Aku merasa tak berguna. Sudah menerima kepasrahan yang mulai menyelimuti.
"Botolku!" pekik Tuanku sedih, "Siapa yang berbuat?" tanyanya dengan marah.
Aku merasakan genggaman kuat, tapi tak terasa sakit. Ada rasa sakit yang lebih dibanding remasan kuat Tuanku.
Wajah Tuanku yang sedih, marah dan merasa bersalah, lebih membuat hancur.
Tak ada yang mengakui. Kulihat si pelaku hanya melirik sekilas dan kembali asyik bersenda gurau.
Temanku buku, pensil dan pulpen ribut memberitahukan. Namun bahasa mereka tak terdengar, suara mereka tak terjemahkan oleh alam semesta.
Rasanya cerita ku akan berakhir dengan berita; "Sebuah Botol Minum Pecah dan Bocor Sendiri". Sungguh tak mengasyikan, mengakhiri tugas sendiri, yang akhirnya terbuang dengan sia-sia.
"Dia yang melakukan!" kata sebuah suara lantang.
"Eh, apaan?" kata si pelaku berang, "salahnya sendiri meletakkan botol minumnya di pinggir!" sahutnya dengan garang.
Tuanku menatap nya dengan tubuh menggigil. Aku melihat kabut gelap merayap pelan. Wajahnya sangat menyeramkan. Dapat kurasakan api itu berkobar, membakar hatinya.
Tiba-tiba getaran itu berhenti. Tuanku menundukkan kepalanya dan menatapku sedih. Tuanku menang, sorakku dalam hati. Amarah itu pergi, tenggelam dengan rasa sedih. Aku ikhlas untuk berada di tong sampah.