Bagaimana Pengimplementasian Criminal Policy di Indonesia?
Kebijakan kriminal merupakan tanggapan masyarakat terhadap kejahatan dan segala problematikanya. Kebijakan kriminal dapat diimplementasikan dengan berbagai cara, seperti: Penerapan hukum pidana, Pencegahan tanpa pidana, Membangun komunitas yang sadar hukum, Membangun kerja sama dengan aparat untuk menanggulangi tindak pidana, Memengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan melalui media massa. Â Berikut adalah beberapa contoh kebijakan kriminal (criminal policy) yang diimplementasikan di Indonesia:
1. UU Nomor 35 Tahun 2014: Mengatur tindak pidana perkosaan, di mana pelaku dapat dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun, serta denda paling banyak Rp5 miliar.
2. Perpu Nomor 1 dan Nomor 2 Tahun 2002: Diterbitkan untuk menanggulangi kejahatan terorisme.
3. UU Nomor 15 Tahun 2003 dan UU Nomor 16 Tahun 2003: Diterbitkan untuk menanggulangi kejahatan terorisme.
4. UU Nomor 31 Tahun 1999: Mengatur kebijakan kriminal dalam penanggulangan tindak pidana korupsi, seperti perampasan barang dan pembayaran uang pengganti.
Bagaimana Kebijakan Criminal Policy di Indonesia?
Kebijakam Kriminal merupakan bagian dari Kebijakan Sosial (Social Policy), yaitu merupakan ejawantah dari Kebijakan Kriminal merupakan bagian dari kebijakan Perlindungan Masyarakat (Social Defence Policy) disamping Kebijakan Kesejahteraan Sosial (Social Welfare Policy). Terdapat juga Kebijakan legislatif kriminal dalam bidang hukum pidana, Pengkajian terhadap Kebijakan Legislatif dalam bidang Hukum Pidana dilakukan dengan memperhatikan beberapa kecenderungan, Adanya over criminalization terhadap berbagai kejahatan-kejahatan konvensional (blue collar crime), sehingga perlu kebijakan dekriminalisasi atau depenalisasi, Adanya under legislation terhadap berbagai kejahatan-kejahatan baru, terutama yang memanfaatkan tekhnologi informasi, yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mempunyai kedudukan sosial tertentu (white collar crime) sehingga diperlukan kebijakan kriminalisasi dan penalisasi.
Terdapat Tiga Objek Pengkajian Kebijakan Hukum Pidana yaitu:
1. Kebijakan Legislatif (Legislatif Policy), yaitu kebijakan hukum pidana dalam tahap perumusan (formulasi) masalah-masalah yang berhubungan dengan hukum pidana.
2. Kebijakan Yudikatif (Judicative Policy), yaitu kebijakan hukum pidana dalam tahap penerapan (aplikasi) ketentuan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan hukum pidana.
3. Kebijakan Eksekutif (Executive Policy), yaitu kebijakan hukum pidana dalam tahap fungsionalisasi oleh pejabat yang berwenang menyuruh menjalankan keputusan-keputusan dalam bidang hukum pidana.
Bagaimana Contoh Kasus Criminal Policy di Indonesia ?
kasus dugaan korupsi Kementerian Sosial ini diawali dengan adanya pengadaan barang berupa bantuan sosial (bansos) dalam rangka penanganan Covid-19. KPK menetapkan Menteri Sosial Juliari Batubara sebagai tersangka kasus korupsi program bansos Covid-19 pada tanggal 6 Desember 2020. Juliari menerima total Rp 32,2 miliar dari korupsi bansos. Juliari selaku Menteri Sosial, menunjuk dua pejabat pembuat komitmen di Kementerian Sosial yaitu Matheus Joko Santoso (MJS) dan Adi Wahyono (AW) sebagai pejabat pembuat komitmen dalam proyek tersebut dengan penunjukan langsung antar rekanan, serta tersangka lain dari pihak swasta, AIM dan HS ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap. Adapun jumlah uang yang yang diterima Juliari untuk kepentingan pribadinya adalah sebesar Rp 14,5 miliar. Sumber uang tersebut berasal dari pengusaha Harry Van Sidabukke sebanyak Rp 1,28 miliar dan Ardian Iskandar Maddanatja sebanyak Rp 1,9 miliar. Sedangkan sebanyak Rp 29,2 miliar dari beberapa perusahaan penyedia barang sembako bansos Covid-19. Pada Juli 2021, Jaksa Penuntut Umum menuntut Juliari dihukum 11 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan dan membayar uang pengganti sebanyak Rp 14,5 miliar dan pencabutan hak politik selama 4 tahun setelah menjalani hukuman penjara. Jika mengkaji mengenai kebijakan kriminal dalam kasus Juliari Batubara ini, bisa kita lihat dalam 3 bentuk yaitu :
1. Putusan hakim yang menjatuhkan 12 tahun pidana penjara , denda sebesar Rp500 juta dan uang pengganti sebanyak Rp14,5 miliar, serta pidana tambahan berupa tidak boleh menggunakan hak politik selama 4 (empat) tahun setelah menjalani pidana penjara. Ini adalah kebijakan yang bersifat represif dengan menggunakan sarana penal.
2. Kerja Sosial bagi terpidana. Ini adalah kebijakan tanpa menggunakan sarana penal.
3. Stigma buruk dan cacian publik terhadap Juliari Batubara akan terus melekat walau Juliari telah keluar dari penjara.