Mohon tunggu...
Salwadia Zahrah
Salwadia Zahrah Mohon Tunggu... Lainnya - A learner I Mahasiswa Pendidikan Sosiologi UNJ

State University of Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Citraku Pada Pilkada Serentak 2020: Dramaturgi Goffman Terhadap Para Calon Kepala Daerah

15 November 2020   07:58 Diperbarui: 15 November 2020   09:30 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://unsplash.com/photos/Nicholas Green

Oleh : Salwadia Zahrah  

(Mahasiswa Pendidikan Sosiologi UNJ)

Pengumuman Virus Corona atau Covid-19 mulai memasuki Indonesia sekitar awal bulan Maret. Diawali oleh 2 orang WNI yang baru saja bertemu dengan warga negara Jepang, lalu disusul laporan mengenai perebakan kasus di Wuhan, China yang semakin menggila. Semua sektor penerbangan menuju dan dari China segera dihentikan. Seakan-akan waktu terhenti begitu saja. Perlahan para tenaga medis serta pasien mulai berguguran. Berbagai kebijakan dikeluarkan pemerintah guna menahan penyebaran virus tersebut. Pemberlakuan protokol kesehatan seperti penggunaan masker, cuci tangan teratur, menjaga jarak, dan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) menjadi sebuah kewajiban. Ditengah maraknya penyebaran virus Covid-19 yang belum selesai, tanggung jawab politik untuk melakukan pilkada masih menunggu.

Menurut Kennedy & Suhendarto (2020), pandemi menyebabkan ketertundaan pilkada 2020. Setelah mengalami waktu penundaan yang cukup lama, pemilihan kepala daerah 2020 pun akhirnya jatuh pada bulan Desember 2020.  Peningkatan kasus penderita Covid semakin terjadi seiring berjalannya waktu. Ketidakstabilan yang tercipta menyebabkan Indonesia mengalami krisis, terutama pada sektor ekonomi. Jika kita melihat berita yang beredar, pemerintah gencar sekali untuk mencari cara bagaimana pilkada serentak tetap terlaksana dalam situasi pandemi seperti sekarang. Entah apa yang ada dipikiran para unsur terkait, padahal mata kita sudah disuguhkan dengan sangat jelas mengenai krisis dan permasalah yang terus hadir di masa pandemi. Pernyataan pilkada serentak ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Keputusan ini terlihat sangat tidak masuk akal apalagi jika disandingi dengan kasus penderita Covid-19. Kemungkinan untuk menambah jumlah kloter pasien tidak bisa di elakan. Pasalnya sampai saat ini kita bahkan belum bisa memprediksi kapan virus ini akan berakhir. Berdasarkan data Gugus Tugas Penanganan Covid-19 (13/11/20), telah terkonfirmasi lebih dari 5.444 kasus terjadi dengan kasus aktif sejumlah 57.604, total kesembuhan 385.094, dan meninggal sebanyak 15,037 ribu. Angka yang cukup fantastis memang.

Kekhawatiran masyarakat terhadap pelaksanaan pilkada serentak 2020 didasari pada apa yang telah terjadi di lapangan. Dalam (kompas.com, 2020) telah tercatat 60 calon kepala daerah menjadi pasien positif Covid-19. Proses pencalonan yang dilakukan di KPU setempat menimbulkan kerumunan massa yang tidak dapat dihindarkan. Beberapa oknum masyarakat bahkan masih banyak yang tidak percaya dengan kehadiran virus ini dengan tidak mengindahkan protokol kesehatan. Alhasil ketika pelaksanaan pemilihan umum serentak ini terjadi, mereka melakukan kegiatan seperti keadaan normal sebelum Covid-19 masuk ke Indonesia dan tentu saja tidak akan merasa bertanggung jawab terhadap kesehatan lingkungannya. Hal semacam inilah yang sangat mengkhawatirkan terjadinya peningkatan penderita Covid-19 oleh para tenaga medis dan unsur masyarakat lainnya yang peduli. Pemaksaan untuk tetap menjalankan pilkada serentak dirasa cukup mengambil resiko. Melihat dari keaktifan masyarakat menggunakan media sosial, penurunan angka partisipan pendukung calon kepala daerah diprediksi dapat terjadi. Masyarakat saat ini cenderung lebih condong untul mengikuti suatu trend yang ringan. Jika partisipasi masyarakat tidak sesuai harapan maka pelaksanaan pilkada serentak tidak akan berjalan sesuai harapan. Oleh karena itu, pemerintah berusaha untuk melakukan berbagai cara demi mengedukasi masyarakat untuk tetap turut andil dalam pilkada serentak 2020 nanti. Para calon kepala daerah yang akan maju nantinya juga mencoba bermacam cara melalui media sosial dan platform yang memungkinkan untuk menjangkau masyarakat. Mulai dari Instagram, twitter, facebook, dan lainnya.

