Jika pergi ke Jawa, utamanya Solo dan Jogja, sering didapati patung pengantin dengan baju adat jawa di rumah-rumah ataupun sebagai souvenir yang dijual oleh pedagang lokal. Patung pengantin ini disebut Loro Blonyo, simbol kesuburan dalam masyarakat Jawa.Â
Menurut Subiyantoro dalam Prasetyo (2012), Loro Blonyo berasal dari kata loro yang berarti dua dan blonyo yang berarti gambaran atau warna. Jika digabungkan bisa berarti sepasang yang terdiri dari laki-laki dan perempuan diperindah dengan aneka warna. Loro juga dihubungkan dengan Rara atau wanita, dan Blonyoh yang berarti lulur. Pengertian lainnya juga hubungan percintaan antara laki-laki dan perempuan, yang dikaitkan dengan peristiwa perkawinan.
Loro Blonyo berbentuk patung pengantin dengan sikap duduk bersimpuh yang mengenakan pakaian tradisional Jawa dengan gaya basahan, yaitu gaya pakaian pengantin saat prosesi Siraman. Petung pria mengenakan kain panjang yang disebut dodot, bermahkota, dan tidak berbusana di bagian tubuh atas. Sedangkan patung wanita mengenakan pakaian yang sama namun tanpa mahkota dan bagian atas tubuh dibalut kemben (Prasetyo, 2012)
Asal-Usul Patung Loro Blonyo
Patung Loro Blonyo sering dikaitkan dengan Dewi Sri sebagai Dewi Padi atau Dewi Kesuburan dan pasangannya Raden Sadana sebagai pengejawantahan Dewa Wisnu sebagai pemelihara alam semesta. Ada juga versi lain yang menyebutkan bahwa Dewi Sri dan Sadana adalah saudara kembar (kedhono-kedhini). Keduanya saling mencintai dan ingin menikah namun tidak terlaksana karena mereka adalah saudara kandung.Â
Oleh karena itu Sadana bunuh diri karena putus asa dan berharap dapat bereinkarnasi sebagai manusia lain dan menikah dengan Dewi Sri. Sepeninggal Sadana, Dewi Sri hidup mengembara dikejar-kejar oleh Bathara Kala dan akhirnya ditolong oleh para petani. Sebagai balasannya, Dewi Sri memberi para petani hasil panen yang melimpah. Para petani pun mengabadikan kebaikan Dewi Sri dengan cara membuat Patung Loro Blonyo (Prasetyo, 2009).
Bentuk Patung Loro Blonyo
Menurut Subiyantoro (2009), Patung Loro Blonyo dapat dibedakan dari patung lainnya berdasarkan aksesori yang melekat pada patung.
Pada patung Loro Blonyo, patung pria mengenakan Kuluk Kanigara (mahkota) berwarna hitam dengan kombinasi garis kuning yang disusun secara tegak dan mendatar serta melingkar. Patung pria memiliki cambang di mukanya yang tampak rapi dan rambut berwarna hitam lurus bergelung halus dengan aksesori konde berwarna keemasan yang terbuat dari tembaga. Pandangan mata patung pria menatap lurus ke depan dengan posisi kepala tegak. Alisnya tampak tebal dengan garis tegas berwarna hitam melingkar mengikuti bentuk mata. Bentuk hidungnya mbengkok sumendhe, tidak mancung tapi tidak pula pesek.Â
Bentuk bibirnya tipis berwarna merah. Di lehernya mengenakan kalung yang menyerupai rantai kecil yang memanjang sampai pinggang. Sikap tangannya Ngapurancang, yaitu sikap tangan dalam budaya Jawa yang melambangkan hormat dan rendah hati (Atmasari, 2019). Di pergelangan tangan ada gelang berwarna emas. Busana yang dikenakan berupa stagen yang diberi hiasan berupa sabuk melingkar berwarna kuning keemasan dan bermotif geometris. Ada pula jarik sebatas lutut dengan motif Parang Gondosuli, motif berbentuk pisau dan gabungan motif garuda.Â
Lalu ada ikat pinggang hitam dengan timang di tengah berwarna kuning yang melambangkan peringatan manusia agar dapat mengendalikan nafsu birahi. Di bagian pinggang bagian belakang terselip keris. Posisi kaki duduk bersila dengan telapak dan jari kaki diperlihatkan.Â
Sedangkan patung wanitanya mengenakan kebaya dengan motif Batik Kawung. Batik ini mencerminkan kesempurnaan, kemurnian, dan kesucian. Pandangan matanya agak menunduk. Goresan alis warna hitam tebal demikian pula ditemukan garis mata bagian atas berwarna hitam. Di dahinya terdapat Paes berwarna hijau. Paes sendiri adalah riasan yang digambar di dahi wanita. Paes pada patung Loro Blonyo berupa paes gajah. Hal ini dimaksudkan agar putra putri mereka kelak memiliki kedudukan yang luhur dan tinggi.Â
Di kanan dan kiri Paes Gajah ada Paes Pengapit yang menjadi simbol yoni pendamping yang baik, dalam hal ini adalah simbol wanita sebagai seorang ibu. Di samping Paes Pengapit ada Paes Penitis, melambangkan Simbol Lingga atau laki-laki sebagai bapak. Bentuk rias Pengapit dan Penitis menjadi simbol laki-laki dan perempuan sebagai dwitunggal. Di dekat telinga ada riasan Godheg yang melambangkan keturunan dari manunggalnya Pengapit dan Penitis (perempuan dan laki-laki) yaitu lahirnya jabang bayi.Â
Bentuk Rambut patung wanita berupa gelungan dilengkapi dengan mahkota berupa Cunduk Mentul atau kembang goyang. Di telinganya terlihat Subang bulat keemasan dan putih sebagai lambang kekayaan. Sikap duduknya juga bersila dan sikap tangan ngapurancang. Pada bagian dada mengenakan kemben dan bagian perut mengenakan stagen dan ikat pinggang keemasan. Â Dalam gaya busana basahan orang Jawa disebut Nlingo Sariro, yaitu mencerminkan sikap pasrah seorang wanita terhadap suami.
Secara keseluruhan warna kulit patung adalah kuning keemasan dengan sedikit unsur coklat tua, mencerminkan warna luluran warna khas manten Jawa. Ada lagi busana tambahan yang dikenakan yaitu Cindhe merah campur yang disebut Udhet, untuk pria disebut Sonder dengan motif puspito lambang kekayaan alam beserta keindahannya. Untuk patung wanita terdapat aksesori yang mengelilingi sanggul disebut Menthol yang berjumlah sembilan. Kemudian ada perhiasan mirip sisir yang disematkan di rambut disebut Cundhuk Jungkat.Â
Pada leher terdapat kalung menyerupai bulan sabit dan bentuk padi, melambangkan kemakmuran, sandang, dan pangan. Sedangkan pada lengan terdapat kelat bahu yang dipercaya sebagai simbol tolak bala. Pada pergelangan tangan juga ada gelang sebagai simbol kelanggengan dan keabadian. Pada patung pria pada Kuluk-nya terdapat Nyamat yang berbentuk seperti cengkeh sebagai simbol keunggulan.
Fungsi Patung Loro Blonyo Dulu dan Sekarang
Pada jaman dahulu, Patung Loro Blonyo hanya diperuntukkan untuk kalangan bangsawan. Bagi masyarakat tradisional Jawa, menurut Sulistyo dan Wiwoho (2008), Patung Loro Blonyo memiliki beberapa fungsi. Pertama sebagai Pasren atau hiasan, ditempatkan dimana saja sehingga menimbulkan keindahan. Kedua sebagai simbol penghormatan kepada Dewi Sri yang dikenal sebagai lambang kesuburan dan kemakmuran, ditempatkan di depan Pedaringan atau Petanen. Ketiga sebagai penunjuk tempat tumuruning wiji, ditempatkan di dekat sepasang pengantin pada saat duduk di pelaminan.Â
Tumuruning wiji sendiri adalah turunnya Dewi Sri yang menjelma sebagai Wiji Widayat atau turunnya wahyu dari Batara Guru kepada umat manusia. Wahyu di sini dapat diartikan sebagai keberuntungan bagi pengantin. Terakhir sebagai penolak bala, oleh karena itu kedua wajah patung diboreh (di-blonyo) putih dan badannya diberi warna kuning, karena warna kuning melambangkan keagungan dan penolak bala.Â
Patung Loro Blonyo masih banyak digunakan sebagaimana fungsi aslinya. Namun selain itu terdapat sedikit perubahan fungsi yang terjadi di masyarakat. Seperti contohnya di masa kini, Patung Loro Blonyo dapat dijual sebagai souvenir khas Solo atau Jogja. Yang lebih marak juga adalah patung Loro Blonyo sebagai souvenir pernikahan. Bentuk patung pun tidak selalu mirip dengan aslinya, bisa saja berubah. Selain itu patung Loro Blonyo juga banyak dicari sebagai koleksi para kolektor barang antik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H