Mohon tunggu...
salwa salsabila
salwa salsabila Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Hukum Keluarga Islam Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta

Saya suka mengexplore topik topik tentang berita terkini

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Book Review: Hukum Islam Dinamika Seputar Hukum Keluarga Karangan Aulia Muthiah, S.HI, M.H

8 Maret 2023   10:56 Diperbarui: 8 Maret 2023   11:12 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selanjutnya Sumber Hukum Islam dijelaskan ada 3 antara lain Al-Quran, As-Sunnah dan Ijtihad. Al-Quran disepakati oleh semua ulama sebagai Sumber Hukum Islam yang paling utama.  Sumber Hukum Islam yang kedua yaitu As-Sunnah. As-Sunnah adalah cara-cara hidup Nabi Muhammad SAW yaitu perkataan, perbuatan, dan keadaan diam beliau ketika di Tanya atau melihat sesuatu. Yang Ketiga adalah Ijtihad. Ijtihad yaitu menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetappkan hukum-hukum syariat, dengan jalan mengeluarkannya dari Al-Quran dan Sunnah atau menghabiskan kesanggupan seorang ahli fiqh untuk menghasillkan sangkaan dengan menetapkan suatu hukum. Metode Ijtihad antara lain ijma, qiyas, istihsan, maslahah mursalah, istihsab, urf dan dzariah.

Adapun tujuan dari Hukum Islam adalah untuk mencapai kehidupan yang bahagia di dunia dan di akhirat, dengan jalan mengambil yang bermanfaat dan mencegah yang akan membawa mudharat berupa ancaman kehidupan baik di dunia atau di akhirat kelak. Ada 5 rumusan mengenai tujuan Hukum Islam yang biasa disebut maqashid syariah. Maqashid syariah antara lain memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta.

Bab selanjutnya Penulis menyampaikan tiga point pembahasan mengenai Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai Hukum Positif di Indonesia, yaitu tentang Sejarah terbentuknya KHI, Sumber penyusunan KHI, dan Sistematika KHI. Ide Kompilasi Hukum Islam setelah beberapa tahun Mahkamah Agung membina bidang justisial  Peradilan Agama. Tugas pembinaan ini didasarkan pada Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pasal 11 ayat (1) yang menyatakan bahwa Organisasi, Administrasi dan Keuangan Pengadilan dilakukan oleh Departemen masing-masing, sedangkan pembinaan teknis justisial dilakukan oleh Mahkamah Agung. Selama pembinaan teknis justisial Peradilan Agama oleh Mahkamah Agung, terasa adanya beberapa kelemahan. Untuk mengatasi hal ini diperllukan adanya satu buku hukum yang menghimpun semua hukum terapan yang berlaku bagi lingkungan peradilan agama yang dapat dijadikan pedoman oleh para haki dalam melaksanakan tugasnya.

Sumber-sumber penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang utama adalah Al-Quran dan Sunnah. Namun dalam pelaksanaanya dilakukan langkah-langkah yang mudah dimengerti karena Al-Quran dan Sunnah bukanlah kitab hukum. Al-Quran dan Sunnah memuat berbagai ajaran dasar yang menjadi pedoman hidup manusia. Oleh karena itu rumusan dasar hukum yang terdapat di dalam Al-Quran dan Sunnah diungkapkan dengan rumusan hukum yang rasional, praktis, dan aktual sehingga mudah dipahami. Sumber yang kedua yaitu penalaran para fuqaha yang terdapat dalam berbagai kitab-kitab fiqh yang telah dikaji oleh para fuqaha. Selain itu juga menggunakan pendapat para ulama fiqh yang masih hidup di tanah air. Tujuan pembentukan KHI adalah untuk menyeragamkan hukum yang akan diterapkan oleh seluruh pengadilan agama yang ada di Indonesia. Empat pihak yang terlibat dalam proses pembentukan KHI yaitu birokrat Depag dan Hakim Agung MA, Ulama dan cendikiawan/ intelektual muslim, kedua pihak yang disebutkan terakhir masuk dalam lingkaran proses penyusunan KHI. Langkah pertama yang digunakan untuk penyusunan KHI adalah dengan cara melakukan pengkaji terhaapdat kitab-kitab fiqh Islam oleh para cendikiawan yang sudah di akui ilmunya. Langkah kedua para ulama di sepuluh ibu kota provinsi membuktikan koherensitas dengan norma hukum ang ada di masyarakat. Langkah ketiga jalu yurisprudensi  Peradilan Agama dari sejak zaman Hindia Belanda dulu sampai saat penyusunan KHI. Langkah terakhir yaitu studi perbandingan mengenai pelaksanaan dan penegakan hukum Islam di negara-negara Muslim.

Sistematika Kompilasi Hukum Islam (KHI) memuat tiga ketentuan hukum materiil Islam yaitu ketentuan-ketentuan hukum perkawinan (munakahat), hukum kewarisan (faraidh), dan hukum perwakafan (waqaf) di tulis dalam KHI secara terpisah, masing-masing dalam buku sendiri. Dalam setiap buku, ketentuan spesifikasi bidang hukum terbagi dalam bab-bab, dan masing-masing bab dirinci lagi kedalam bagian-bagian diurutkan sesuai dengan pengelompokan buku. Sedangkan penomoran pasal diurutkan secara keseluruhan dari buku pertama hingga buku ketiga.

Bab selanjutnya penulis menyampaikan tentang Hukum perkawinan yang memiliki  tujuh point yaitu Khitbah, Perkawinan dalam Hukum Islam, Batalnya perkawinan, Hak dan Kewajiban Suami Istri, Keadilan Sebagai Syarat Berpoligami, Nusyuz, dan Perjanjian Kawin. Hukum Islam menghendaki pelaksanaan khitbah untuk menyingkapi kecintaan kedua pasang manusia yang akan mengadakan akad nikah, supaya dapat mewujudkan keluarga yang didasarkan pada kecintaan. Khitbah adalah permintaan seorang laki-laki untuk menguasai seorang wanita tertentu dari keluarganya yang bersekutu dalam urusan kebersamaan hidup. Khitbah sebagai tahap awal menuju pernikahan agar para calon pengantin saling mengenal. Dijelaskan juga mengenai siapa saja wanita yang boleh dikhitbahkan yang tertulis dalam KHI pasal 12. Lalu bagaimana ganti rugi pembatalan khitbah berdasarkan tiga pendapat ulama. Menurut hanafiyah harus di kembalikan jika masih ada, syafiiyah harus dikembalikan barangnya masih ada atau sudah tidak ada, dan menurut malikiyah hadiah tidak dikembalikan jika yang memutus peminangan pihak laki-laki jika pihak perempuan maka perlu dikembalikan.

Point kedua yaitu Hukum Perkawinan dalam Kerangka Hukum Islam. Perkawinan adalah bagian dari hukum perdata, yaitu sebuah ikatan yang menyatukan antara laki-laki dan perempuan untuk membentuk suatu keluarga yang diawali degan akad nikah yang setelah diucapkan secara otomatis akan muncul akibat hukum yaitu hak dan kewajiban sebagai suami istri. Hukum perkawinan islam di Indonesia di atur dalam UU No.1 Tahun 1974 dan KHI Tahun 1991 pada buku 1. Rukun Nikah menurut Jumhur ulama ada lima yaitu, calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi dan ijab qobul. Calon suami syaratnya islam, laki-laki, jelas orangnya, berakal, tidak terdapat penghalang perkawinan. Calon istri syaratnya islam, perempuan, jelas orangnya, berakal, tidak terdapat penghalang perkawinan. Wali nikah syaratnya laki-laki, islam, dewasa, mempunyai hak perwalian, tidak terdapat halangan perwaliannya. Saksi nikah syaratnya minimal dua orang laki-laki, hadir dalam ijab qobul, paham maksud akad, islam dan adil, dewasa, berakal. Ijab qobul syaratnya adanya pernyataan mengawinkan dari wali, pernyataan penerimaan dari calon mempelai, memakai kata-kata nikah, antara ijab dan qobul bersambungan dan jelas maksudnya, orang yang terkait dengan ijaqb qobul tidak sedang ihram.

Mahar sebagai Hak pertama istri dari suami. Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum islam. Tujuannya mewajibkan pemberian mahar untuk mengangkat derajat wanita dan memberikan penjelasan bahwa akad pernikahan ini mempunyai kedudukan yang tinggi, sehingga Allah mewajibkan kepada laki-laki bukan wanita karena laki-laki lebih mampu berusaha. Ketika nilai mahar terlalu tinggi dan pihak suami belum bisa membayar secara tunai maka diperbolehkan bayar secara kredit tetapi memiliki akibat hukum yang berbeda. Jika suami dan istri berselisih mengenai penyebutan mahar dan mengenai besaran mahar, atau mengenai penyerahan mahar maka dapat menyelesaikannya dengan diajukan ke Pengadilan Agama.

Batalnya perkawinan yang disebabkan Nikahul Fasid artinya perkawinan rusak. Nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi syarat sahnya untuk melaksanakan perkawinan. Menurut Hukum Islam, wajib mencegah perkawinan yang cacat karena kurang rukun dan syaratnya. Wanita yang haram dinikahi disebabkan karena pertalian nasab, karena pertalian kerabat semenda, dan karena pertalian sesusuan. Hal ini dijelaskan dalam QS.An-Nisa ayat 23. Jika wanita yang haram dinikahi sementara karena keadaan tertentu yaitu karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain, seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain, dan seorang wanita yang tidak beragama islam. Akibat batalnya perkawinan yaitu mempunyai konsekuensi perpisahan antara suami dengan istrinya meskipun dalam pernikahan itu mereka sudah mempunyai anak. Jika terdapat unsur yang mengakibatkan batalnya nikah maka hubungan perkawinan itu akan terputus.

Hak dan Kewajiban Suami istri, kewajiban suami dijelaskan dalam pasal 80 KHI dan kewajiban istri dijelaskan dalam pasal 83 KHI. Hak istri yaitu memperoleh mahar dan nafkah dari suami, mendapatkan perlakuan baik dari suami, dan suami menjaga serta memelihara istrinya. Ada beberapa hak bersama suami istri yaitu halalnya pergaulan sebagai suami istri  kesempatan saling menikmati atas dasar kerja sama dan saling memerlukan, perlakuan dan pergaulan yang baik, haram musaharah, saling mewarisi, dan sahnya menasabkan anak kepada suami. Nafkah yang dimaksud selain sandang pangan ada juga tempat tinggal. Kewajiban menyediakan tempat tinggal dijelaskan dalam pasal 81 KHI.

Keadilan Dalam Berpoligami menurut Khazin Nasuha yaitu adil dalam soal materi, adil dalam membagi waktu, adil membagi nafkah yang berkaitan dengan sandang, pangan, dan papan dan juga adil dalam memperlakukan keperluan batiniah istri-istrinya. Nusyuz adalah kedurhakaan yang dilakukan istri terhadap suaminya. Apabila istri menentang kehendak suami dengan tidak ada alasan yang bisa diterima sesuai hukum syara tindakan ini di pandang durhaka. Perjanjian Perkawinan yaitu suatu perjanjian yang dibuat sebelum pernikahan dilangsungkan dan mengikat kedua belah pihak calon pengantin yang akan menikah dan berlaku sejak pernikahan dilangsungkan. Perjanjian perkawinan biasanya berkatian dengan harta kekayaan yang dimiliki kedua belah pihak. Jika suami istri ingin melakukan perjanjian lain yang tidak berkaitan dengan harta kekayaan tetap diperbolehkan oleh KHI dengan syarat tidak bertentangan dengan hukum Islam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun