Mohon tunggu...
Salsa Kamila jannah
Salsa Kamila jannah Mohon Tunggu... Sales - Mahasiswa Mercu Buana

Mahasiswa Magister akuntansi - Nim 43223110068 - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitas Mercu Buana - Pendidikan Anti Korupsi dan Etik Prof. Dr. Apollo Daito, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Diskursus G Peter Hoefnagels Pada Skema "Criminal Policy" di Ruang Publik di Indonesia

7 Desember 2024   17:07 Diperbarui: 7 Desember 2024   17:32 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diskursus G Peter Hoefnagels pada Skema “Criminal Policy” di Ruang Publik di Indonesia

kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Kebijakan kriminal terhadap kejahatan ideologi tidak hanya berfokus pada yuridis normatif semata, melainkan perlu kebijakan yang integral komprehensif dari berbagai kondisi sosial lainnya.

Apa yang di maksud "Criminal Policy"?

Secara harafiah, pengertian kebijakan berasal dari Bahasa Belanda ”Politiek” dan Bahasa Inggris ”Policy” yang bermakna atau memiliki arti politik, kebijaksanaan Berbicara mengenai kebijaksanaan itu, maka kebijaksanaan yang dimaksud antara lain meliputi: kebijakan politik kriminal, kebijakan politik sosial, kebijakan integral/sistematik dalam penanggulangan kejahatan. Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) adalah “rational organization to respons of crime”, sehingga kata “kebijakan” sebagai padanan dari kata “policy” disini lebih ditujukan pada adanya tanggapan masyarakat atau “social respons” terhadap kejahatan dan segala problematikanya. Dengan demikian kata “kriminal” merujuk pada objek dari kebijakan tersebut, yaitu “tindak pidana”, orang yang melakukan tindak pidana tersebut dan sanksinya (pemidanaan). Dilihat dari objeknya tersebut kebijakan kriminal dapat juga disebut dengan “Criminal Law Policy” atau “Kebijakan Hukum Pidana”. Peter Hoefnagels (dalam Kenedi, 2017: 17) menjabarkan bahwa ada beberapa definisi terkait politik kriminal, di antaranya:

1. kebijakan kriminal adalah ilmu tentang reaksi dalam menghadapi kejahatan;

2. kebijakan kriminal adalah ilmu untuk menanggulangi kejahatan;

3. kebijakan kriminal adalah kebijakan untuk merancang tingkah laku manusia sebagai kejahatan; dan

4. kebijakan kriminal adalah satu reaksi terhadap kejahatan yang rasional.

Mengapa Criminal Policy penting?

Kebijakan kriminal atau criminal policy penting karena bertujuan untuk melindungi masyarakat dan mencapai kesejahteraan masyarakat. Kebijakan kriminal merupakan upaya rasional masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Kebijakan ini mencakup penggunaan hukum pidana, hukum perdata, hukum administrasi, dan lain-lain. Tujuan akhir dari kebijakan kriminal (criminal policy) adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan utama, yang sering disebut dengan beberapa istilah, misalnya kebahagiaan warga masyarakat (happiness of the citizens), ”kehidupan kultural yang sehat dan menyegarkan (a wholesome and cultural living), kesejahteraan masyarakat (social welfare), atau untuk mecapai keseimbangan (equality). Dengan memperhatikan tujuan-tujuan dari kebijakan kriminal tersebut, maka wajar apabila dikatakan bahwa politik kriminal atau kebijakan kriminal (criminal policy) merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional. Keterkaitan antara kebijakan hukum pidana (penal policy) dengan kebijakan kriminal (criminal policy) dapat pula dilihat dari segi kebijakan. Sebagai suatu kebijakan (policy) yang ditujukan untuk kepentingan publik, maka penggunaan hukum pidana (penal) dalam memberantas kejahatan, tentu saja harus melalui suatu proses, yakni penentuan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, pemilihan cara-cara (ways) dan sarana-sarana (means) guna pencapaian tujuan-tujuan tersebut.


Bagaimana Cara penanggulangan kejahatan?
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh G.P. Hoefnagels yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief, upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yakni jalur penal dan jalur non penal. Sejalan dengan pendapat Barda Nawawi Arief, bahwa Muladi juga menjelaskan bahwa upaya untuk menanggulangi kejahatan secara operasional dapat dilakukan baik melalui sarana penal maupun sarana non penal. Kedua sarana ini merupakan suatu pasangan yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Bahkan keduanya dapat dikatakan saling melengkapi dalam usaha penanggulangan kejahatan di masyarakat. Menurut Barda Nawawi Arief, bahwa upaya penanggulangan lewat jalur penal ini bisa juga disebut sebagai upaya yang dilakukan melalui jalur hukum pidana. Upaya ini merupakan upaya penanggulangan yang lebih menitikberatkan pada sifat represif, yakni tindakan yang dilakukan sesudah kejahatan terjadi dengan penegakan hukum dan penjatuhan hukuman terhadap kejahatan yang telah dilakukan. Selain itu, melalui upaya penal ini, tindakan yang dilakukan dalam rangka menanggulangi kejahatan sampai pada tindakan pembinaan maupun rehabilitasi.

Bagaimana hubungan kebijakan hukum pidana (penal policy) dengan kebijakan kriminal (criminal policy)?

Menurut Barda Nawawi Arief, terdapat dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal (sebagai upaya penganggulangan kejahatan) dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), yaitu : 

1. Masalah penentuan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana.

2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.

Selanjutnya terkait dengan sarana dalam pelaksanaan kebijakan kriminal (criminal policy), G.P. Hoefnagels mengatakan bahwa upaya penangulangan kejahatan dengan menggunakan kebijakan kriminal (criminal policy) dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu :

1. Penerapan hukum pidana (criminal law application) adalah proses penerapan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan. Penerapan hukum pidana melibatkan berbagai sub sistem struktural, seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, pemasyarakatan, dan lembaga penasehat hukum. 

2. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment) adalah kebijakan yang tidak menggunakan sarana penal, melainkan berupa upaya-upaya untuk mencegah kejahatan sebelum terjadi. Kebijakan ini dilakukan dengan cara: Membentuk opini masyarakat tentang kejahatan, Menyosialisasikan hukum melalui media massa. 

3. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment/mass media).

Pada intinya, hubungan antara kebijakan hukum pidana (penal policy) dengan kebijakan kriminal (criminal policy) adalah upaya penanggulangan kejahatan dalam masyarakat dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal). Dengan demikian, kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan salah satu bagian dari upaya penganggulangan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam kebijakan kriminal (criminal policy).

G.P. Hoefnagels mengupas pemikirannya tentang kebijakan kriminal (criminal policy) sebagai ilmu pengetahuan tentang kebijakan dalam menanggulangi kejahatan/ ilmu pengetahuan tentang pencegahan kejahatan. Ilmu ini meliputi usaha pencarian jalan keluar dalam memengaruhi manusia dan masyarakat dengan menggunakan hasil penelitian kriminologi. Kebijakan menanggulangi kejahatan merupakan organisasi rasional dari reaksi-reaksi sosial terhadap kejahatan, juga merupakan bagian dari kebijakan yang lebih luas dalam bidang menegakkan hukum (the law enforcement policy). Hal ini menempatkan hukum perdata dan hukum administrasi menduduki tempat yang sama dalam ragaan G.P. Hoefnagels sebagai sarana pencegahan kejahatan yang tidak bersifat pidana (non criminal legal crime prevention).

Bagaimana Pengimplementasian Criminal Policy di Indonesia?

Kebijakan kriminal merupakan tanggapan masyarakat terhadap kejahatan dan segala problematikanya. Kebijakan kriminal dapat diimplementasikan dengan berbagai cara, seperti: Penerapan hukum pidana, Pencegahan tanpa pidana, Membangun komunitas yang sadar hukum, Membangun kerja sama dengan aparat untuk menanggulangi tindak pidana, Memengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan melalui media massa.  Berikut adalah beberapa contoh kebijakan kriminal (criminal policy) yang diimplementasikan di Indonesia:
1. UU Nomor 35 Tahun 2014: Mengatur tindak pidana perkosaan, di mana pelaku dapat dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun, serta denda paling banyak Rp5 miliar.
2. Perpu Nomor 1 dan Nomor 2 Tahun 2002: Diterbitkan untuk menanggulangi kejahatan terorisme.
3. UU Nomor 15 Tahun 2003 dan UU Nomor 16 Tahun 2003: Diterbitkan untuk menanggulangi kejahatan terorisme.
4. UU Nomor 31 Tahun 1999: Mengatur kebijakan kriminal dalam penanggulangan tindak pidana korupsi, seperti perampasan barang dan pembayaran uang pengganti.

Bagaimana Kebijakan Criminal Policy di Indonesia?

Kebijakam Kriminal merupakan bagian dari Kebijakan Sosial (Social Policy), yaitu merupakan ejawantah dari Kebijakan Kriminal merupakan bagian dari kebijakan Perlindungan Masyarakat (Social Defence Policy) disamping Kebijakan Kesejahteraan Sosial (Social Welfare Policy). Terdapat juga Kebijakan legislatif kriminal dalam bidang hukum pidana, Pengkajian terhadap Kebijakan Legislatif dalam bidang Hukum Pidana dilakukan dengan memperhatikan beberapa kecenderungan, Adanya over criminalization terhadap berbagai kejahatan-kejahatan konvensional (blue collar crime), sehingga perlu kebijakan dekriminalisasi atau depenalisasi, Adanya under legislation terhadap berbagai kejahatan-kejahatan baru, terutama yang memanfaatkan tekhnologi informasi, yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mempunyai kedudukan sosial tertentu (white collar crime) sehingga diperlukan kebijakan kriminalisasi dan penalisasi.

Terdapat Tiga Objek Pengkajian Kebijakan Hukum Pidana yaitu:

1. Kebijakan Legislatif (Legislatif Policy), yaitu kebijakan hukum pidana dalam tahap perumusan (formulasi) masalah-masalah yang berhubungan dengan hukum pidana.
2. Kebijakan Yudikatif (Judicative Policy), yaitu kebijakan hukum pidana dalam tahap penerapan (aplikasi) ketentuan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan hukum pidana.
3. Kebijakan Eksekutif (Executive Policy), yaitu kebijakan hukum pidana dalam tahap fungsionalisasi oleh pejabat yang berwenang menyuruh menjalankan keputusan-keputusan dalam bidang hukum pidana.

Bagaimana Contoh Kasus Criminal Policy di Indonesia ?

kasus dugaan korupsi Kementerian Sosial ini diawali dengan adanya pengadaan barang berupa bantuan sosial (bansos) dalam rangka penanganan Covid-19. KPK menetapkan Menteri Sosial Juliari Batubara sebagai tersangka kasus korupsi program bansos Covid-19 pada tanggal 6 Desember 2020. Juliari menerima total Rp 32,2 miliar dari korupsi bansos. Juliari selaku Menteri Sosial, menunjuk dua pejabat pembuat komitmen di Kementerian Sosial yaitu Matheus Joko Santoso (MJS) dan Adi Wahyono (AW) sebagai pejabat pembuat komitmen dalam proyek tersebut dengan penunjukan langsung antar rekanan, serta tersangka lain dari pihak swasta, AIM dan HS ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap. Adapun jumlah uang yang yang diterima Juliari untuk kepentingan pribadinya adalah sebesar Rp 14,5 miliar. Sumber uang tersebut berasal dari pengusaha Harry Van Sidabukke sebanyak Rp 1,28 miliar dan Ardian Iskandar Maddanatja sebanyak Rp 1,9 miliar. Sedangkan sebanyak Rp 29,2 miliar dari beberapa perusahaan penyedia barang sembako bansos Covid-19. Pada Juli 2021, Jaksa Penuntut Umum menuntut Juliari dihukum 11 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan dan membayar uang pengganti sebanyak Rp 14,5 miliar dan pencabutan hak politik selama 4 tahun setelah menjalani hukuman penjara. Jika mengkaji mengenai kebijakan kriminal dalam kasus Juliari Batubara ini, bisa kita lihat dalam 3 bentuk yaitu :

1. Putusan hakim yang menjatuhkan 12 tahun pidana penjara , denda sebesar Rp500 juta dan uang pengganti sebanyak Rp14,5 miliar, serta pidana tambahan berupa tidak boleh menggunakan hak politik selama 4 (empat) tahun setelah menjalani pidana penjara. Ini adalah kebijakan yang bersifat represif dengan menggunakan sarana penal.

2. Kerja Sosial bagi terpidana. Ini adalah kebijakan tanpa menggunakan sarana penal.

3. Stigma buruk dan cacian publik terhadap Juliari Batubara akan terus melekat walau Juliari telah keluar dari penjara.

Selain itu, dalam kebijakan kriminal harus ada kebijakan sosial yang seharusnya menjadi satu kesatuan integral dalam kebijakan kriminal dalam kasus Juliari Batubara. Dimana uang pengganti yang nanti dibayarkan oleh terpidana Juliari Batubara harusnya langsung disalurkan ke masyarakat yang membutuhkan, yang mana ada masyarakat yang belum menerima bantuan sosial tersebut.

Penyebab adanya kejahatan sendiri bisa terjadi karena :

1. Biologis/Psikologis

penyimpangan terjadi karena susunan biologis individu, seperti materi genetik yang diwariskan dari orang tua kepada anak dan kekurangan dan kondisi mental, seperti motivasi dan dorongan untuk melanggar norma-norma sosial.

2. Sosiologis 

penyimpangan terjadi karena pengaruh lingkungan sosial, seperti nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. 

3. Teori Penyimpangan Budaya 

teori yang menjelaskan bahwa kejahatan terjadi karena posisi orang yang tidak beruntung dalam masyarakat berbasis kelas daerah dengan status sosial ekonomi yang lebih rendah memiliki tingkat kejahatan yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena disorganisasi dalam masyarakat dan dampaknya yang mengubah norma masyarakat menjadi lebih nakal. 

4. Teori Kontol Sosial 

teori yang beransumsi  bahwa individu di masyarakat mempunyai kecenderungan yang sama kemungkinannya, menjadi “baik” atau “jahat”. Baik jahatnya seseorang sepenuhnya tergantung pada masyarakatnya. Ia menjadi baik baik kalau masyarakat membuatnya begitu. 

Daftar Pustaka :

Hattu, J. (2014). KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN ANAK. Jurnal Sasi Vol 20. No 2. Bulan Juli - Desember 2014 .

NANA ROSITA SARI, M. P. (2021). HUBUNGAN KEBIJAKAN HUKUM PIDANA (PENAL POLICY)DENGAN KEBIJAKAN KRIMINAL (CRIMINAL POLICY). MAKALAH POLITIK KRIMINAL .

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun