Sebagai generasi penerus bangsa dan penggerak perubahan, pemuda berperan penting dalam proses pembangunan dan berpartisipasi dalam menyelesaikan masalah sosial dan lingkungan, terutama di era digital saat ini. Mereka adalah penerima langsung dari kemajuan dalam teknologi informasi, yang mencakup smartphone dan aplikasi inovatif. Pemuda sekarang dapat mengakses informasi dengan lebih cepat dan efektif berkat kemajuan teknologi. Namun, sementara teknologi memungkinkan lebih banyak pengetahuan dan lebih banyak orang terhubung di seluruh dunia, juga membawa tantangan baru. Kadang-kadang, pemuda dapat terpapar konten negatif atau disinformasi yang tersebar luas melalui berbagai saluran digital. Selain itu, mereka juga menghadapi bahaya seperti kehilangan keterampilan sosial, kecanduan media sosial, dan masalah kesehatan mental akibat penggunaan teknologi yang berlebihan.Â
Di era modern seperti ini, media sosial telah menjadi sarana penting untuk berinteraksi dan bertukar informasi. Namun, dengan kemudahan mendapatkan informasi, muncul masalah baru seperti penyebaran berita palsu atau hoax. Hoax adalah informasi palsu yang disebarkan dengan tujuan menyesatkan atau mempengaruhi opini publik. Fenomena ini menjadi lebih kompleks ketika melibatkan pemuda, yang cenderung lebih aktif secara sosial dan terlibat dalam aktivitas media sosial. Media sosial dianggap dalam sosiologi sebagai ruang publik virtual di mana pemuda berinteraksi, membangun identitas, dan mengungkapkan pandangan mereka. Namun, kecenderungan untuk terjebak dalam aliran berita palsu di media sosial memiliki konsekuensi yang signifikan. Pemuda seringkali tidak memverifikasi informasi yang mereka terima karena ingin terlibat dan berpartisipasi. Mereka mudah terpengaruh oleh judul yang menarik atau konten yang provokatif tanpa mempertimbangkan kredibilitas atau kebenaran informasi. Analisis UNICEF pada 2021, berdasarkan penelitian Jerman pada 2020, menemukan bahwa sekitar 76% pemuda terpapar hoaks atau misinformasi setiap minggunya, menurut data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Bahkan, sekitar 50% dari 14.000 pemuda di sepuluh negara yang disurvei UNICEF terus mempertanyakan informasi yang mereka terima. Fenomena ini tidak hanya menimbulkan kekhawatiran terhadap pengetahuan dan kebenaran, tetapi juga berdampak pada interaksi sosial dan sikap pemuda terhadap masyarakat. Hal ini memberikan celah bagi penyebaran hoax yang dapat dengan cepat menyebarluas dan menjadi viral di antara pemuda.
Penyebaran hoax di media sosial juga menyebabkan keterlibatan pemuda dalam komentar negatif. Ketika seseorang atau sekelompok orang menjadi sasaran berita palsu yang negatif atau provokatif, reaksi emosional pemuda seringkali menghasilkan komentar yang penuh dengan kebencian atau penolakan terhadap masalah tersebut. Dalam sosiologi, konsep identitas sosial memungkinkan pemahaman fenomena ini. Interaksi sosial di media sosial adalah tempat yang sering digunakan pemuda untuk membentuk dan memperkuat identitas sosial mereka. Mereka mencari validasi dan koneksi dengan kelompok yang memiliki prinsip dan perspektif yang sama. Ketika mereka terpapar oleh hoax yang sesuai dengan identitas dan pandangan kelompok mereka, mereka cenderung lebih mungkin mempercayai dan menyebarkannya karena menyebarkan hoax yang sesuai dengan pandangan kelompok mereka dapat memperkuat identitas sosial mereka di dalam kelompok tersebut. Selain itu, terlibat dalam komentar rasial terhadap subjek yang menjadi sasaran hoax juga dapat dilihat sebagai cara untuk memperkuat identitas kelompok mereka dengan menunjukkan bahwa mereka menunjukkan kekecewaan terhadap orang-orang yang mereka anggap sebagai sasaran.
Selain itu, melalui konsep interaksi sosial, kita dapat melihat bagaimana pemuda terlibat dalam menyebarkan hoax dan komentar negatif sebagai bagian dari interaksi sosial di media sosial. Seringkali, interaksi sosial dalam media sosial berbeda dari interaksi kehidupan nyata. Dibandingkan dengan interaksi wajah ke wajah, keterlibatan dalam diskusi dan komentar di media sosial seringkali lebih impulsif dan tidak terkendali. Dalam situasi seperti ini, pemuda cenderung dipengaruhi oleh emosi dan tekanan kelompok saat menyebarkan hoax dan berpartisipasi dalam komentar negatif tanpa mempertimbangkan secara kritis kebenaran informasi atau konsekuensi dari tindakan mereka.
Kenapa Penuda Lebih Rentan Terpapar Informasi Palsu?
1. Keterampilan Teknologi vs. Kurangnya Pengalaman
Pemuda biasanya sangat mahir dalam teknologi dan dapat dengan mudah mengakses berbagai perangkat digital dan platform media sosial. Namun, meskipun mereka mahir menggunakan teknologi, mereka seringkali tidak memiliki pengalaman yang diperlukan untuk membedakan antara informasi yang benar dan hoax. Hoax dapat dengan mudah menyesatkan mereka, menyebabkan kebencian, menghabiskan waktu yang berharga untuk menyelidiki kebenaran, dan bahkan dapat merusak reputasi seseorang atau organisasi.
2. Tekanan Sosial dan Kecepatan Berbagi
Kecepatan berbagi media sosial seringkali mengalahkan kehati-hatian dalam memverifikasi informasi. Pemuda sering merasa tertekan untuk terlibat dalam aliran informasi media sosial yang cepat dan viral di tengah keinginan untuk tetap terhubung dan teraktualisasi di internet. Teknologi yang memungkinkan berbagi informasi secara instan seringkali membuat orang terburu-buru untuk menyebarkan konten tanpa mempertimbangkan kebenaran atau keakuratan informasi tersebut. Akibatnya, pemuda lebih mungkin terpapar hoaks dan konten yang tidak benar di media sosial daripada mempertimbangkan informasi secara menyeluruh sebelum menyebarkannya.Â
3. Kurangnya Pendidikan Formal tentang Literasi Digital
Pemuda rentan terhadap jebakan hoax karena mereka tidak menerima pendidikan formal tentang literasi digital dan media. Pelajaran tentang literasi media yang mencakup keterampilan analisis kritis, strategi untuk mengidentifikasi hoax, dan cara mengidentifikasi hoax sangat penting.Â
Metode Mengenali dan Mengantisipasi Hoax
Untuk mengatasi masalah penyebaran hoax di media sosial, pemuda perlu dilengkapi dengan metode yang efektif:
1. Pendidikan tentang Literasi Media
Sekolah dan lembaga pendidikan harus memperluas kurikulum mereka untuk mencakup materi literasi media yang komprehensif. Ini tidak hanya mencakup pemahaman dasar tentang hoax, tetapi juga teknik yang mendalam untuk mengidentifikasinya dan analisis kritis yang diperlukan untuk memilah informasi. Pelajaran literasi media ini harus mencakup studi kasus nyata tentang bagaimana hoax dapat merusak dan memanipulasi persepsi publik, sehingga pemuda dapat memahami akibat dari menyebarkan atau mempercayai informasi palsu.
2. Pemahaman tentang Sumber Informasi
Pemuda harus dididik tentang pentingnya memverifikasi informasi sebelum mempercayainya atau menyebarkannya. Mereka juga harus belajar tentang sumber berita yang terpercaya dan cara memverifikasi kebenaran informasi. Hal ini mencakup memahami betapa pentingnya melihat keanekaragaman sumber informasi dan membandingkan perspektif yang berbeda sebelum membuat kesimpulan. Selain mengajarkan  untuk mencari tanda "verifikasi" di platform media sosial, mereka juga harus belajar tentang etika berbagi informasi dan bagaimana hal itu berdampak pada orang lain.
3. Kritis dalam Berpikir
Pemuda harus dididik untuk berpikir kritis tentang hal-hal yang mereka temui di media sosial. Ini termasuk mempertanyakan apa yang mereka lihat, seperti konteksnya, bukti yang mendukungnya, dan alasan di balik informasi. Mereka harus dilatih untuk tidak tergesa-gesa membuat kesimpulan berdasarkan judul yang menarik atau grafik yang provokatif sebaliknya, mereka harus melakukan penelusuran lebih lanjut untuk memastikan bahwa informasi itu benar. Selain itu, berpikir kritis juga berarti mengetahui tentang bias yang mungkin ada dalam informasi yang mereka konsumsi serta bagaimana bias ini dapat memengaruhi cara mereka melihat suatu topik.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pemuda harus cerdas dalam memilah informasi, membedakan antara kebenaran dan hoax. Mereka juga harus menjadi yang terdepan dalam memerangi hoax, memerangi hate speech, dan menganjurkan diskusi yang cerdas tapi santun di media sosial. Pemuda memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan dalam memerangi hoax dan ujaran pelecehan jika mereka mahir membaca dan memahami media. Pemuda dapat berkontribusi secara proaktif dalam menyebarkan informasi yang akurat, memeriksa kebenaran berita sebelum menyebarkannya, dan memberikan tanggapan yang bijaksana terhadap berita palsu atau hate speech yang mereka temui. Dengan partisipasi aktif ini, mereka dapat membantu membangun lingkungan media sosial yang lebih sehat, beretika, dan berwawasan di mana diskusi konstruktif dan bermanfaat dapat berkembang.Â
RefrensiÂ
Prasetyo, B., & Nugroho, D. S. (2020). "Kajian Terhadap Konten Negatif di Media Sosial dan Dampaknya Terhadap Sikap Remaja." Jurnal Studi Sosial dan Politik, 4(1), 33-46.
Suprayitno, A., & Handoko, D. (2019). "Media Sosial, Hoax, dan Problem Sosial pada Remaja." Jurnal Penelitian Humaniora, 20(2), 124-135.
Wibowo, A., & Pratama, A. (2018). "Hoax di Media Sosial sebagai Ancaman Generasi Milenial dalam Berinteraksi di Ruang Publik." Jurnal Komunikasi, 10(2), 123-134.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H