https://unsplash.com/photos/Annie Gavin
https://unsplash.com/photos/Annie Gavin

Dramaturgi Calon Kepala Daerah

Teori dramartugis Goffman dipresentasikan dalam bukunya yang berjudul The Presentation of Self in Everyday Life. Goffman memfokuskan dasar analisisnya pada masyarakat melalui perspektif panggung teatrikal. Menurutnya hidup bukanlah sebuah drama, tetapi hidup itu sendirilah yang drama. Individu akan melakukan presentasi diri yang baik dihadapan orang lain, ini disebabkan karena umumnya individu satu akan tertarik kepada individu lainnya berdasarkan status, berperilaku, kemampuan diri, tingkat kepercayaan, dan lainnya. Individu berusaha untuk memberikan usaha besar kepada dirinya ketika melakukan interaksi sosial. Presentasi individu ini disebut sebagai panggung depan atau front stage. Sama seperti penampilan pentas teater pada umumnya, para aktor akan melakukan akting di depan penonton sesuai dengan skrip dan karakteristik yang harus dibawakan. Penampilan pada front stage teater menganalogikan seorang individu yang mencoba memberika penampilan terbaik mereka sesuai dengan keinginan. Individu secara sadar akan menyesuaikan tampilannya dengan situasi/ kondisi  yang terjadi.

 There is a clear understanding that first impressions are important ” (Erving Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life: 1956). Kesan pertama yang diberikan individu mampu mempengaruhi relasi yang kemudian akan terjadi antara individu satu dengan yang lainnya. Tak luput juga permainan setting (latar belakang) tempat terjadinya panggung depan yang perlu diperhitungkan, karena harus menyesuaikan karakter yang akan dimainkan. Tujuan dari panggung depan adalah untuk memberikan gambaran mengenai diri terhadap dunia sosial, hal tersebut akan menghasilkan expressive equipment atau peralatan ekspresi yang terdiri dari appearance and manner. Goffman mengatakan bahwa appearance (penampilan) mampu memberikan stimulus terhadap fungsi “penampilan” status sosial. Sedangkan manner (perilaku) menstimulus fungsi “peran” untuk bertindak di dalam situasi yang akan datang. Perlengkapan ekstra seperti pakaian, aksesoris, dan gaya yang selaras dapat dijadikan penunjang front stage. Dibalik panggung depan yang baik, ada tempat dimana semua penampilan dipersiapkan yaitu back stage. Back stage atau panggung belakang menjadi tempat paling tertutup dan rahasia. Pentas dramaturgi selalu menggunakannya untuk menyiapkan perlengkapan diri pada penampilan selanjutnya. Panggung belakang termasuk ke dalam wilayah sensitif karena semua karakter asli individu aktor akan terlihat. Oleh karena itu, banyak individu yang sangat menjaga karakter asli ketika berinteraksi dengan lingkungan sosial. Suatu keberhasilan panggung depan sangat ditentukan dari kesiapan panggung belakangnya. Upaya jatuh bangun dan perjuangan seorang individu tidak akan diperlihatkan pada panggung depan. Namun tidak menutup kemungkinan juga ketika individu sudah menaruh rasa percaya kepada individu lain, individu itu akan menunjukan sedikit demi sedikit panggung belakangnya. Dan biasanya individu yang diberi rasa percaya ini akan secara otomatis menjadi motivator individu lainnya. Pencitraan  individu pada panggung depannya menggambarkan tujuan dari individu itu sendiri dan positif/ negatif ditentukan oleh kontruksi yang dibuatnya. Setiap individu memiliki tujuan dan motif yang berbeda pula. Hal ini sesuai dengan pencitraan yang dilakukan oleh para calon kepala daerah demi menarik massa pendukung.

Kampanye terdengar tidak asing bagi siapapun. KKBI mengartikan kampanye sebagai sebuah gerakan (tindakan) serentak (untuk melawan aksi), kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi politik atau calon bersaing demi memperebutkan kedudukan parlemen dalam suatu pemungutan suara. Kampanye merupakan salah satu proses sebelum dilaksanakannya sebuah pemilu. Seperti yang telah disinggung tadi, hal ini ditunjukan untuk mencari pendukung sebanyak-banyaknya. Suara masyarakat di daerah tersebut sangat menentukan keberhasilan para calon kepala daerah nantinya. Individu disini adalah para calon kepala daerah yang mencalonkan dirinya. Semua calon dan partai politik pendukung mengupayakan berbagai cara disetiap kesempatan kampanye untuk memberi citra yang baik. Media massa pun tidak kalah heboh memberitakan kesiapan dan perkembangan terkait pemilu 2020. Jika dalam kondisi normal kempanye tentu akan disuguhkan dengan berbagai cara-cara menarik. Seperti menampilkan jargon-jargon andalan calon pasangan serta memasang pamflet bahkan baliho super besar dipinggiran jalan. Usaha tersebut di upayakan demi tercapainya massa yang besar. Jika dikatkan dengan dramaturgi Goffman, hidup sebagai panggung teater yang dimana semua individu melakukan akting atau sandiwara. Hal yang dilakukan oleh calon kepala daerah ini nampaknya sejalan dengan teori tersebut. Mereka akan memberikan presentasi terbaik diri dengan berbagai keunikan yang dimiliki. Pembentukan konstruksi individu sangat terbantu oleh dukungan partai politik, media cetak, media elektronik, dan lainnya. Proses tersebut didasari oleh komunikasi yang terjalin antara calon kepala daerah dengan masyarakat sekitarnya melalui penyampaian visi misi. Dramaturgi sangat cocok untuk dijadikan strategi demi meraih suara dukungan. Namun bagaimana hal ini dapat terjadi ditengah pandemi? Mudah saja jawabannya, yaitu melalui media sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun