“O’iya?” wajahku sontak sumringah begitu mendengar ada harapan besar aku akan diterima kerja di tempat yang layak dan enak. “Emang aku mau ndaftar kerja ke mana sih,” lanjutku kali ini mengerut kening.
“Udah, tak perlu kujelasin sekarang, besok jika tiba masanya, kau akan tau sendirilah, yang terpenting sekarang, kau ikuti saranku dulu, oke?”
Entah, aku seperti kerbau yang dicocok hidungnya yang tanpa berpikir panjang lagi langsung mengiyakan ucapan Rendi dengan perasaan girang bukan kepalang. Meski ada sebersit rasa heran di hati tentang apa sebenarnya pekerjaan yang dimaksud Rendi, tapi aku tak banyak nanya lagi. Yang aku rasa, aku semakin yakin, bahwa Rendi adalah teman yang sangat baik, bahkan melebihi saudara. Meski aku belum pernah merasakan kayak gimana punya saudara kandung. Tersebab aku ini hanyalah anak tunggal ayah-ibu. Ada kelainan di rahim ibu, yang menurut vonis dokter akan sangat rawan jika ibu nekat mengandung lagi.
***
Betapa paniknya aku, saat gendang telingaku mendengar suara ribut-ribut disertai gedoran pintu dan sesekali teriakan laki-laki dan perempuan. Lekas kubuka kedua kelopak mataku yang masih berasa perih. Aku langsung terlonjak begitu menarik kain selimut tapi tak mendapati sehelai pakaian pun menempel di kujur tubuhku. Dan aku kian histeris saat melihat seorang perempuan paruh baya yang terlihat panik seraya merapikan pakaiannya di pinggir ranjang.
“Buruan! Pakai bajumu, ada razia!” suara panik perempuan yang lebih tepat disebut tante itu kian menghentak telinga. Apa? Razia? Ta… tapi, aku ini ada di mana? Kenapa tiba-tiba aku berada di kamar ini bersama seorang perempuan yang… ah, aku segera merutuki diri saat kesadaranku mulai mengutuh. Betapa tololnya diriku, tak menyadari sejak awal pekerjaan macam apa yang ditawarkan Rendi padaku. Sungguh, aku tak menaruh se-inci-pun rasa curiga saat Rendi mengajakku ke sebuah cafe, dan kepalaku langsung berasa pening saat minuman yang rasanya agak aneh itu melunas di tenggorokanku.
Pintu kamar ini didobrak dengan kasar dari luar bertepatan saat aku selesai mengenakan celana jeans biruku. Dua petugas keamanan bertampang sangar dan tak bersahabat langsung meringkusku dan perempuan paruh baya berwajah masai yang terus memburaikan air mata itu. Kutahan sekuat tenaga perihnya hati dan buliran hangat yang dalam sekejap langsung menyesaki kedua kantung mataku. Meski akhirnya menetes juga.
Rupanya, minuman itu yang membuat kepalaku tiba-tiba berasa pening dan… ah, lagi-lagi aku masih sulit memercayai, jika Rendi bisa setega itu padaku. Ternyata selama ini kebaikan-kebaikan yang ditawarkan padaku hanyalah lipsync. Semu. Dia hanya memanfaatkanku saja. Entah, berada di mana ia sekarang…
Dan, betapa aku sangat terpukul saat mendengar ketuk palu sang hakim. Aku divonis empat tahun panjara. Karena terbukti berbuat mesum dengan istri orang. Katanya, hukuman itu sudah lebih ringan dari aslinya. Karena aku tetap membelot tak mengakuinya sementara perempuan paruh baya itu lebih banyak diam saat ditanya ini-itu di pengadilan. Aku kian bertambah shock saat mendengar hasil tes urine malam itu. Katanya, aku positif mengonsumsi narkoba. Ya, Rabb. Sungguh terasa pedih nian vonis itu. Jangankan mengonsumsi. Mencicipi setetes pun aku belum pernah dan tak ada hasrat untuk mencoba barang haram yang dilaknat Tuhan itu.
Rupanya, tanpa sepengetahuanku, Rendilah yang telah membubuhi minumanku—saat di kafe malam itu—dengan alkohol. Operasi pekat (penyakit masyarakat) yang digelar para petugas keamanan dalam rangka jelang Ramadan yang sasaran utamanya adalah miras (minuman keras), perjudian, prostisusi, dan anjal (anak-anak jalanan) pada malam jahanam itu langsung telak menyadarkan, betapa aku selama ini nyaris melupa dengan pesan ayah; jujur kuakui, beberapa kali secara sadar aku meninggalkan shalat.
***