Dalam era modern yang begitu dinamis, kesehatan mental menjadi salah satu aspek yang semakin mendapat perhatian serius. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa masalah kesehatan mental, khususnya di kalangan remaja masih menjadi tantangan yang cukup besar. Seiring dengan perkembangan zaman, muncul berbagai fenomena yang semakin mengguratkan keberlanjutan kesehatan mental remaja, salah satunya adalah perilaku self-injury atau yang sering disebut dengan "nge-barcode".Â
Fenomena ini tidak hanya menciptakan kekhawatiran, tetapi juga menjadi salah satu faktor penyebab peningkatan kasus bunuh diri di kalangan remaja. Pembahasan mengenai kesehatan mental menjadi semakin mendalam dan mendesak, karena kita perlu menyadari bahwa masa remaja merupakan periode kritis dalam pembentukan identitas dan keseimbangan emosional.Â
Dalam artikel ini, kita akan memahami lebih jauh mengenai fenomena self-injury atau "nge-barcode" sebagai perilaku maladaptif yang mewarnai kehidupan remaja masa kini, serta bagaimana hal ini menjadi salah satu pemicu serius terhadap risiko bunuh diri.
Mengenal Istilah Nge-barcode dan Kaitannya dengan NSSI (Non-Suicidal Self-Injury)
"Nge-barcode" merupakan fenomena strategi koping yang tengah menjadi perdebatan sengit dan menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat, khususnya di kalangan remaja. Praktik ini secara khusus terkategori sebagai tindakan Non-Suicidal Self-Injury  (NSSI) yang sedang marak di kalangan generasi muda. Pada tindakan "nge-barcode," remaja terlibat dalam kegiatan menggores (scratching) pada area tubuh tertentu, seperti lengan atau paha, dengan tujuan membentuk luka sayatan yang menyerupai barcode atau kode batang.
Istilah "nge-barcode" sendiri menjadi semacam label yang melekat pada fenomena ini, menjadi cara cepat untuk merujuk pada aktivitas menggores yang menciptakan pola luka yang khas. Namun, di balik kontroversi dan popularitasnya. "Nge-barcode" bukanlah sekadar tindakan eksperimental biasa. Lebih dari itu, "nge-barcode" harus diakui sebagai bentuk strategi koping yang maladaptif. Dalam konteks kesehatan mental remaja, strategi koping berperan penting dalam membantu individu mengatasi tekanan dan stres. Namun, "nge-barcode" justru menunjukkan suatu pendekatan yang tidak sehat, karena melibatkan perilaku merusak diri yang dapat meningkatkan risiko masalah kesehatan mental lebih serius, termasuk peningkatan risiko bunuh diri.
Non-Suicidal Self Injury (NSSI) adalah tindakan yang melibatkan sengaja menyakiti diri sendiri tanpa maksud untuk mengakhiri hidup. Contoh perilaku ini melibatkan tindakan seperti menusuk kulit, mencabut bulu tubuh, atau melakukan sayatan pada bagian tubuh tertentu. Tindakan-tindakan ini sering diulangi secara berulang, menyebabkan rasa sakit dan luka, namun tanpa niat untuk menyebabkan kematian. NSSI dapat terjadi pada individu dari berbagai rentang usia (Ikandani, 2022). Kelompok usia yang paling berisiko mengalami NSSI adalah di antara usia 14 dan 15 tahun, dan angka kejadian ini cenderung menurun setelah mencapai usia 18 tahun (Brager-Larsen dkk, 2022). Fakta ini menyoroti bahwa masa remaja menjadi periode yang paling kritis terkait dengan perilaku NSSI. Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hidayati dkk (2021) sebanyak 107 dari 215 mahasiswa yang terlibat dalam penelitian tersebut melaporkan telah melakukan NSSI.
Dengan demikian, perbincangan seputar "nge-barcode" tidak hanya menjadi cermin dari realitas kompleksitas tantangan yang dihadapi remaja, tetapi juga merupakan panggilan untuk memahami dan mengatasi lebih lanjut dampak buruk strategi koping ini. Pendekatan holistik yang mencakup pendidikan, dukungan sosial, dan layanan kesehatan mental menjadi kunci dalam menanggapi permasalahan serius ini untuk melindungi kesejahteraan mental generasi muda secara menyeluruh. Tindakan NSSI dapat menjadi kebiasaan dan menyebabkan ketergantungan. Pada banyak kasus, individu yang terlibat dalam NSSI mengalami kesulitan untuk menghentikan perilaku tersebut, karena mereka mengandalkan NSSI sebagai strategi koping utama untuk mengatasi ketidaknyamanan yang timbul dari pikiran atau perasaan yang mengganggu.
Proses dimulai dari pengalaman emosional yang tidak menyenangkan, menyebabkan individu merasakan emosi yang intens dan kesulitan mengendalikan perasaannya. Hal ini mendorong individu untuk melakukan tindakan menyakiti diri sebagai cara untuk meredakan perasaan atau sensasi yang melegakan, walaupun hanya bersifat sementara. Setelah melibatkan diri dalam tindakan tersebut, individu yang melukai diri seringkali mengalami perasaan penyesalan, malu, dan rasa bersalah. Meskipun demikian, karena mereka belum memiliki strategi yang lebih baik dan sehat untuk mengatasi ketidaknyamanan yang dirasakan, perilaku menyakiti diri dapat terulang kembali saat menghadapi pengalaman emosional yang tidak menyenangkan.
Apakah dapat dikatakan sebagai salah satu faktor penyebab bunuh diri?
Individu yang terlibat dalam tindakan menyakiti diri sendiri tidak selalu memiliki keinginan untuk mengakhiri hidup. Meskipun demikian, tetaplah perlu untuk tetap mewaspadai ketika kita menemui individu yang terlibat dalam perilaku ini, karena risiko mereka untuk melakukan percobaan bunuh diri cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang tidak terlibat dalam NSSI (Non-Suicidal Self-Injury) (Ribeiro dkk, 2016).
Menelusuri lebih dalam, studi menunjukkan bahwa terdapat hubungan erat antara perilaku NSSI dan risiko bunuh diri. Sebuah penelitian (Tresno dkk, 2012) menyatakan bahwa sekitar 70% dari individu yang pernah terlibat dalam NSSI sebelumnya juga pernah melakukan setidaknya satu percobaan bunuh diri. Temuan ini menggarisbawahi pentingnya mengidentifikasi dan memberikan perhatian khusus terhadap individu yang melibatkan diri dalam tindakan menyakiti diri, karena perilaku tersebut dapat menjadi tanda atau indikator kritis dari ketidakstabilan mental dan potensi risiko bunuh diri.
Dalam konteks ini, penanganan dan dukungan psikologis menjadi sangat penting. Mendekati individu yang melibatkan diri dalam NSSI dengan empati dan pemahaman dapat membuka pintu untuk membantu mereka mengatasi konflik emosional yang mendasari perilaku tersebut. Selain itu, upaya pencegahan bunuh diri juga harus diperkuat melalui pendekatan yang komprehensif, termasuk pendidikan publik, peningkatan kesadaran, serta penyediaan sumber daya dan layanan kesehatan mental yang memadai. Dengan demikian, kita dapat bersama-sama menciptakan lingkungan yang lebih aman dan mendukung bagi individu yang berpotensi mengalami kesulitan kesehatan mental ini.
Memahami Gejala dan Faktor
Gejala yang umum terkait dengan NSSI melibatkan serangkaian perilaku merugikan diri yang mencakup sayatan pada kulit menggunakan benda tajam seperti pisau atau gunting, pukulan atau tinjuan pada tubuh untuk merasakan rasa sakit, serta penggunaan benda tajam lainnya untuk membuat luka sayatan. Selain itu, individu yang mengalami NSSI juga mungkin melakukan tindakan yang melibatkan sentuhan pada permukaan yang panas atau membakar diri sendiri, serta menggigit diri sendiri hingga menyebabkan luka atau mencabut bulu dan rambut dari tubuh. NSSI, sebagai suatu bentuk perilaku maladaptif, memerlukan pemahaman dan penanganan yang cermat untuk membantu individu tersebut mengatasi konflik emosional yang mendasarinya.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Zakaria & Theresa (2020) terdapat beberapa faktor pemicu Non-Suicidal Self-Injury (NSSI), diantaranya adalah menghadapi kesulitan tinggi dalam menanggapi pengalaman negatif dan memiliki tingkat toleransi stres yang lebih rendah. Selain itu, individu yang mengalami NSSI cenderung merasa tidak berdaya untuk berbagi masalah yang mereka hadapi dengan orang lain.Â
Faktor lain yang muncul adalah pengalaman masa kecil yang kurang baik, seperti pola asuh orangtua yang tidak positif dan perlakuan negatif dari teman sebaya, seperti perilaku bullying. Selanjutnya, studi tersebut juga menunjukkan bahwa individu yang terlibat dalam NSSI memiliki mekanisme penanganan stres yang tidak adaptif serta memiliki kemampuan rendah dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Dengan pemahaman lebih lanjut terhadap faktor-faktor ini, diharapkan dapat membantu dalam pengembangan strategi pencegahan dan intervensi yang lebih efektif terhadap perilaku NSSI.
Lalu, bagaimana upaya preventifnya?
Langkah-langkah pertolongan pertama yang dapat diambil untuk mencegah perilaku NSSI, sebagaimana disarankan oleh Setiyawati & Colucci (2020), melibatkan pemahaman dan penanganan emosi negatif. Penting untuk mengidentifikasi serta memahami emosi yang muncul, lalu mengelolanya dengan cara yang konstruktif. Selain itu, menjaga kesehatan fisik dan mental juga menjadi aspek krusial dalam pencegahan. Rutinitas positif, seperti berolahraga dan praktik mindfulness dapat membantu menciptakan keseimbangan dalam kehidupan sehari-hari.Â
Meningkatkan self-esteem dan kepercayaan diri juga merupakan langkah penting, karena hal ini dapat menjadi landasan kuat untuk menghadapi tekanan emosional. Demi peningkatan keterampilan mengatasi stres, perlu ditekankan pentingnya pengembangan strategi coping yang efektif. Kemudian, melibatkan dukungan sosial, baik dari segi emosional maupun spiritual, menjadi poin krusial dalam upaya mencegah perilaku NSSI. Dengan adanya dukungan tersebut, individu dapat merasa didukung dan memiliki jaringan sosial yang dapat membantu mengatasi tantangan kesehatan mental.
Article by: Salsabilla Nuranisa Wahyudi, Staff BPPK ILMPI Wilayah IV
REFERENSI:
Brager-Larsen, A., Zeiner, P., Klungsyr, O., & Mehlum, L (2022). Is age of self-harm onset associated with increased frequency of non-suicidal self-injury and suicide attempts in adolescent outpatients? BMC Psychiatry, 22(1). https://doi.org/10.1186/s12888-022-03712-w
Ikandani, A. (2022, Agustus 30). Kenali lebih dekat perilaku Non-Suicidal Self Injury (NSSI). UNAIR NEWS: Pusat Komunikasi dan Informasi Publik (PKIP) Universitas Airlangga. https://unair.ac.id/kenali-lebih-dekat-perilaku-non-suicidal-self-injury-nssi/.
Lim, K. S. Wong, C. H., Mcintyre, R. S., Wang, J., Zhang, Z., Tran, B. X., Tan, W., Ho, C. S., & Ho, R. C. (2019). Global lifetime and 12-Month prevalence of suicidal behavior, deliberate self-harm and non-suicidal self-injury in children and adolescents between 1989 and 2018: A meta-analysis. International journal of environmental research and public health, 16(22), 4581. https://doi.org/10.3390/ijerph16224581
Ribeiro, J.D., Franklin, J.C,... & Nock, M.K. (2016). Self-injurious thoughts and behaviors as risk factors for future suicide ideation, attempts, and death: a meta-analysis of longitudinal studies. Psychol Med, 46, 225-236. https://doi.org/10.1017/S0033291715001804
Setiyawati, D., & Colucci, E. (2020). Suicide first aid guidelines for Indonesia. Center for Public Mental Health Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. https://cpmh.psikologi.ugm.ac.id/2020/10/17/unduh-suicide-prevention-guidelines-for-indonesia/.
Tresno, F., Ito, Y., & Mearns, J. (2012). Selfinjurious behavior and suicide attempts among Indonesian college students. Death Studies, 36(7), 627-639. https://doi.org/10.1080/07481187.2011.604464
Zakaria, Z. Y. H., & Theresa, R. M. (2020). Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku Non-Suicidal Self Injury (NSSI) pada remaja putri. Jurnal Sains dan Psikologi Profesi, 4(2), 85-90. https://doi.org/10.24198/jpsp.v4i2.26404.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI