BOOK REVIEW
Judul : HUKUM ISLAM - Dinamika Seputar Hukum Keluarga
Penulis : Aulia Muthiah, S.HI, M.H.
Penerbit : Pustaka Baru Press
Terbit : 2017
Cetakan : Pertama, 2017
Buku tulisan Aulia Muthiah, S.HI, M.H. yang memiliki judul "HUKUM ISLAM - Dinamika Seputar Hukum Keluarga" mendeskripsikan  Kajian Hukum Islam yang difokuskan pada pembahasa Hukum perkawinan dan kewarisan. Dimulai dari tinjauan tentang Hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam, Hukum perkawinan, Perceraian, Harta kekayaan, Hukum waris dan wasiat. Dengan tercetaknya buku ini diharapkan dapat memberikan manfaat khususnya menjadi bahan pembelajaran bagi para akademisi, praktis hukum dan masyarakat umum yang ingin mempelajari setiap kajian Hukum Islam dalam ruang lingkup hukum perkawinan dan hukum kewarisan. Hukum Islam dalam kajian fiqh menjadi salah satu disiplin ilmu. Hukum Islam dalam makna yang luas sebagai seluruh Kalamullah dan sabda Rasulullah SAW mencakup perintah dan larangan. Adanya perintah dan larangan tertentu menunjukkan adanya  tata tertib di dalam alam ciptaan-Nya, sehingga Hukum Islam memiliki kajian yang sangat luas seperti hukum perkawinan dan hukum waris.Â
Buku yang di review kali ini merupakan buku cetakan pertama pada tahun 2017. Buku ini Percetakan pertama oleh penerbit Pustaka Baru Press. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Aulia Muthiah, S.HI, M.H mengenai buku ini pada bagian kata pengantar, bahwasannya Penulisan Buku ini dimaksudkan sebagai bahan pembelajaran bagi para akademisi khususnya Fakultas Syariah Dan Hukum, praktisi hukum dan masyarakat umum yang ingin mempelajari setiap kajian Hukum Islam dalam ruang lingkup hukum perkawinan dan hukum kewarisan.
Untuk memudahkan bagi pembaca, secara sistematis penulis membagi kajian buku Hukum Keluarga Islam di Indonesia tersebut menjadi 9 (sembilan) Bab yang berisi 240 halaman. Terkesan memang sangat padat, tetapi hal itu dimaksudkan oleh penulisnya agar bisa memberikan informasi yang lengkap dan terperinci mengenai Hukum Islam, hukum perkawinan dan waris. Penulis menjelaskan Bab I tentang Hukum Islam, Bab II menjelaskan tentang KHI sebagai Hukum positif di Indonesia, Bab III menjelaskan tentang Hukum Perkawinan, Bab IV menjelaskan tentang Perceraian dan akibatnya, Bab V menjelaskan tentang Harta kekayaan dalam Hukum perkawinan islam, Bab VI tentang Hukum waris Islam , Bab VII tentang Penyelesaian Kasus Hukum Waris Islam di Indonesia, Bab VIII tentang  Pelaksanaan wasiat pada hukum waris, dan Bab IX tentang Hibah. Yang mana dari setiap Bab terdapat sub-sub bab dan penjelasannya masing-masing.
Pada Bab pertama, Penulis menyampaikan empat poin pembahasan mengenai Hukum Islam, yaitu tentang Pegertian Hukum Islam, Kerangka Dasar Agama Islam, Sumber Hukum Islam, dan Tujuan Hukum Islam. Penulis menjelaskan bahwasannya yang dimaksud Hukum Islam adalah hukum yang bersumber kepada nilai-nilai keislaman yang dibentuk dari sumber dalil-dalil agama islam. Hal ini berupa ketetapan, kesepakatan, anjuran, larangan dan sebagainya. Aturan-aturan ini menyangkut hubugan antara manusia dengan Allah SWT sebagai Tuhannya, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dan hubungan manusia dengan manusia yang lain. Lalu kerangka dasar agama islam ada tiga yaitu Akidah, Syariah dan Akhlak. Dari tiga kerangka tadi dapat dikembangkan menjadi system keilmuan islam seperti hukum islam, ekonomi islam, pendidikan islam, budaya islam dan lain sebagainya.
Selanjutnya Sumber Hukum Islam dijelaskan ada 3 antara lain Al-Quran, As-Sunnah dan Ijtihad. Al-Quran disepakati oleh semua ulama sebagai Sumber Hukum Islam yang paling utama. Â Sumber Hukum Islam yang kedua yaitu As-Sunnah. As-Sunnah adalah cara-cara hidup Nabi Muhammad SAW yaitu perkataan, perbuatan, dan keadaan diam beliau ketika di Tanya atau melihat sesuatu. Yang Ketiga adalah Ijtihad. Ijtihad yaitu menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetappkan hukum-hukum syariat, dengan jalan mengeluarkannya dari Al-Quran dan Sunnah atau menghabiskan kesanggupan seorang ahli fiqh untuk menghasillkan sangkaan dengan menetapkan suatu hukum. Metode Ijtihad antara lain ijma, qiyas, istihsan, maslahah mursalah, istihsab, urf dan dzariah.
Adapun tujuan dari Hukum Islam adalah untuk mencapai kehidupan yang bahagia di dunia dan di akhirat, dengan jalan mengambil yang bermanfaat dan mencegah yang akan membawa mudharat berupa ancaman kehidupan baik di dunia atau di akhirat kelak. Ada 5 rumusan mengenai tujuan Hukum Islam yang biasa disebut maqashid syariah. Maqashid syariah antara lain memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta.
Bab selanjutnya Penulis menyampaikan tiga point pembahasan mengenai Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai Hukum Positif di Indonesia, yaitu tentang Sejarah terbentuknya KHI, Sumber penyusunan KHI, dan Sistematika KHI. Ide Kompilasi Hukum Islam setelah beberapa tahun Mahkamah Agung membina bidang justisial  Peradilan Agama. Tugas pembinaan ini didasarkan pada Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pasal 11 ayat (1) yang menyatakan bahwa Organisasi, Administrasi dan Keuangan Pengadilan dilakukan oleh Departemen masing-masing, sedangkan pembinaan teknis justisial dilakukan oleh Mahkamah Agung. Selama pembinaan teknis justisial Peradilan Agama oleh Mahkamah Agung, terasa adanya beberapa kelemahan. Untuk mengatasi hal ini diperllukan adanya satu buku hukum yang menghimpun semua hukum terapan yang berlaku bagi lingkungan peradilan agama yang dapat dijadikan pedoman oleh para haki dalam melaksanakan tugasnya.
Sumber-sumber penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang utama adalah Al-Quran dan Sunnah. Namun dalam pelaksanaanya dilakukan langkah-langkah yang mudah dimengerti karena Al-Quran dan Sunnah bukanlah kitab hukum. Al-Quran dan Sunnah memuat berbagai ajaran dasar yang menjadi pedoman hidup manusia. Oleh karena itu rumusan dasar hukum yang terdapat di dalam Al-Quran dan Sunnah diungkapkan dengan rumusan hukum yang rasional, praktis, dan aktual sehingga mudah dipahami. Sumber yang kedua yaitu penalaran para fuqaha yang terdapat dalam berbagai kitab-kitab fiqh yang telah dikaji oleh para fuqaha. Selain itu juga menggunakan pendapat para ulama fiqh yang masih hidup di tanah air. Tujuan pembentukan KHI adalah untuk menyeragamkan hukum yang akan diterapkan oleh seluruh pengadilan agama yang ada di Indonesia. Empat pihak yang terlibat dalam proses pembentukan KHI yaitu birokrat Depag dan Hakim Agung MA, Ulama dan cendikiawan/ intelektual muslim, kedua pihak yang disebutkan terakhir masuk dalam lingkaran proses penyusunan KHI. Langkah pertama yang digunakan untuk penyusunan KHI adalah dengan cara melakukan pengkaji terhaapdat kitab-kitab fiqh Islam oleh para cendikiawan yang sudah di akui ilmunya. Langkah kedua para ulama di sepuluh ibu kota provinsi membuktikan koherensitas dengan norma hukum ang ada di masyarakat. Langkah ketiga jalu yurisprudensi  Peradilan Agama dari sejak zaman Hindia Belanda dulu sampai saat penyusunan KHI. Langkah terakhir yaitu studi perbandingan mengenai pelaksanaan dan penegakan hukum Islam di negara-negara Muslim.
Sistematika Kompilasi Hukum Islam (KHI) memuat tiga ketentuan hukum materiil Islam yaitu ketentuan-ketentuan hukum perkawinan (munakahat), hukum kewarisan (faraidh), dan hukum perwakafan (waqaf) di tulis dalam KHI secara terpisah, masing-masing dalam buku sendiri. Dalam setiap buku, ketentuan spesifikasi bidang hukum terbagi dalam bab-bab, dan masing-masing bab dirinci lagi kedalam bagian-bagian diurutkan sesuai dengan pengelompokan buku. Sedangkan penomoran pasal diurutkan secara keseluruhan dari buku pertama hingga buku ketiga.
Bab selanjutnya penulis menyampaikan tentang Hukum perkawinan yang memiliki  tujuh point yaitu Khitbah, Perkawinan dalam Hukum Islam, Batalnya perkawinan, Hak dan Kewajiban Suami Istri, Keadilan Sebagai Syarat Berpoligami, Nusyuz, dan Perjanjian Kawin. Hukum Islam menghendaki pelaksanaan khitbah untuk menyingkapi kecintaan kedua pasang manusia yang akan mengadakan akad nikah, supaya dapat mewujudkan keluarga yang didasarkan pada kecintaan. Khitbah adalah permintaan seorang laki-laki untuk menguasai seorang wanita tertentu dari keluarganya yang bersekutu dalam urusan kebersamaan hidup. Khitbah sebagai tahap awal menuju pernikahan agar para calon pengantin saling mengenal. Dijelaskan juga mengenai siapa saja wanita yang boleh dikhitbahkan yang tertulis dalam KHI pasal 12. Lalu bagaimana ganti rugi pembatalan khitbah berdasarkan tiga pendapat ulama. Menurut hanafiyah harus di kembalikan jika masih ada, syafiiyah harus dikembalikan barangnya masih ada atau sudah tidak ada, dan menurut malikiyah hadiah tidak dikembalikan jika yang memutus peminangan pihak laki-laki jika pihak perempuan maka perlu dikembalikan.
Point kedua yaitu Hukum Perkawinan dalam Kerangka Hukum Islam. Perkawinan adalah bagian dari hukum perdata, yaitu sebuah ikatan yang menyatukan antara laki-laki dan perempuan untuk membentuk suatu keluarga yang diawali degan akad nikah yang setelah diucapkan secara otomatis akan muncul akibat hukum yaitu hak dan kewajiban sebagai suami istri. Hukum perkawinan islam di Indonesia di atur dalam UU No.1 Tahun 1974 dan KHI Tahun 1991 pada buku 1. Rukun Nikah menurut Jumhur ulama ada lima yaitu, calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi dan ijab qobul. Calon suami syaratnya islam, laki-laki, jelas orangnya, berakal, tidak terdapat penghalang perkawinan. Calon istri syaratnya islam, perempuan, jelas orangnya, berakal, tidak terdapat penghalang perkawinan. Wali nikah syaratnya laki-laki, islam, dewasa, mempunyai hak perwalian, tidak terdapat halangan perwaliannya. Saksi nikah syaratnya minimal dua orang laki-laki, hadir dalam ijab qobul, paham maksud akad, islam dan adil, dewasa, berakal. Ijab qobul syaratnya adanya pernyataan mengawinkan dari wali, pernyataan penerimaan dari calon mempelai, memakai kata-kata nikah, antara ijab dan qobul bersambungan dan jelas maksudnya, orang yang terkait dengan ijaqb qobul tidak sedang ihram.
Mahar sebagai Hak pertama istri dari suami. Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum islam. Tujuannya mewajibkan pemberian mahar untuk mengangkat derajat wanita dan memberikan penjelasan bahwa akad pernikahan ini mempunyai kedudukan yang tinggi, sehingga Allah mewajibkan kepada laki-laki bukan wanita karena laki-laki lebih mampu berusaha. Ketika nilai mahar terlalu tinggi dan pihak suami belum bisa membayar secara tunai maka diperbolehkan bayar secara kredit tetapi memiliki akibat hukum yang berbeda. Jika suami dan istri berselisih mengenai penyebutan mahar dan mengenai besaran mahar, atau mengenai penyerahan mahar maka dapat menyelesaikannya dengan diajukan ke Pengadilan Agama.
Batalnya perkawinan yang disebabkan Nikahul Fasid artinya perkawinan rusak. Nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi syarat sahnya untuk melaksanakan perkawinan. Menurut Hukum Islam, wajib mencegah perkawinan yang cacat karena kurang rukun dan syaratnya. Wanita yang haram dinikahi disebabkan karena pertalian nasab, karena pertalian kerabat semenda, dan karena pertalian sesusuan. Hal ini dijelaskan dalam QS.An-Nisa ayat 23. Jika wanita yang haram dinikahi sementara karena keadaan tertentu yaitu karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain, seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain, dan seorang wanita yang tidak beragama islam. Akibat batalnya perkawinan yaitu mempunyai konsekuensi perpisahan antara suami dengan istrinya meskipun dalam pernikahan itu mereka sudah mempunyai anak. Jika terdapat unsur yang mengakibatkan batalnya nikah maka hubungan perkawinan itu akan terputus.
Hak dan Kewajiban Suami istri, kewajiban suami dijelaskan dalam pasal 80 KHI dan kewajiban istri dijelaskan dalam pasal 83 KHI. Hak istri yaitu memperoleh mahar dan nafkah dari suami, mendapatkan perlakuan baik dari suami, dan suami menjaga serta memelihara istrinya. Ada beberapa hak bersama suami istri yaitu halalnya pergaulan sebagai suami istri  kesempatan saling menikmati atas dasar kerja sama dan saling memerlukan, perlakuan dan pergaulan yang baik, haram musaharah, saling mewarisi, dan sahnya menasabkan anak kepada suami. Nafkah yang dimaksud selain sandang pangan ada juga tempat tinggal. Kewajiban menyediakan tempat tinggal dijelaskan dalam pasal 81 KHI.
Keadilan Dalam Berpoligami menurut Khazin Nasuha yaitu adil dalam soal materi, adil dalam membagi waktu, adil membagi nafkah yang berkaitan dengan sandang, pangan, dan papan dan juga adil dalam memperlakukan keperluan batiniah istri-istrinya. Nusyuz adalah kedurhakaan yang dilakukan istri terhadap suaminya. Apabila istri menentang kehendak suami dengan tidak ada alasan yang bisa diterima sesuai hukum syara tindakan ini di pandang durhaka. Perjanjian Perkawinan yaitu suatu perjanjian yang dibuat sebelum pernikahan dilangsungkan dan mengikat kedua belah pihak calon pengantin yang akan menikah dan berlaku sejak pernikahan dilangsungkan. Perjanjian perkawinan biasanya berkatian dengan harta kekayaan yang dimiliki kedua belah pihak. Jika suami istri ingin melakukan perjanjian lain yang tidak berkaitan dengan harta kekayaan tetap diperbolehkan oleh KHI dengan syarat tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Bab selanjutnya penulis menyampaikan tujuh point pembahasan mengenai Perceraian. Yang pertama, Kematian adalah hilangnya nyawa seseorang. Jika salah satu dari pasangan suami istri mengalami kematian, maka secara otomatis perkawinannya terputus. Kedua, Perceraian yaitu melepaskan ikatan perkawinan. Jika suami menceraikan dinamakan talak dan jika istri yang memintai bercerai dinamakan gugat cerai. Talak tidak sah apabila adanya paksaan, karena mabuk, ketika sedang marah, main-main dan keliru, serta saat tidak sadarkan diri. Â Putusnya perkawinan karena putusan Pengadilan dinamakan fasakh. Fasakh dapat terjadi karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi pada akad nikah atau karena hal-hal lain.
Penetapan hukum lian adalah jika suami menuduh istrinya berzina tetapi istri tidak mau mengakuinya dan suami tidak mau pula mencabut tuduhannya. Lian mengakibatkan putusnya perkawinan dan tidak ada jalan rujuk kepada istrinya. Iddah dalam hukum Islam menjadi nama bagi masa lamanya istri menunggu dan tidak boleh kawin setelah kematian suaminya atau berpisah dari suaminya. Rujuk artinya kembali kepada istri yang telah diceraiakan baik ketika masih dalam masa iddah  atau setelah istrinya dinikahi orang lain dan bercerai kembali. Suami yang ingin rujuk harus memenuhi rukun rujuk, ketika semua rukun dan syarat dipenuhi maka rujuk dinyatakan sah. Setelah perceraian biasanya putusan pengadilan membahas mengenai siapa yang berhak untuk mendapatkan hak asuh. Seorang ibu lebih berhak atas hak asuh selama tidak ada alasan yang mencegah ibu untuk mendapatkan hak asuh anak atau jika anaknya sudah mampu memilih dengan siapa ia ingin tinggal.
Bab selanjutnya Penulis menyampaikan empat point pembahasan mengenai Harta kekayaan dalam Hukum Perkawinan Islam. Point pertama mengenai Harta Asal dan Harta Bawaan. Di dalam KHI harta asal disebut dengan harta bawaan yaitu harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing. Point kedua yaitu Harta Bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan, di luar hadiah atau warisan. Ppoint ketiga yaitu Penyelesaian Sengketa Pembagian Harta Bersama. Jika ada perselisihan mengenai harta bersama maka diajukan ke Pengadilan Agama. Point keempat Pembagian Harta Bersama pada Kasus Perkawinan Poligami. Poligami adalah suatu perkawinan yang terdsi dari satu suami dan beberapa orang istri. Pembagian harta bersama pada perkawinan poligami dijelaskan dalam pasal 94 KHI.
Bab selanjutnya Penulis menyampaikan delapan point pembahasan mengenai Hukum Waris Islam. Hukum Waris Islam adalah seperangkat aturan tentang proses pembagian harta peninggalan orang yang telah meninggal dunia dan menentukan ahli waris mana saja yang berhak mendapatkan harta warisan tersebut dan juga ilmu ini mempelajari bagian masing-masig dari harta peninggalan tersebut sesuai ketetapan ajaran islam. Poin kedua mengenai asas-asas Hukum Waris Islam. Ada 5 asas yang terkandung, yaitu asas ijbari, asas bilateral, asas individual, asas keadilan berimbang dan asas semata akibat kematian. Poin ketiga mengenai kewajiban ahli waris terhadap pewaris.
Ada 3 kewajiban yang harus dilaksanakan yaitu mengurus jenazah pewaris, membayar hutang pewaris, dan melaksanakan wasiat pewaris. Poin keempat tentang rukun waris. Rukun waris ada 3 yaitu harta warisan, pewaris, dan ahli waris. Sebab-sebab kewarisan masuk dalam poin kelima. Sebab yang pertama yaitu hubungan keturunan (nasab) yang disebabkan oleh proses kelahiran. Sebab kedua yaitu hubungan pernikahan dengan arti suami menjadi ahli waris bagi istrinya yang meninggal dan begitu juga sebaliknya. Poin keenam yaitu Halangan dalam mewarisi adalah tindakan atau hal-hal yang dapat mengugurkan hak mewarisi yaitu membunuh pewaris dan murtad.
Poin ketujuh tentang golongan ahli waris dan bagiannya. Golongan pertama yaitu Ashabul Furudh adalah ahli waris yang bagiannya sudah ditentukan dalam Al-Quran. Golongan kedua ada Ashabah yaitu kerabat seseorang dari pihak bapak atau ahli waris yang bagiannya tidak disebutkan dalam Al-Quran. Ashabah dibedakan menjadi 3 golongan yaitu Ashobah bi nafsi, ashobah bil ghairi, dan ashobah mal ghairi. Golongan terakhir adalah Dzawil arham adalah kerabat jauh yang akan menjadi ahli waris jika tidak ahli waris dzawil furud dan ashobah. Lalu poin terakhir tentang penyelesaian kasus sengketa waris. Proses persidangan perkara waris memerlukan waktu yang cukup lama kira-kira butuh minimal satu tahun untuk satu perkara.
Bab selanjutnya tentang Penyelesaian Berbagai Kasus Hukum Waris Islam Di Indonesia. Dalam bab ini terdapat empat poin, yang pertama  Kewarisan anak adopsi dan anak tiri. Pengankatn anak berakibat hukum pada peralihan tanggung jawab beberapa hal yang berkaitan dengan kepentingan si anak tetapi tidak merubah nasab anak tersebut yang artinya anak angkat tidak mendapatkan waris tetapi bisa mendapatkan melalui adanya wasiat. Sedangkan anak tiri adalah anak dari pasangan suami atau istr yang berada dalam tanggungan. Anak tiri menjadi tanggung jawab orang tua tirinya jika salah satu orang tua kandungnya meninggal dunia. Anak tiri juga tidak bisa menerima warisan karena tidak ada nasabnya tetapi bisa mendapatkan melalui adanya wasiat. Wasiat untuk anak angkat dan anak tiri adalah wasiat wajibah. Wasiat wajibah adalah wasiat yang pelaksanaanya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemaua atau kehendak yang meninggal dunia.
Poin kedua mengenai Kewarisan Kasus Mafqud. Mafqud artinya orang yang hilang dari negerinya dalam waktu yang cukup lama dan tidak dikethui keberadaannyaa ia masih hidup atau wafat. Kewarisan mafqud ada dua kemungkinan, yang pertama bersama mafqud ada ahli waris lain terhijab hirman oleh mafqud yang bersangkutan. Yang kedua bersama mafqud ada ahli waris lain yang sama-sama berhak mewaris. Poin ketiga mengenai Kewarisan anak luar kawin, anak yang lahir tanpa perkawinan tidak berhak mendapatkan atau menjadi ahli waris dari bapaknya dan hanya bisa mendapatkan hak waris dari keluarga ibunya. Poin keempat Waris pengganti pada kajian KHI. Jika kedudukan cucu sebagai ahli waris pengganti di atur dalam pasal 185 ayat (1) dan (2).
Bab selanjutnya tentang Pelaksanaan Wasiat pada Hukum Waris Islam ada 8 point. Wasiat merupakan pernyataan keinginan seseorang mengenai apa yang dilakukan terhadap hartanya setelah meninggal dunia. QS. Al-Baqarah ayat 180 menjelaskan bahwa wasiat harus dihadiri oleh dua orang saksi. Syarat sah wasiat yaitu pewasiat, penerima wasiat, barang yang diwasiatkan, dan Ikrar. Kadar wasiat sebenarnya hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya. Wasiat dapat batal jika seorang pewasiat tidak cakap hukum atau pewasiat bukan pemilik barang yang diwasiatkan, atau jika barang yang diwasiatkan musnah sebelum barang itu diberikan kepada penerima wasiat, dan jika penerima wasiat meninggal terlebih dahulu di banding pewasiat.
Wasiat dapat dicabut di atur dalam KHI pasal 199. Bentuk wasiat dalam Hukum Islam ada dua yakni lisan dan tertulis, jika wasiat dilakukan secara lisan maka harus di ucapkan dengan ada dua orang saksi. Jika wasiat dilakukan secara tertulis maka seluruhnya harus ditulis sendiri oleh pewasiat maupun orang lain dengan disaksikan dua orang saksi dan diserahkan kepada notaris untuk dibuatkan surat pernyataan untuk dijadikan alat bukti sebuah wasiat. Wasiat tidak di perbolehkan kepada orang yang melakukan perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang meemberikan tuntunan kerohaniaan sewaktu ia menderita sakit hingga meninggalnya kecuali ditentukan dengan jelas untuk membalas jasa.
Bab terakhir membahas tentang Hibah dan Hubungannya dengan Hukum Waris Islam. Hibah adalah akad yang dijadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela. Didalam Al-Quran dan Hadist dijelaskan Allah dan rasul menganjurnakn umat islam untuk menolong sesame seperti hibah. Hal ini dijelaskan dalam QS.Al-Maidah ayat 2. Hibah dapat dilakukan secara lisan ataupu tertulis. Rukun hibah ada 4 yaitu pemberi hibah, penerima hibah, harta yang dihibahkan, dan sigat. Syarat pemberi hibah yaitu penghibah adalah orang yang memiliki dengan sempurna sesuatu atas harta yang dihibahkan, penghibah itu adalah orang yang mursyid, penghibah itu tidak berada dibawah perwalian orang lain, penghibah harus bebas dari tekanan pihak lain dan harus melakukan hibah atas pilihannya sendiri. Syarat harta yang dihibahkan yaitu barang hibah telah ada saat waktu hibah sudah dilaksanakan, barang dihibahkan itu adalah barang boleh dimiliki secara sah oleh ajaran islam dan harta yang dihibahkan itu dalam kekuasaan yang tidak terikat pada suatu perjajian. Syarat penerima hibah harus benar-benar sudah ada. Syarat lafaz hibah harus didasarkan pada kesepakatan bebas dari para pihak tanpa adanya unsur paksaan bisa dilaksanakan secara lisan atau tertulis.
Penarikan harta hibah dilakukan dengan menyatakan kehendaknya orang orang memberikan hibah, diikuti dengan penuntutan kembali barang-barang yang telah dihibahkan. Pembatalan hibah ini dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama setempat atau di wilayah hukum orang yang memberi hibah itu tinggal. Hukum menghibahkan semua harta dijelaskan oleh beberapa ahli fiqh dan KHI. Setiap orang yang ingin menghibahkan harta miliknya dibatasi dengan tujuan agar pemberi hibahnya tidak akan dirugikan.
Setelah membaca isi buku tersebut maka buku ini dapat ditarik kesimpulan yang mana Hukum Islam mengatur setiap kehidupan manusia di dunia. Adapun dalam pengertian umum, Hukum Islam hukum itu diartikan sebagai norma hukum yang berhubungan dengan hukum keluarga Islam, seperti hukum perkawinan, perceraian, kewarisan, wasiat dan hibah. Dijelaskan bagaimana pengertian perkawinan, syarat, rukun, dan tata cara perkawinan. Lalu perceraian, rukun dan syaratnya, serta beberapa kasus tentang perceraian. Warisan menjelaskan bagaimana pembagian warisan menurut islam dan bagaimana syarat dan rukun ahli waris.
Terkesan dalam pemaparan buku "Hukum Islam Dinamika Seputar Hukum Keluarga" ini, penulis menyampaikan secara jelas dan lengkap, dan mudah dipahami. Hal ini dapat dilihat dari daftar isinya yang disusun dengan baik. Penulis pun menggunakan kalimat yang mudah di mengerti tetapi tidak mengurangi nilai yang terkandung. Tetapi penulis banyak membahas hal yang sudah dijelaskan membuat pembaca sedikit bingung. Mungkin hal ini bisa dijadikan saran untuk penulisan buku selanjutnya.
Alasan saya memilih buku ini untuk direview adalah karena buku ini berisi mengenai pembahasan tentang hukum keluarga islam secara lengkap. Mulai dari bab perkawinan, perceraian, kewarisan, wasiat, dan hibah. Buku ini juga sangat membantu masyarakat umum terutama mahasiswa hukum keluarga untuk memahami tentang hukum keluarga, mulai dari syarat, rukun, akibat dan sebab. Didalam buku ini sudah dijelaslan secara luas bahkan lengkap dengan dalil nashnya dan ketetapan dalam undang-undang itu. Selain Buku ini bisa menjadi pedoman mahasiswa jurusan hukum keluarga, selain bisa dijadikan referensi dalam belajar maupun menyelesaikan karya tulis buku ini juga bisa menjadi pegangan para mahasiswa karna di dalam buku ini juga ruang lingkupnya sudah cukup jelas meskipun kurang lengkap tetapi, dalam mempelajari hukum keluarga islam itu sendiri sudah bisa kita dapatkan hanya dalam satu buku ini saja. (Salwa salsabila)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H