlanjur meleleh di kedua pipiku yang kini kurasa kian tirus saja. Betapa aku sangat sedih dan down, di bulan Ramadan yang penuh kemuliaan, aku mesti terkurung di rumah para pesakitan ini. Ya, Rabb, inikah yang Engkau sebut bulan penuh hikmah itu? Ya, sejatinya aku tengah berusaha ikhlas dan mengambil hikmah besar dengan takdir yang kuhadapi sekarang. Meski berasa pahit. Meski aku tak bersalah. Meski aku hanya dimanfaatkan. Tapi, aku yakin, Tuhan tidak tidur. Kebenaran pada suatu ketika pasti akan datang menjemputku.
“Ram, sudahlah. Tak perlu kau terlalu larut dalam kesedihan. Mohonlah pada Tuhanmu, agar selekasnya kau bisa terbebas dari tempat ini,” kata Harlan lirih seraya merangkul bahuku. Ah, sejatinya aku merasa tertohok dengan perkataan Harlan. Bukankah kemarin aku juga pernah mengatakan hal itu padanya?
“Aku tarawih dulu, ya,” sahutku seraya tersenyum padanya.
Gegas kulangkahkan kaki menuju mushala yang lokasinya berada paling ujung di sel tahanan ini. Sungguh tak kusangka, jika Ramadan kali ini, aku harus bertarawih di sini, bersama para tahanan lain yang masih menyadari bahwa mereka masih memiliki Tuhan sebagai tempat mengadukan segala kesah sekaligus obat penawar jiwa yang tengah terluka.
***
Puring Kebumen, Juni 2011
Glosarium:
- Le : panggilan kepada anak lelaki.