Gangguan makan kerap tidak disadari oleh penderita maupun orang sekitarnya. Hal ini menyebabkan angka kasus gangguan makan (eating disorder) meningkat secara drastis. Gangguan makan juga terbagi atas berbagai kategori dengan penyebabnya masing-masing yang berbeda satu sama lain.
Contoh kasus pada penderita anorexia nervosa, salah satu jenis dari gangguan makan (eating disorder). Penderita gangguan makan (eating disorder) jenis ini akan terus berfokus untuk menurunkan berat badannya, meskipun berat badannya sudah dibawah angka ideal. Secara fisik, penderita anorexia nervosa terlihat sangat kurus namun pada umumnya mereka masih merasa memiliki berat badan berlebih atau body image yang tidak sesuai dengan kenyataannya.
Demi meminimalisir hingga menghentikan perkembangan gangguan makan (eating disorder) pada remaja perempuan, diperlukan edukasi terkait gangguan makan itu sendiri. Para remaja perempuan perlu memahami konsep gangguan makan serta kaitannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini mencakup usaha preventif yang dapat dilakukan dan yang tak kalah penting yaitu langkah-langkah yang harus diambil jika diri sendiri maupun orang lain merasa memiliki gejala-gejala dari gangguan makan.
Berdasarkan uraian diatas, artikel ini berfokus pada pentingnya kesadaran terkait gangguan makan (eating disorder) pada remaja perempuan. Hal ini karena mayoritas penderita gangguan makan (eating disorder) adalah remaja perempuan. Adapun tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui pentingnya kesadaran terkait gangguan makan (eating disorder) pada remaja perempuan.
GANGGUAN MAKAN (EATING DISORDER)
Gangguan makan (eating disorder) merupakan gangguan mental yang mencakup berat badan, bentuk tubuh, dan konsumsi makanan sebagai kunci utama masalahnya. Gangguan makan (eating disorder) memiliki 6 jenis yang telah teridentifikasi oleh sistem diagnostik, antara lain anorexia nervosa, bulimia nervosa, binge eating disorder, avoidant-restrictive food intake disorder, pica, dan rumination disorder. Meskipun berhubungan dengan pola makan dan berat badan, gangguan makan (eating disorder) bukanlah sekedar mengenai makanan, tetapi juga mengenai perasaan dan ekspresi diri (Krisnani, dkk., 2018). Hal ini mendasari penyebab gangguan makan (eating disorder) yang secara umum dapat dibagi menjadi dua, yakni faktor eksternal yang dapat dicontohkan dengan perilaku ataupun ucapan seseorang yang mengarah kepada celaan fisik (body shaming) serta standar kecantikan (beauty standard) yang tidak realistis, dan faktor internal dari diri sendiri, seperti perasaan kurang puas akan penampilan (low body acceptance) dan pandangan yang buruk terhadap kondisi tubuh (bad body image).
Industri mode merupakan salah satu contoh nyata dari kasus gangguan makan (eating disorder), dan sudah menjadi rahasia umum bahwa tuntutan proporsi tubuh model yang 'ideal' diidentikkan dengan berat badan yang kurang. Menurut sebuah studi baru yang dilakukan oleh Model Health Inquiry, ada kurang lebih sebanyak 40% model yang saat ini mungkin menderita beberapa jenis gangguan makan. Persyaratan tubuh untuk model pada salah satu merek internasional benar-benar menempatkan mereka dalam kisaran BMI di bawah normal. Model harus tepat 5 kaki 9 inci (sekitar 172 cm) dengan ukuran pinggang 24 inci (sekitar 61 cm), dan total lemak tubuh tidak lebih dari 18% untuk dapat memproduksi pakaian yang akan ditunjukkan pada fashion show.
Sara Ziff, peneliti dan pendiri Model Alliance menyebutkan bahwa 20% model diberitahu oleh agensi mereka bahwa mereka dapat diberhentikan kecuali menurunkan berat badan, dan lebih dari 9% telah direkomendasikan operasi plastik. Kebijakan ini mendorong, serta membuat model terobsesi memiliki berat badan dengan ukuran nol (size zero). Sayangnya, kenyataan pada industri mode yang mengiris hati ini sudah terjadi selama bertahun-tahun. Hal ini juga dapat memberi contoh yang tidak baik untuk anak-anak remaja generasi selanjutnya.
Tidak hanya terjadi industri mode, insiden gangguan makan (eating disorder) juga terjadi pada lingkungan universitas. Bukti dari berbagai sumber menunjukkan bahwa gejala gangguan makan (eating disorder) menyebar di populasi perguruan tinggi. Perkiraan prevalensi pada tahun 2011 di kalangan mahasiswa berkisar antara 8% hingga 17%. Dalam survei nasional mahasiswa, 20% responden mengatakan mereka menduga bahwa mereka pernah menderita gangguan makan pada suatu saat dalam hidup mereka. Sedangkan dalam American College Health Association's National College Health Assessment (ACHA-NCHA), 3% wanita dan 0,4% pria dilaporkan pernah menerima diagnosis anorexia; 2% wanita dan 0,2% pria melaporkan diagnosis bulimia sebelumnya; dan 4% wanita, dan 1% pria melaporkan muntah atau mengonsumsi obat pencahar untuk menurunkan berat badan dalam 30 hari sebelumnya.
Secara global, gangguan makan (eating disorder) memiliki sejarah yang bervariasi pada tiap-tiap negara, salah satunya negara Fiji yang telah banyak dipelajari karena peningkatan gangguan makan setelah pengaruh westernisasi dimulai pada pertengahan 1990-an. Seorang peneliti bernama Dr. Becker memimpin berbagai penelitian tentang pengukuran psikopatologi makan dan cita-cita kecantikan baik sebelum dan sesudah pengenalan televisi. Sebelum tahun 1990-an, hanya ada 1 kasus gangguan makan (eating disorder) yang terdokumentasi, namun setelah televisi diperkenalkan, tingkat gangguan makan (eating disorder) meningkat di kalangan wanita Fiji. Dengan prevalensi televisi dan ide-ide yang lebih kebarat-baratan, tingkat ketidakpuasan tubuh, diet, keinginan untuk menurunkan berat badan dan internalisasi ideal kurus serta perilaku bulimia menjadi lebih luas. Di daerah seperti Pakistan, kasus awal gangguan makan (eating disorder) juga muncul pada tahun 1990-an, bahkan dengan kekurangan gizi di beberapa daerah negara, serta gagasan perempuan untuk menjadi kuat, yang secara historis dikaitkan dengan kekayaan dan otoritas.Â
Studi terbaru pada wanita (berusia 16-20 tahun) pada salah satu universitas di Pakistan menunjukkan bahwa ada peningkatan risiko gangguan makan (eating disorder) dan 33% mahasiswa wanita memiliki ketidakpuasan dengan berat badan mereka, serta 64% mendapat skor 2 atau lebih tinggi. Secara historis, Pakistan telah menjadi masyarakat tertutup konservatif dengan eksposur rendah oleh media barat, fashion, dan iklan. Selain itu, dalam beberapa dekade terakhir, Pakistan juga telah mengalami peningkatan industrialisasi dan urbanisasi. Studi dari 2011 menunjukkan bahwa paparan media berkorelasi dengan citra tubuh negatif dan ketidakpuasan pada wanita maupun pria. Pada tahun 2014, studi lain oleh Pike dan rekan menemukan bahwa di negara-negara Arab dan Asia, gangguan makan (eating disorder) meningkat seiring dengan meningkatnya industrialisasi dan urbanisasi di wilayah tersebut.