Dengan gurat sedih, akhirnya ayah dan ibu melepasku juga, mencari peruntungan ke Jakarta. Aku masih ingat dengan bebutir embun yang mendadak menyesaki dua kantung mata keriput ibu saat kumelepas pelukannya sebelum aku naik angkot yang akan mengantarku menuju terminal. Beda dengan ayah yang meski wajahnya juga terlipat sedih, tapi beliau mampu menyembunyikan rasa itu dengan selengkung senyum yang terukir dusta di bibir kisutnya.
“Le, ayah hanya pesan, jangan pernah tinggalkan shalat, karena dengan shalat insya Allah kau bisa terhindar dari pekerjaan yang keji dan mungkar,” ucap lirih ayah sebelum aku melangkah menuju angkot.
“Inggih, Yah. Kulo janji bade teras eling pesan Ayah,” balasku waktu itu. Sementara tak ada lagi kata-kata yang terucap dari bibir keriput ibu. Ah, bahkan kedua kantung mataku pun langsung disesaki embun saat melihat rona kesedihan memancar di wajah perempuan yang telah mengandungku dengan susah payah selama sembilan bulan itu.
***
Kebetulan aku punya teman—namanya Rendi, kakak kelasku waktu SMA—yang telah dua tahun bekerja dan menetap di Jakarta. Entah berprofesi sebagai apa dia, aku tak menahu, sebab dia tak pernah mau berterus terang bahkan hanya menyungging senyum manis saat teman-teman (termasuk aku) menanyai tentang pekerjaannya di Jakarta.
Yang aku tahu, Rendi selalu bawa uang banyak saat mudik ke kampung halaman. Aku, yang semasa SMA kenal lumayan akrab dengannya, kerap ditraktir saat aku diajaknya jalan-jalan ke pantai Logending, goa Jatijajar, goa Karangbolong, atau tempat-tempat pariwisata lain yang lumayan banyak di kota kelahiranku. Beberapa kali, Rendi mentraktir aku makan sate ayam ambal—sate ayam khas kota Kebumen dengan minuman es dawet hitam yang rasanya seger bukan main jika diminum pas siang bolong sepulang dari tempat-tempat pariwisata itu.
Ya, di tempat kos Rendilah aku tinggal untuk sementara. O, sebentar aku ralat. Bukan, bukan sementara malah. Bahkan sejak pertama kali aku tiba di Jakarta, Rendi langsung menawariku agar tinggal saja di sana selama aku betah dan mau.
“Soal biaya kos, tak usahlah kau risaukan. Tenang, aku yang tanggung,” Begitu katanya seraya mengulum senyum. Tentu, tawaran manis itu langsung membuatku kian merasa yakin bahwa Rendi adalah teman yang sangat baik. Teman yang tak egois, sebagaimana teman-temanku kebanyakan yang hanya pada saat susah saja datang menumpah segala kesah. Tapi giliran aku yang tengah dirundung masalah, mereka kabur entah kemana.
Selama seminggu aku hanya menganggur. Makan, tidur dan nonton televisi. Bingung mesti kerja apa. Sungguh, ijazah SMA-ku tak ada artinya di kota sebesar Jakarta. Minimal D2—S1 syarat bagi para pelamar pekerjaan. Itu pun masih disertai embel-embel sudah pernah punya riwayat pengalaman kerja di mana, bla-bla-bla. Hingga nyaris setengah putus asa akhirnya kukatakan pada Rendi, bahwa bukan masalah jika aku nanti bekerja jadi tukang cuci atau pelayan di rumah makan. Meski gajinya sangatlah tak memadai buat hidup di kota besar. Tapi, entah kenapa, Rendi yang justru keberatan jika aku sampai menghambakan diri jadi pelayan kelas rendahan.
“Hei, coba kau lihat dengan detail wajah dan fisikmu itu, Boy!” ucap Rendi seraya memicing mata dan dengan gerak lekas menarik lenganku ke depan cermin yang menempel di tembok putih kamar kosnya.
“Lihat! Wajahmu lumayan oke, badanmu meski agak kurus, tapi dengan rajin nge-gym, aku jamin dalam sekejap body-mu nggak kalah beda dengan Dimas Seto atau Tommy Kurniawan, dan itu berarti kamu bakal bisa ngedapetin kerja yang enak dan mantap!” lanjutnya sementara aku masih melongo, belum memaham ke mana sebenarnya arah pembicaraannya.