(oleh: Sam Edy Yuswanto)
Perkenalkan. Namaku Rama. Lengkapnya; Muhammad Ramadan. Sejak kecil, orangtuaku biasa memanggil Rama. Simpel dan keren, ya? Menurut cerita ibu, katanya saat aku terlahir ke dunia, ngepasi bulan Ramadan. Tepatnya pada hari kedua. Biar beroleh berkahnya bulan Ramadan yang mulia. Begitu alasan ayah saat memberikan nama itu. Sementara kalimat “Muhammad” hanyalah sekadar tambahan saja. Tapi sengaja ayah bubuhkan di awal, tersebab Muhammad diambil dari nama depan Nabi kita yang berakhlak mulia. Takut kualat jika ditaruh di belakang. Begitu alasan polos ayah yang jika direnungi secara mendalam memang ada benarnya juga.
Sungguh sangat luar biasa makna yang terkandung pada kedua namaku itu; Muhammad Ramadan. Dengan nama tersebut, ayah juga mengeram harap, kelak aku bisa meneladani perilaku mulia Nabi Muhammad SAW. Hmm, tapi itu adalah cerita dulu kala. Coba kalian lihat takdir yang tengah menjagalku sekarang. O, sungguh teramat sangat kontras sekali alias bertolak belakang dengan nama yang kadung menyemati diriku. Betapa tak? Saat ini—tepatnya empat hari yang lalu jelang bulan Ramadan—aku dipaksa meringkuk di sini; ruang sempit, pengap, kotor, sekaligus bau pesing jika embus angin tengah menyeruak ke dalam ruangan ini. Maklum, kamar mandi yang hanya tersekat tembok satu setengah meter tanpa pintu berada persis di sebelah sel tahanan ini. Ya, jeruji besi adalah tempat tinggalku kini.
Semuanya berawal saat aku, setamat SMA, nekat merantau ke kota Jakarta. Kota yang dihuni jutaan penduduk dari berbagai lapisan daerah yang terpaksa memburuhkan dirinya di pabrik-pabrik, kantor atau PT, tersebab begitu membingungnya mengais lembar rupiah di tanah kelahiran sendiri. Aku termasuk salah satu di antara orang yang berambisi memburuhkan diri di kota besar itu. Tak ada biaya buat melanjutkan kuliah menjadi alasan utamaku merantau ke ibu kota. Di saat banyak teman-temanku yang meneruskan kuliah di berbagai universitas ternama di kota-kota besar, sementara ayah-ibuku dengan wajah lesu mengatakan sudah tak sanggup lagi membiayai study-ku. Meski aku menyadari dengan keterbatasan perekonomian keluarga, namun wajahku langsung berlipat kesal saat ayah-ibuku mengatakan kenyataan pahit yang telak menusuk dadaku kala itu.
Saking kebeletnya kuliah, sempat beberapa kali aku mengikuti tes penyaringan beasiswa yang diadakan oleh sebuah instansi pemerintah. Tapi…, hanya gumpal kecewa yang kudapat. Aku tak pernah lolos. Bukan karena aku anak bodoh yang tak mampu menjawab berpuluh soal ujian itu. Sungguh, aku yakin bukan itu sebabnya. Asal kalian tahu, sejak SD aku selalu ranking tiga hingga sepuluh besar. Dari puluhan soal itu, aku masih ingat, hanya beberapa saja yang aku ragu menjawabnya. Soal-soal ujian yang lain, aku sangat yakin dengan kesahihan jawabannya. Sementara banyak peserta ujian mengaku, katanya soal-soal ujiannya banyak yang sulit dan merasa pesimis bisa lolos.
Dan yang membuatku berang bukan kepalang, menurut rumor yang beredar, katanya, mereka yang lolos, sebelumnya sudah kongkalikong dulu dengan instansi yang bersangkutan. Hei, aku yakin, kalian pasti tak lagi heran mendengar rumor tersebut, kan? Bukankah kasus suap menyuap di negeri ini sudah begitu mentradisi dan mendarah daging? Lha, para hakim dan jaksa yang seharusnya bersikap adil dan tegas memutuskan hukum secara obyektif saja bisa disuap, kok. Apalagi pegawai kelas rendahan yang hanya berkutat di kantor-kantor daerah, tentu peluang suap-menyuap akan lebih mudah dilakukan.
Baiklah, aku tak mau membicarakan itu lagi. Hanya menambah luka di hati. Biarlah itu menjadi urusan mereka dengan Tuhan. Aku yakin, hukum Tuhan akan mampu menegakkan keadilan yang sesungguhnya. Ups! Ada rasa perih yang tiba-tiba saja menyeruak ke sekujur tubuh ini. Bukankah posisiku sekarang adalah seorang pesakitan yang tengah menjalani hukuman di bui?
Tapi… sumpah demi Tuhan dan Rasul-Nya, aku berada di sini bukan karena aku telah melakukan kekhilafan. Sungguh, aku hanya korban salah tangkap. Sayangnya, tak ada bukti yang bisa menguatkan aku bisa terbebas lega dari tempat kelam ini. Mungkin, jika aku adalah pejabat tingkat tinggi sepadan menteri, akan lain jalan ceritanya. Kemungkinan besar, aku akan mudah terbebas dari jerat hukuman.
Sayangnya, aku hanya jelata yang tak memiliki ‘jimat fulus’ buat merogoh hati para penegak hukum yang kerap jadi amnesia dan plin-plan saat melihat setumpuk kertas licin warna merah berkilat. O, maaf, jika aku terlalu buruk sangka kepada para pejabat tinggi di negeri ini. Sungguh bukan aku menuduh tanpa bukti. Tapi sejarah para pejabat dan penegak hukum yang tersandung masalah suap atau korupsi telah membuktikan keakuratannya. Meskipun jauh di dasar lubuk sanubari, sungguh aku masih menyimpan sekeping keyakinan dan harapan, bahwa masih banyak di sana, orang-orang yang mau menegakkan amanah serta keadilan sebagaimana telah dicontohkan oleh baginda Rasulullah SAW.
O, perih nian jika aku mengingat semua hingga akhirnya harus meringkuk pasrah di hotel prodeo ini. Ya, setelah faktor biaya menjadi kendala utamaku tak bisa melanjutkan kuliah, beberapa bulan kemudian, aku nekat merantau ke kota Jakarta. Kota yang menjadi seribu tumpuan kehidupan bagi jutaan penduduk negeri ini. Aku ingin cari uang. Kerja apapun nanti, aku siap. Asal halal. Begitu patri tekadku saat itu. Meski sejatinya, ayah-ibu setengah hati merestui keputusanku. Tersebab mereka tahu, nyari kerja di kota besar seperti Jakarta itu tak gampang. Terlebih aku yang hanya lulusan SMA dan belum punya pengalaman kerja (kecuali kerja kasar jadi buruh tani di sawah. Hanya itu).