Di balik lapisan konflik yang terus berkecamuk di zona konflik antara Palestina dengan Israel, tersembunyi perjuangan yang sering kali tak terlihat, namun memegang peran krusial dalam kehidupan sehari-hari penduduk Palestina. Membuka cakrawala dengan melihat lebih dalam, kita perlu memahami kondisi psikologis yang melingkupi rakyat Palestina yang telah hidup dalam ketegangan dan keterbatasan selama bertahun-tahun.Â
Bukan hanya sekedar berbicara tentang konflik bersenjata, tetapi juga melibatkan aspek-aspek psikologis yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari mereka. Bagaimana cinta tanah air dan hasrat untuk hidup dalam perdamaian menjadi perangkat pendorong bagi setiap individu Palestina? Kali ini kita akan mencoba mengupas lapisan-lapisan yang jarang terungkap dari perjuangan ini, mengajak untuk lebih dekat dengan realitas yang dihadapi oleh masyarakat Palestina di tengah ketidakpastian dan tekanan konflik yang tak berkesudahan.
Penelusuran Konsekuensi Terhadap Kesehatan Mental Palestina
Pada tahun 2019, World Health Organization (WHO) merilis hasil penelitian literatur mengenai dampak perang dan kekerasan terhadap kesehatan mental penduduk di wilayah konflik. Temuan dari penelitian ini sangat mengkhawatirkan. Lebih dari 20% penduduk yang tinggal di zona konflik diperkirakan mengalami berbagai tantangan kesehatan mental, angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya. Berbagai kondisi kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, gangguan pasca-trauma, gangguan stres, gangguan bipolar, dan skizofrenia, menjadi penyakit yang paling umum dilaporkan oleh mereka yang tinggal di daerah konflik tersebut.Â
Sebuah studi telah mengungkapkan konsekuensi yang luas dari pemukiman terhadap kesehatan mental penduduk Palestina. Meskipun masalah-masalah ini bukan hal baru, dokumentasi dan pelacakan mereka menjadi sangat penting untuk mengukur sejauh mana pelanggaran Israel terhadap hak asasi manusia Palestina, baik secara fisik maupun mental. Salah satu dari survei menunjukkan bahwa, di antara manifestasi dampak pelanggaran Israel, terdapat berkurangnya konsentrasi sebagai gejala ketidakmampuan untuk fokus akibat trauma yang dialami menjadi salah satu dampak kognitif yang paling umum ditemukan dalam sampel penelitian. Ketakutan, kecemasan, kesedihan, keputusasaan, dan kurangnya rasa aman menjadi kategori utama dampak emosional yang dievaluasi, dengan variabel yang dinilai berdasarkan usia dan jenis kelamin.
Kerawanan Sosial dan Lingkungan Menentukan Kesehatan Mental Anak-anak, Remaja, hingga Orang Dewasa Baik itu Perempuan atau Laki-laki di Palestina
Adanya kompleksitas dan dampak yang mendalam dari pemukiman dan konflik di wilayah Palestina terhadap kesehatan mental anak-anak membuat kerawanan sosial yang kompleks sehingga menciptakan lingkungan yang menentukan kesehatan mental dan fungsi psikologis anak-anak Palestina. Faktor individu dan kolektif membentuk penderitaan anak-anak, dengan gejala fisik seperti sakit kepala dan sakit perut menjadi umum di semua kelompok usia dan jenis kelamin. Analisis demografis menyoroti perbedaan kontekstual tempat tinggal dan gender, dimana anak-anak di kamp pengungsian dan desa lebih terpapar oleh pendudukan militer. Selain itu, pendekatan klinis yang hanya berfokus pada gejala tanpa mengatasi kondisi mendasar dapat memiliki dampak yang tidak efektif atau bahkan merugikan.
Kemudian bagi remaja hingga dewasa laki-laki dan perempuan sama-sama mengalami dampak negatif akibat pendudukan Israel, meskipun dengan cara yang berbeda. Tak terhitung jumlah warga Palestina yang telah dipenjara, terutama selama periode pemberontakan, sementara lainnya mengalami luka-luka dari berbagai kelompok usia dan jenis kelamin. Bahkan kehilangan nyawa sebagai martir atau mengalami deportasi. Diyakini bahwa setiap rumah di masyarakat Palestina terdampak oleh pemberontakan tersebut, dan kondisi kehidupan dianggap sangat menegangkan bagi semua warga Palestina.Â
Hasil umum dari kondisi kehidupan ini mencakup gangguan stres pasca trauma, depresi reaktif, kecemasan, kemarahan, agresi, dan sejumlah masalah psikologis lainnya. Pria dan wanita menghadapi risiko pemenjaraan, pelecehan, penyiksaan, penghinaan, cedera, kematian sebagai martir, dan berbagai pelanggaran hak asasi manusia lainnya. Terkadang, perempuan mengalami penderitaan lebih besar daripada laki-laki, terutama ketika laki-laki keluarga mereka jauh dari rumah. Pada masa-masa ini, baik perempuan yang sudah menikah maupun yang belum menikah memegang peranan sentral dan penting bagi keluarga.
Memahami Akumulasi Gejala Trauma, Tantangan dan Ketidakpastian dalam Menilai Gangguan Stres Pasca Trauma