Mohon tunggu...
Saly Afwa
Saly Afwa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Undergraduated Psychology Student at Brawijaya University

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Emotional Eating, Mengapa Stres dan Sedih Membuat Kita Ingin Terus Makan?

2 Desember 2024   07:33 Diperbarui: 2 Desember 2024   07:57 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ini terinspirasi dari gambar yang diambil dari situs: www.familydoctor.org.

Pernahkah Anda ingin makan hanya untuk mencari kenyamanan saat sedang stres atau sedih?  Nah, fenomena ini disebut emotional eating, loh! Banyak orang yang mengalami hal ini tanpa menyadarinya. Padahal, hal tersebut dapat memengaruhi kesehatan fisik dan mental. Lalu, bagaimana siklus emotional eating itu terjadi? Yuk, simak artikel ini selengkapnya.

Emotional eating adalah suatu kebiasaan makan yang dipicu oleh emosi, bukan karena rasa lapar fisik. Biasanya, seseorang makan untuk meredakan perasaan stres, kesedihan, atau kecemasan. 

Fenomena ini menjadi perhatian masyarakat karena sering kali melibatkan konsumsi makanan tinggi gula atau lemak yang memberikan rasa nyaman sesaat. Menurut penelitian, emotional eating sering muncul sebagai respons adaptif terhadap tekanan psikologis, meskipun dampaknya cenderung merugikan dalam jangka panjang (Van Strien, 2018). 

Selain itu, emotional eating juga dapat dipengaruhi oleh faktor biologis seperti hormon kortisol yang dilepaskan tubuh saat stres. Hal ini dapat meningkatkan keinginan untuk mengonsumsi makanan tertentu.

Menggunakan makanan sebagai hadiah atau cara merayakan sesuatu sebenarnya bukanlah hal yang buruk. Namun, jika makan menjadi mekanisme utama untuk menghadapi emosi misalnya, setiap kali merasa stres, kesal, marah, kesepian, lelah, atau bosan Anda langsung membuka kulkas, hal ini dapat menjadi siklus yang tidak sehat. 

Dalam situasi seperti ini, perasaan atau masalah yang mendasari sering kali tidak pernah benar-benar terselesaikan.Rasa lapar emosional tidak akan terpuaskan dengan makanan. 

Memang, makan mungkin memberikan kenyamanan sesaat, tetapi emosi yang memicunya akan tetap ada. Lebih parahnya, Anda mungkin justru merasa lebih buruk setelahnya, karena menyadari telah mengonsumsi kalori yang sebenarnya tidak diperlukan. Rasa bersalah akibat merasa kurang disiplin atau tidak memiliki kemauan yang kuat sering kali muncul, yang justru memperburuk keadaan.

Masalah ini juga dapat berdampak lebih jauh seperti, Anda menjadi sulit menemukan cara yang lebih sehat untuk menghadapi emosi, kesulitan mengendalikan berat badan, dan merasa semakin tidak berdaya terhadap makanan maupun perasaan Anda sendiri. 

Meski begitu, kondisi ini bukan berarti tidak bisa diubah. Anda tetap memiliki kesempatan untuk melakukan perubahan positif. Anda bisa keluar dari siklus emotional eating ini dengan belajar menghadapi emosi secara lebih sehat, menghindari pemicu, mengelola keinginan, dan memahami diri sendiri.

Penyebab Emotional Eating

  • Respons Terhadap Emosi Negatif

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun