Dia melakukan praktik baiknya dalam sunyi. Tidak dipublikasikan sama sekali. Sahabat-sahabat dan adik-adik kelasnya mengikuti kegiatan, berdasarkan informasi dari mulut ke mulut.
Mentari mulai menamai komunitasnya, dan eksis bergerak dalam sunyi. Dia terus bergerak dalam diam. Hingga pada suatu ketika, dia mencoba membuat sebuah event lomba, untuk melihat perkembangan komunitas yang dibimbingnya itu.
Dia tidak mengira, informasi event itu dibagikan keluar, dan banyak anak yang mendaftar. Saat itu mulai terdengar lagi komentar yang menjatuhkan.
"Apaan sih yang kamu cari? Nggak tahu diri amat! Hidup udah susah, pakai acara bikin komunitas sosial segala!".
Yah, bagi banyak orang, hal tersebut hal "gila" yang dilakukan seorang anak yatim miskin, untuk melakukan kegiatan praktik baik. Kegiatan yang tidak menghasilkan sama sekali.
Bagi kebanyakan orang, kegiatan sosial atau komunitas itu, hanya layak dilakukan oleh orang dewasa yang mapan, tajir melintir dan punya nama besar. Seandainya dilakukan seorang anak, itu haruslah anak orang kaya, anak publik figur, anak pejabat dan anak orang terkemuka.
Pandangan itu sangat relate di masyarakat. Privilege menjadi hal mutlak, yang harus dimiliki oleh orang-orang, yang ingin melakukan apapun.
Jika berasal dari kalangan bawah, yah harus siap mental untuk maju! Siap mental untuk membangun privilege dari nol besar! Siap mental untuk diremehkan, dihina!
Tidak akan berubah privilege nol seseorang, jika tidak ada keinginan untuk merubahnya.
Kita kembali lagi di cerita Mentari. Jika Mentari mempunyai mental lemah, dan mendengarkan penilaian orang lain. Dia akan menjadi seperti ibunya. Hanya menamatkan sekolah, demi bisa cepat bekerja untuk mencari uang, dan mengubur semua mimpinya.
Dia berhenti bermimpi, dan mulai menjadikan dirinya menjadi anak yang biasa saja.