Mohon tunggu...
Salwa KhoirunNisa
Salwa KhoirunNisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Seorang mahasiswa hubungan internasional yang sangat tertarik untuk mengkaji dan menganalisis isu-isu terhangat dalam dunia internasional.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Konstruksi Struktur Ideasional Korea Utara dan Peran Diplomatik Indonesia dalam Meredakan Potensi Perang Nuklir di Semenanjung Korea

14 September 2024   02:21 Diperbarui: 14 September 2024   02:53 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Ancaman nuklir di Semenanjung Korea telah menjadi salah satu isu keamanan global yang mulai mendapatkan perhatian serius dalam beberapa dekade terakhir. Korea Utara, dengan program nuklir dan rudal balistiknya, telah menciptakan ketegangan dan ketidakstabilan yang signifikan di kawasan Asia Timur. Potensi eskalasi konflik di Semenanjung Korea membawa implikasi yang lebih luas bagi stabilitas dan keamanan internasional. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana tindakan radikal Korea Utara dapat dipahami melalui konstruksi ide-ide yang mendasari identitas nasional mereka, serta bagaimana interaksi dengan aktor internasional memengaruhi tindakan mereka. Lebih lanjut, artikel ini akan mengeksplorasi peran diplomatik Indonesia dalam meredakan potensi perang nuklir melalui jalur diplomasi.

Analisis Tindakan Radikal Korea Utara Melalui Perspektif Konstruktivis

Menurut teori konstruktivis, tindakan negara tidak hanya dipandu oleh motif materialistik, tetapi juga dipengaruhi oleh ide-ide, identitas, dan interaksi sosial. Alexander Wendt (1995) berpendapat bahwa sumber daya material hanya memperoleh makna melalui struktur pengetahuan bersama di mana mereka tertanam. Begitupun yang terjadi terhadap Korea Utara dimana persepsi dan identitas Korea Utara dibentuk oleh interaksi ideologis, baik secara internal maupun eksternal. Korea Utara dipandang sebagai ancaman oleh banyak negara bukan semata-mata karena kemampuan nuklirnya, tetapi juga karena identitas yang diciptakan dalam tatanan internasional.

Korea Utara telah membangun citra yang dinilai 'radikal' dengan menganut doktrin Juche dan Songun. Korea Utara secara ideologis dibangun di atas doktrin Juche, sebuah konsep yang diperkenalkan oleh pendiri negara, Kim Il-sung, dan kemudian dikembangkan oleh para penerusnya. Juche dapat diterjemahkan sebagai "kemandirian" atau "kedaulatan," dan dalam praktiknya, doktrin ini telah menjadi fondasi dari segala aspek kehidupan politik dan sosial di Korea Utara. Juche mengedepankan prinsip bahwa Korea Utara harus berdiri sendiri dalam politik, ekonomi, dan militer tanpa bergantung pada negara lain.

Ideologi ini membentuk kebijakan luar negeri Pyongyang, terutama terkait pengembangan senjata nuklir. Dari perspektif Juche, senjata nuklir dianggap sebagai simbol kedaulatan dan kekuatan, memberikan Korea Utara alat negosiasi yang kuat di kancah internasional. Dalam lingkungan geopolitik yang dianggap bermusuhan, Korea Utara memandang senjata nuklir sebagai sarana pertahanan utama terhadap potensi serangan dari Amerika Serikat dan sekutunya, khususnya Korea Selatan dan Jepang.

Selain Juche, Korea Utara juga mengandalkan konsep Songun atau "militer pertama," yang menempatkan kepentingan militer di atas semua sektor lainnya. Ini terlihat jelas dalam alokasi sumber daya negara yang sangat condong ke arah angkatan bersenjata, serta pengembangan senjata nuklir yang agresif. Struktur ideasional ini membentuk persepsi Pyongyang bahwa mempertahankan dan mengembangkan kemampuan nuklir adalah satu-satunya cara untuk melindungi kelangsungan rezimnya.

Dari sini dapat dilihat bahwa yang dilakukan oleh Korea Utara adalah sebuah cerminan tindakan self help yang mana hal tersebut juga normal dilakukan negara lain. Kemudian sebuah pertanyaan muncul, "mengapa Korea Utara dianggap menjadi ancaman dunia?", Jika menjawab karena memiliki nuklir, nyatanya terdapat negara lain seperti AS dan Rusia yang memiliki nuklir dengan daya ledak lebih besar. Kemudian jika jawaban lainnya adalah karena Korea Utara merupakan negara terisolasi yang tidak mau bekerjasama, hal itu juga kurang tepat. Dilansir dari laman berita BBC, Korea Utara mempunyai hubungan diplomatik dengan hampir 50 negara. Korea Utara mempunyai 55 kedutaan besar dan konsulat di 48 negara, sedangkan sekitar 25 negara punya perwakilan diplomatik di Korea Utara termasuk Indonesia.

Dari perspektif konstruktivis, perbedaan ini dapat dijelaskan oleh cara struktur sosial dan politik global yang membentuk identitas Korea Utara sebagai "musuh" dalam sistem internasional. Berbeda dengan AS dan Rusia yang dianggap sebagai negara besar yang memiliki legitimasi untuk memiliki senjata nuklir, Korea Utara dilihat sebagai negara yang tidak stabil dan terisolasi, meskipun mereka juga berusaha membangun senjata serupa. Pandangan bahwa Korea Utara adalah negara yang harus diisolasi secara internasional, terutama melalui sanksi ekonomi dan diplomatik, juga turut memengaruhi tindakan radikal yang diambil oleh negara tersebut. Korea Utara membangun citra sebagai negara yang tidak bisa bergantung pada komunitas internasional dan harus mandiri dalam mempertahankan kedaulatannya. Struktur ide non-material ini turut membentuk bagaimana negara tersebut memandang dunia dan berinteraksi dengan aktor-aktor internasional.

Sementara itu, provokasi dari negara-negara seperti Korea Selatan dan Jepang, yang sering kali dilakukan melalui latihan militer bersama dengan Amerika Serikat, juga memengaruhi keputusan Korea Utara untuk terus mengembangkan program nuklirnya. Konstruktivis berargumen bahwa interaksi antar aktor di tatanan internasional menciptakan dinamika identitas yang memengaruhi kepentingan dan tindakan negara. Dalam hal ini, identitas Korea Utara sebagai negara yang dikepung oleh musuh-musuh eksternal mendorongnya untuk terus mengembangkan senjata nuklir sebagai bentuk pertahanan dan pernyataan kedaulatan.

Peran Diplomatik Indonesia Dalam Mencegah Potensi Perang Nuklir Di Semenanjung Korea

Indonesia memiliki hubungan yang cukup panjang dengan Korea Utara, dimulai sejak era Presiden Soekarno yang menjalin kedekatan dengan Kim Il-sung, pendiri Korea Utara. Meski hubungan bilateral sempat mengalami pasang surut, Indonesia tetap memelihara hubungan diplomatik dengan Korea Utara. Yang menarik, di tengah isolasi internasional yang dihadapi Korea Utara, negara tersebut masih membuka pintu diplomasi, terutama kepada negara-negara non-blok seperti Indonesia.

Dalam interaksinya dengan Korea Utara, Indonesia memposisikan diri sebagai mediator yang netral. Sebagai negara yang memiliki prinsip bebas-aktif dalam kebijakan luar negerinya, Indonesia berusaha menjaga hubungan baik dengan semua pihak, termasuk Korea Utara. Karakter Korea Utara yang sangat misterius dan sulit percaya dengan negara lain merupakan sebuah tantangan bagi Indonesia untuk menjalin hubungan lebih dekat. Oleh karena itu, Indonesia dapat memfokuskan peran diplomasinya melalui jalur kerjasama ekonomi, budaya, dan pendidikan untuk dapat membangun kepercayaan bagi Korea Utara.

Selain itu, Indonesia juga harus mempertimbangkan bagaimana ide-ide tentang identitas Korea Utara dapat diubah melalui interaksi yang lebih inklusif dan konstruktif di kancah internasional. Dengan menggunakan pendekatan yang menekankan pada diplomasi lunak, Indonesia dapat terus membangun jembatan dengan Korea Utara, sehingga mengurangi ketegangan yang ada dan menciptakan ruang untuk solusi yang lebih damai terkait isu nuklir di kawasan ini.

Sekolah Persahabatan Indonesia-Korea Utara, Ryulgok, menjadi simbol hubungan yang lebih mendalam antara kedua negara. Sekolah ini mencerminkan pentingnya pendidikan dan pertukaran budaya sebagai alat untuk memperkuat hubungan diplomatik. Sekolah ini sempat viral di Internet setelah beredarnya video anak-anak Korea Utara dari sekolah ini yang menyanyikan lagu Halo-halo Bandung. Video tersebut menuai beragam komentar, namun tidak sedikit masyarakat Indonesia yang senang dan berterima kasih atas dinyanyikannya lagu tersebut. Dalam perspektif konstruktivis, inisiatif-inisiatif semacam ini dapat dilihat sebagai bagian dari upaya untuk membangun identitas yang lebih inklusif bagi Korea Utara, yang memungkinkan mereka untuk lebih terlibat dalam komunitas internasional secara damai.

Referensi

Burchill, Scott. (2005). Theories of International Relations. (third edition). New York: Palgrave Macmillan.

Graham, A. O. &. E. (2017). "Indonesia dan negara-negara yang masih berhubungan dengan Korea Utara". BBC News Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/dunia-42408236.

Nanto, D. K., & Chanlett-Avery, E. (2010). North Korea: Economic leverage and policy analysis. http://fpc.state.gov/documents/organization/125938.pdf

Rajawali, B. S. (2022). "Enam Dekade Hubungan Diplomatik Indonesia-Korea Utara: Pasang, Surut, namun Istimewa - Kompasiana.com". KOMPASIANA. https://www.kompasiana.com/bentangsayaprajawali1782/6341aa075e09f5690314ebf2/enam-dekade-hubungan-diplomatik-indonesia-korea-utara-pasang-surut-namun-istimewa.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun