Oleh:
Erlintang Az Zahra
Salsabil Ath-Thayyiba Utomo
Universitas Brawijaya
AbstrakÂ
Berbagai kasus gangguan makan (eating disorder) telah menjadi masalah kesehatan mental di beberapa negara sejak dahulu. Gangguan makan (eating disorder) tersebar di berbagai bidang, mulai dari industri mode hingga lingkungan sekolah dan universitas. Sayangnya, orang-orang masih sering menyepelekan atau bahkan belum menyadari akan keberadaan salah satu jenis gangguan mental ini. Gangguan makan (eating disorder) memiliki jenis serta faktor penyebab yang beraneka ragam, diantaranya faktor internal yang berasal dari dalam diri penderita itu sendiri, serta faktor eksternal yang berasal dari orang lain, seperti komentar negatif baik verbal maupun tulisan dari orang-orang di sekitar penderita. Selain itu, standar kecantikan yang berlaku di masyarakat saat ini juga memainkan peran penting dalam gangguan mental ini. Hal tersebut menjadi beberapa faktor pendukung gangguan makan (eating disorder) masih sulit untuk diidentifikasi dan kerap tidak disadari oleh penderita maupun orang di sekitarnya. Oleh karenanya, kesadaran terkait gangguan makan (eating disorder) perlu ditanamkan pada setiap individu, khususnya remaja perempuan yang masih mendominasi gangguan ini. Upaya peningkatan kesadaran terkait gangguan makan (eating disorder) juga sangat memerlukan keterlibatan berbagai pihak, diantaranya para peneliti, tenaga kesehatan, masyarakat, dan tak lupa penderita itu sendiri.
Kata Kunci: gangguan makan, kesehatan fisik dan mental, upaya peningkatan kesadaran
Negara-negara yang memiliki standar kecantikan berupa tubuh yang kurus, umumnya tidak memiliki kesadaran yang cukup mengenai gangguan makan (eating disorder), bahkan menganggapnya sebagai sesuatu yang baik. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena gangguan makan (eating disorder) merupakan salah satu jenis gangguan mental yang melumpuhkan, mematikan, dan sangat mengganggu baik kesehatan fisik maupun fungsi psikososial. Menurut Treasure, Duarte, dan Schmidt pada tahun 2020, kasus terjadinya gangguan makan (eating disorder) telah meningkat selama 50 tahun terakhir meskipun perubahan dalam lingkungan makan telah diimplikasikan. Hal ini menegaskan bahwa gangguan makan (eating disorder) sangatlah berbahaya, namun orang-orang kerap menyepelekannya.
Gangguan makan (eating disorder) merupakan gangguan mental yang mencakup berat badan, bentuk tubuh, dan konsumsi makanan sebagai kunci utama masalahnya. Gangguan makan (eating disorder) memiliki 6 jenis yang sekarang dapat diidentifikasi di sistem diagnostik, antara lain anorexia nervosa, bulimia nervosa, binge eating disorder, avoidant-restrictive food intake disorder, pica, dan rumination disorder. Bentuk presentasi dari gangguan makan (eating disorder) bervariasi bagi pria ataupun wanita.
Penyebab gangguan makan (eating disorder) sangatlah bervariasi, salah satunya adalah faktor internal yang berasal dari diri sendiri, seperti perasaan kurang puas akan penampilan atau biasa dikenal dengan low body acceptance, pandangan yang buruk terhadap kondisi tubuh atau bad body image, dan lain sebagainya. Hal tersebut berbanding terbalik, dan tidak sepenuhnya benar karena realitanya, tidak menutup kemungkinan bahwa opini atau pandangan seseorang terhadap dirinya sendiri adalah hasil dari gangguan psikologis yang ia alami. Maka dari itu, penting bagi seseorang untuk memiliki kesadaran terhadap gangguan makan (eating disorder) agar bisa segera menghubungi profesional untuk mendapatkan diagnosis serta penanganan yang tepat ketika ia merasa terkena gangguan makan (eating disorder).
Gangguan makan kerap tidak disadari oleh penderita maupun orang sekitarnya. Hal ini menyebabkan angka kasus gangguan makan (eating disorder) meningkat secara drastis. Gangguan makan juga terbagi atas berbagai kategori dengan penyebabnya masing-masing yang berbeda satu sama lain.
Contoh kasus pada penderita anorexia nervosa, salah satu jenis dari gangguan makan (eating disorder). Penderita gangguan makan (eating disorder) jenis ini akan terus berfokus untuk menurunkan berat badannya, meskipun berat badannya sudah dibawah angka ideal. Secara fisik, penderita anorexia nervosa terlihat sangat kurus namun pada umumnya mereka masih merasa memiliki berat badan berlebih atau body image yang tidak sesuai dengan kenyataannya.
Demi meminimalisir hingga menghentikan perkembangan gangguan makan (eating disorder) pada remaja perempuan, diperlukan edukasi terkait gangguan makan itu sendiri. Para remaja perempuan perlu memahami konsep gangguan makan serta kaitannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini mencakup usaha preventif yang dapat dilakukan dan yang tak kalah penting yaitu langkah-langkah yang harus diambil jika diri sendiri maupun orang lain merasa memiliki gejala-gejala dari gangguan makan.
Berdasarkan uraian diatas, artikel ini berfokus pada pentingnya kesadaran terkait gangguan makan (eating disorder) pada remaja perempuan. Hal ini karena mayoritas penderita gangguan makan (eating disorder) adalah remaja perempuan. Adapun tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui pentingnya kesadaran terkait gangguan makan (eating disorder) pada remaja perempuan.
GANGGUAN MAKAN (EATING DISORDER)
Gangguan makan (eating disorder) merupakan gangguan mental yang mencakup berat badan, bentuk tubuh, dan konsumsi makanan sebagai kunci utama masalahnya. Gangguan makan (eating disorder) memiliki 6 jenis yang telah teridentifikasi oleh sistem diagnostik, antara lain anorexia nervosa, bulimia nervosa, binge eating disorder, avoidant-restrictive food intake disorder, pica, dan rumination disorder. Meskipun berhubungan dengan pola makan dan berat badan, gangguan makan (eating disorder) bukanlah sekedar mengenai makanan, tetapi juga mengenai perasaan dan ekspresi diri (Krisnani, dkk., 2018). Hal ini mendasari penyebab gangguan makan (eating disorder) yang secara umum dapat dibagi menjadi dua, yakni faktor eksternal yang dapat dicontohkan dengan perilaku ataupun ucapan seseorang yang mengarah kepada celaan fisik (body shaming) serta standar kecantikan (beauty standard) yang tidak realistis, dan faktor internal dari diri sendiri, seperti perasaan kurang puas akan penampilan (low body acceptance) dan pandangan yang buruk terhadap kondisi tubuh (bad body image).
Industri mode merupakan salah satu contoh nyata dari kasus gangguan makan (eating disorder), dan sudah menjadi rahasia umum bahwa tuntutan proporsi tubuh model yang 'ideal' diidentikkan dengan berat badan yang kurang. Menurut sebuah studi baru yang dilakukan oleh Model Health Inquiry, ada kurang lebih sebanyak 40% model yang saat ini mungkin menderita beberapa jenis gangguan makan. Persyaratan tubuh untuk model pada salah satu merek internasional benar-benar menempatkan mereka dalam kisaran BMI di bawah normal. Model harus tepat 5 kaki 9 inci (sekitar 172 cm) dengan ukuran pinggang 24 inci (sekitar 61 cm), dan total lemak tubuh tidak lebih dari 18% untuk dapat memproduksi pakaian yang akan ditunjukkan pada fashion show.
Sara Ziff, peneliti dan pendiri Model Alliance menyebutkan bahwa 20% model diberitahu oleh agensi mereka bahwa mereka dapat diberhentikan kecuali menurunkan berat badan, dan lebih dari 9% telah direkomendasikan operasi plastik. Kebijakan ini mendorong, serta membuat model terobsesi memiliki berat badan dengan ukuran nol (size zero). Sayangnya, kenyataan pada industri mode yang mengiris hati ini sudah terjadi selama bertahun-tahun. Hal ini juga dapat memberi contoh yang tidak baik untuk anak-anak remaja generasi selanjutnya.
Tidak hanya terjadi industri mode, insiden gangguan makan (eating disorder) juga terjadi pada lingkungan universitas. Bukti dari berbagai sumber menunjukkan bahwa gejala gangguan makan (eating disorder) menyebar di populasi perguruan tinggi. Perkiraan prevalensi pada tahun 2011 di kalangan mahasiswa berkisar antara 8% hingga 17%. Dalam survei nasional mahasiswa, 20% responden mengatakan mereka menduga bahwa mereka pernah menderita gangguan makan pada suatu saat dalam hidup mereka. Sedangkan dalam American College Health Association's National College Health Assessment (ACHA-NCHA), 3% wanita dan 0,4% pria dilaporkan pernah menerima diagnosis anorexia; 2% wanita dan 0,2% pria melaporkan diagnosis bulimia sebelumnya; dan 4% wanita, dan 1% pria melaporkan muntah atau mengonsumsi obat pencahar untuk menurunkan berat badan dalam 30 hari sebelumnya.
Secara global, gangguan makan (eating disorder) memiliki sejarah yang bervariasi pada tiap-tiap negara, salah satunya negara Fiji yang telah banyak dipelajari karena peningkatan gangguan makan setelah pengaruh westernisasi dimulai pada pertengahan 1990-an. Seorang peneliti bernama Dr. Becker memimpin berbagai penelitian tentang pengukuran psikopatologi makan dan cita-cita kecantikan baik sebelum dan sesudah pengenalan televisi. Sebelum tahun 1990-an, hanya ada 1 kasus gangguan makan (eating disorder) yang terdokumentasi, namun setelah televisi diperkenalkan, tingkat gangguan makan (eating disorder) meningkat di kalangan wanita Fiji. Dengan prevalensi televisi dan ide-ide yang lebih kebarat-baratan, tingkat ketidakpuasan tubuh, diet, keinginan untuk menurunkan berat badan dan internalisasi ideal kurus serta perilaku bulimia menjadi lebih luas. Di daerah seperti Pakistan, kasus awal gangguan makan (eating disorder) juga muncul pada tahun 1990-an, bahkan dengan kekurangan gizi di beberapa daerah negara, serta gagasan perempuan untuk menjadi kuat, yang secara historis dikaitkan dengan kekayaan dan otoritas.Â
Studi terbaru pada wanita (berusia 16-20 tahun) pada salah satu universitas di Pakistan menunjukkan bahwa ada peningkatan risiko gangguan makan (eating disorder) dan 33% mahasiswa wanita memiliki ketidakpuasan dengan berat badan mereka, serta 64% mendapat skor 2 atau lebih tinggi. Secara historis, Pakistan telah menjadi masyarakat tertutup konservatif dengan eksposur rendah oleh media barat, fashion, dan iklan. Selain itu, dalam beberapa dekade terakhir, Pakistan juga telah mengalami peningkatan industrialisasi dan urbanisasi. Studi dari 2011 menunjukkan bahwa paparan media berkorelasi dengan citra tubuh negatif dan ketidakpuasan pada wanita maupun pria. Pada tahun 2014, studi lain oleh Pike dan rekan menemukan bahwa di negara-negara Arab dan Asia, gangguan makan (eating disorder) meningkat seiring dengan meningkatnya industrialisasi dan urbanisasi di wilayah tersebut.
PENANAMAN KESADARAN TERKAIT GANGGUAN MAKAN (EATING DISORDER) PADA REMAJA PEREMPUAN
Gangguan makan (eating disorder) yang di mana lebih umum dialami oleh remaja perempuan dan wanita dewasa dibanding remaja laki-laki dan pria dewasa mampu menimbulkan tingkat morbiditas medis yang serius dan memiliki tingkat kematian tertinggi dari semua gangguan psikologis yang tercantum dalam daftar DSM-5 (Martz and Rogers, 2016). Hal ini tentunya sangat menekankan bahwa kesadaran terkait gangguan makan (eating disorder) terutama pada remaja perempuan sangat memerlukan peningkatan. Peningkatan kesadaran ini memerlukan tidak hanya satu, tapi berbagai campur tangan pihak mengingat faktor terjadinya gangguan makan (eating disorder) ini tidak hanya faktor internal saja, tapi juga faktor eksternal yang turut berperan dalam terjadinya gangguan psikologis ini. Pihak-pihak yang dapat ikut terlibat dalam peningkatan kesadaran ini, antara lain pemerintah setempat, tenaga kesehatan, orangtua, serta para remaja itu sendiri. Contoh dari keterlibatan para pihak tersebut adalah pemerintah dan tenaga kesehatan yang bekerja sama dalam membuat suatu program penyuluhan mengenai gangguan makan (eating disorder) dan mengundang orangtua, serta anak remaja mereka sebagai target penyuluhan program tersebut.
Tenaga kesehatan primer memiliki peran unik dalam mendiagnosis dan mengobati gangguan makan (eating disorder). Akan tetapi, tinjauan pendidikan kedokteran sering kali menunjukkan bahwa pelatihan dalam identifikasi dan pengobatan tenaga kesehatan masih kurang memadai. Tenaga kesehatan hanya mampu mendeteksi gangguan makan ketika substansial medis dan konsekuensi psikologis telah timbul dan berkembang pada penderitanya (Sim, dkk., 2010). Fakta ini menegaskan bahwa sudah seharusnya kesadaran para peneliti lebih ditingkatkan, agar para peneliti lebih gencar dalam mengembangkan penelitian mengenai cara mendeteksi gangguan psikologis ini, serta cara pengobatan alternatif lainnya. Kesadaran para tenaga kesehatan juga harus ditingkatkan, dengan tujuan agar tenaga kesehatan akan menaruh perhatian lebih terhadap pasiennya, serta rutin menanyakan perihal pola makanan pasien mereka, agar ketika terdapat hal-hal yang janggal akan langsung ditindak lanjuti.
Tidak hanya kesadaran para peneliti dan tenaga kesehatan, kesadaran masyarakat akan gangguan makan (eating disorder) juga sudah sepatutnya ikut ditingkatkan. Keterlibatan masyarakat tentunya akan berguna dalam mengurangi jumlah insiden terjadinya gangguan psikologis ini. Salah satu bentuk upaya yang dapat dilakukan oleh oknum-oknum di masyarakat adalah dengan membuat campaign yang mempromosikan kegiatan self-love, mengingat bahwa berdasarkan Martz dan Rogers pada tahun 2016, ketidakpuasan citra tubuh adalah salah satu prediktor terkuat kondisi gangguan makan (eating disorder).
Adapun tujuan penderita anorexia nervosa membuat dirinya lapar adalah agar mereka memiliki penampilan fisik yang ramping dan menarik perhatian lawan jenisnya (Krisnani, dkk., 2017). Fakta ini mempertegas bahwa standar kecantikan masyarakat masa kini sudah tergolong tidak sehat. Standar kecantikan berupa tubuh yang putih dan kurus ini sudah merenggut hidup para remaja wanita. Mulai dari mengonsumsi atau menginjeksi vitamin C dengan dosis yang tinggi, hingga menahan rasa lapar, semua akan mereka lakukan hanya semata-mata agar disebut cantik.
Standar kecantikan global saat ini sudah tergolong sebagai salah satu masalah sosial, dan sudah seharusnya dilakukan upaya penggantian standar kecantikan global menjadi tubuh yang sehat dibanding tubuh yang terlampau kurus agar insiden terjadinya salah satu jenis gangguan makan (eating disorder) berupa anorexia nervosa ini tidak terjadi lagi pada remaja lain. Seorang remaja berada pada tahap masa krisis identitas (crisis of identity), hal ini mendorong remaja untuk mencari jati diri (identitas diri), caranya dengan mewujudkan keinginannya agar menjadi seseorang individu yang 'sempurna', secara intelektual, kepribadian, maupun dalam penampilan fisiknya (Krisnani, dkk., 2018). Di sinilah peran orangtua sangat dibutuhkan dalam membimbing anak-anak remaja mereka agar tetap di jalan yang benar, serta menekankan bahwa penampilan fisik yang kurus bukanlah segalanya.
Insiden terjadinya gangguan makan (eating disorder) pada tingkat perawatan primer sudah stabil. Dalam beberapa dekade terakhir, insiden terjadinya anorexia nervosa sudah terhitung stabil, bahkan insiden terjadinya bulimia nervosa menurun. Secara global, prevalensi gangguan makan (eating disorder) telah meningkat sebesar 25% (Treasure, dkk., 2020). Jika upaya peningkatan kesadaran mengenai gangguan makan (eating disorder) terus digencarkan dan berhasil, maka insiden terjadinya gangguan makan (eating disorder) bisa saja menurun. Penurunan insiden ini tentunya tidak hanya pada jenis bulimia nervosa saja, tetapi juga pada jenis gangguan makan (eating disorder) lainnya.
PENUTUP
Gangguan makan (eating disorder) merupakan salah satu jenis gangguan mental yang melumpuhkan, mematikan, serta membutuhkan biaya yang mahal untuk pengobatannya. Kesadaran akan gangguan makan (eating disorder) sangat penting untuk ditingkatkan agar ketika ia mengalami gejala-gejala gangguan makan (eating disorder), ia akan segera mencari bantuan tenaga kesehatan. Hal ini akan mencegah gangguan makan (eating disorder) menjadi semakin parah.
Orang dengan kesadaran yang cukup mengenai gangguan makan (eating disorder) juga akan tau bahwa faktor penyebabnya tidak hanya faktor internal, tapi juga faktor eksternal. Kesadaran akan gangguan makan (eating disorder) penting agar seseorang lebih memikirkan kata-kata yang akan mereka lontarkan sebelum mengomentari perihal fisik orang lain. Jika semua orang memiliki kesadaran mengenai gangguan makan (eating disorder), maka kasus gangguan makan (eating disorder) tentunya akan berkurang.
Diharapkan agar para peneliti, tenaga kesehatan, dan masyarakat tidak hanya berusaha untuk meningkatkan kesadaran terkait gangguan makan (eating disorder), tetapi juga menerapkannya di lingkungan sekitar. Upaya peningkatan kesadaran terkait gangguan makan (eating disorder) juga patut digalakkan. Penanaman kesadaran harus ditanamkan sedini mungkin agar kasusnya (eating disorder) tidak bertambah.
DAFTAR RUJUKAN
Eisenberg, D., Nicklett, E.J., Roeder, K. dan Kirz, N.E. (2011). ‘Eating Disorder Symptoms Among College Students: Prevalence, Persistence, Correlates, and Treatment-Seeking’. Journal of American College Health, 59(8), pp. 700–707.
Hoek, H.W. (2016). ‘Review of the worldwide epidemiology of eating disorders’. Current Opinion in Psychiatry, 29(6), pp.336–339.
Krisnani, H., Santoso, M. B. dan Putri, D. (2018). ‘Gangguan Makan Anorexia Nervosa dan Bulimia Nervosa pada Remaja’, Prosiding Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, 4(3), pp. 399.
Martz, D. M. dan Rogers, C. B. (2016). ‘Understanding and Treating Women's Body Image and Eating Disorders’, North Carolina Medical Journal, 77(6), pp. 426- 429.
Pike, K.M. dan Dunne, P.E. (2015). ‘The rise of eating disorders in Asia: a review’. Journal of Eating Disorders, 3(1).
Sim, L. A., McAlpine, D. E., Grothe, K. B., dkk. (2010). ‘Identification and Treatment of Eating Disorders in the Primary Care Setting’, Mayo Clinic Proceedings, 85(8), pp. 746-751.
Treasure, J., Duarte, T. dan Schmidt, U. (2020). ‘Eating disorders’, The Lancet, 395(10227), pp. 899-900.
van Hoeken, D. dan Hoek, H. W. (2020). ‘Review of the Burden of Eating Disorders: Mortality, Disability, Costs, Quality of Life, and Family Burden’, Current Opinion in Psychiatry, 33(6), pp. 521-527.
Wu, X. Y., Yin, W. Q., Sun, H. W., dkk. (2019). ‘The Association Between Disordered Eating and Health-Related Quality of Life Among Children Adolescents: A Systemic Review of Population-Based Studies’, PLOS ONE, 14(10), pp. 1-3.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H