Korupsi pejabat pemerintah merupakan masalah kritis bagi seluruh masyarakat, terutama di negara-negara berkembang. Data menunjukkan bahwa korupsi merupakan kejahatan paling umum kedua di negara-negara berkembang. Banyak negara yang menyatakan bahwa korupsi merupakan salah satu jenis kejahatan yang dapat digolongkan sebagai kejahatan “khusus”. Disebut istimewa karena biasanya dilakukan secara terorganisir, melibatkan aktor-aktor yang berpikir cerdas, melibatkan pemangku kepentingan di beberapa bidang, termasuk penegakan hukum, dan mempunyai efek “menghancurkan” yang sangat luas. Karakteristik tersebut semakin mempersulit pemberantasan korupsi jika hanya mengandalkan aparat penegak hukum konvensional, apalagi korupsi sudah menjadi budaya.
Di Indonesia, korupsi sangat mengkhawatirkan. Pejabat negara yang seharusnya mendapat amanah dari rakyat untuk menyelenggarakan kehidupan bernegara dan sebagai orang yang mengabdi dan mendedikasikan dirinya kepada negara, malah melakukan kejahatan yang merampas hak-hak rakyat dan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi. Hal ini dapat terlihat dari beberapa kasus yang ditangani KPK dari tahun ke tahun, terutama dalam beberapa tahun terakhir. Banyaknya kasus korupsi di negeri ini membuat masyarakat merasa resah dan cemas. Hampir seluruh instansi pemerintah di negeri ini pernah terlibat kasus korupsi. Korupsi telah menggerogoti kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Kejahatan ini terus berkembang dan meluas bahkan sampai menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jika kita melihat ke masa lalu, negara kita sudah melakukan praktik korupsi sejak zaman kerajaan. Saat itu, besaran pajak desa digelembungkan oleh aparat setempat yang memungut pajak kepada masyarakat yang pada saat itu masih buta huruf. Kelompok petugas pajak yang disebut mangilala drwya haji ini disebutkan dalam prasasti awal abad kesembilan tahun 741 Caka atau tahun 819 Masehi., dalam buku Peradaban Jawa karya Supratikno Raharjo.
Kasus korupsi semakin bertambah ketika masuknya penjajahan Belanda. Korupsi pada masa pemerintahan kolonial Belanda dimulai ketika Belanda yang menguasai nusantara meniru Raja Jawa dengan cara mengambil “upeti” dari rakyat. Ada juga praktik korupsi besar-besaran selama tanam paksa. Saat itu, petani diharuskan hanya menerima 20 persen hasil panen dan hanya 20 persen yang diduga dikirim ke negara induk (Kerajaan Belanda). Sisanya, 60% hasil bumi Nusantara diambil pejabat lokal dari desa hingga kabupaten.
Praktik korupsi ini terus berlanjut hingga masa kemerdekaan. Pada masa Orde Lama, Korupsi juga mengguncang beberapa partai politik. Sejarawan Bonnie Triyana mengatakan skandal korupsi itu melibatkan politikus senior PNI Iskaq Tjokrohadisurjo, mantan menteri keuangan di kabinet Ali Sastroamidjojo I. Kasus ini bermula pada 14 April 1958. Kejaksaan Agung yang memeriksa Iskaq memperoleh cukup bukti untuk menggugatnya terkait kepemilikan devisa di luar negeri berupa uang, tiket pesawat terbang, kereta, dan mobil tanpa seizin Lembaga Alat-Alat Pembayaran Luar Negeri (LAAPLN). Iskaq akhirnya mendapat grasi dari Presiden Soekarno. Namun, mobil Mercedes Benz 300 miliknya yang dibawa dari Eropa tetap disita negara.
Kasus lainnya menyangkut Jaksa Agung Djody Gondokusumo (menjabat dari 30 Juli 1953 hingga 11 Agustus 1955) yang terlibat dalam kasus kompensasi pengusaha Hong Kong Bong Kim Tjhong, yang visanya diperpanjang dengan mudah dari Menteri Kehakiman. Ada lima mantan menteri, anggota-anggota DPR, anggota parlemen, komisaris polisi, jaksa, pengusaha dan lain-lain. 60 orang diperiksa pada saat itu. Periode 1950-1965 memang penuh kekacauan dan pemberontakan.
Sesaat setelah berkuasa, Soeharto segera mengambil langkah pemberantasan korupsi. Pada tanggal 2 Desember 1967, berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 228 Tahun 1967 dan UU Nomor 24 Tahun 1960, Soeharto membentuk tim antikorupsi bersama Jaksa Agung Sugiharto. Tugas tim ini membantu pemerintah memberantas korupsi melalui tindakan preventif dan represif. Empat tahun kemudian, dengan Keputusan Presiden Nomor 12 tanggal 31 Januari 1970 dibentuk Komisi Empat yang terdiri dari Wilopo, SH (ketua sekaligus anggota), IJ Kasimo, Anwar Tjokroaminoto, Prof. Ir Johannes dan Mayjen Sutopo Yuwono (perwira intelijen militer didikan Barat). Kemudian dibentuk pula Komite Pemberantasan Korupsi pada tahun 1970 yang menghimpun aktivis angkatan 1966 untuk memberikan dukungan moral kepada pemerintah dan tokoh-tokoh nasional dalam memberantas korupsi yang semakin tidak terkendali.
Namun nyatanya, tim tersebut hanya bekerja memberikan kontribusi berupa masukan kepada aparat dalam memberantas korupsi. Salah satunya adalah Tim Empat yang dipimpin oleh mantan Perdana Menteri Wilopo. Kalau ada kasus yang perlu diselidiki, tidak pernah ditindaklanjuti. Badan-badan ini tidak mempunyai wewenang untuk mengambil tindakan. Selain itu, tidak ada sinergi yang tercipta dan tidak ada perbaikan jangka panjang yang dilakukan pada institusi seperti kepolisian dan kejaksaan.
Pergantian pemerintahan juga mengubah harapan masyarakat Indonesia untuk memberantas korupsi di Indonesia. Orde baru gagal, muncullah pemerintahan baru yang lahir dari gerakan reformasi pada tahun 1998. Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, diterbitkan Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi. Pemerintahan Gus Dur kemudian membentuk badan-badan pemerintahan untuk mendukung pemberantasan korupsi, antara lain: Tim Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara dan beberapa lainnya.
Di tengah rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintah yang seharusnya menangani korupsi, pemerintahan Megawati membentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Berdirinya lembaga ini merupakan inovasi hukum dalam upaya pemberantasan korupsi di negeri ini. Hal ini kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap menjalankan tugasnya. Selain itu, SBY mengeluarkan Inpres Nomor 5 Tahun 2004 dan dilanjutkan dengan Penyiapan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi yang telah disusun Bappenas. Hingga saat ini, pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, kasus korupsi masih ada dan semakin parah. Hal itu dapat dibuktikan dengan Nilai Indeks Persepsi Korupsi pada masa kepemimpinan Jokowi relatif lebih tinggi dibandingkan masa kepresidenan sebelumnya. Indeks Persepsi Korupsi mencapai skor tertinggi pada tahun 2019 yaitu sebesar 40. Namun, pada periode kedua kepemimpinan Jokowi, skor tersebut turun menjadi 37 pada tahun 2020, setahun setelah reformasi undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi resmi diberlakukan. Meski naik menjadi 38 pada tahun 2021, skornya turun empat poin menjadi 34 pada tahun 2022.
Banyak alasan mengapa korupsi sulit diberantas di Indonesia, salah satunya adalah pola pikir masyarakat Indonesia. Beberapa tindakan korupsi yang dilakukan VOC yang menjadi kebiasaan mempengaruhi pola pikir masyarakat yang memandang korupsi sebagai hal biasa. Selain itu, sektor pelayanan publik diketahui menjadi sarang oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang memanfaatkan kedudukan dan kekuasaannya. Keinginan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang cepat dalam berbagai hal seperti pengurusan izin, SIM, dan lain-lain, dikarenakan jadwal kerja yang rumit membuat sebagian besar orang tidak sabar dan menginginkan proses yang cepat dan efisien. Oknum-oknum tak bertanggung jawab memanfaatkannya sebagai lahan empuk untuk meraup keuntungan untuk dirinya sendiri.
Jika dilihat dari penjelasan tersebut, jelas bahwa perilaku korupsi sudah merajalela di Indonesia yang bahkan sudah ada sejak masa kerajaan. Ketika banyaknya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia yang mengakibatkan masyarakat “muak” dan menjadi hal biasa bagi masyarakat juga hukum yang dapat dikatakan lemah terhadap kasus tindak pidana korupsi sehingga banyak para pejabat memanfaatkan dan mendapatkan kesempatan untuk melakukan korupsi. Tentunya hal ini semakin menurunkan rasa kepercayaan masyarakat kepada pemerintah terkain hukum. Oleh karena itu, dibutuhkannya hukuman yang menimbulkan efek jera bagi para pelaku korupsi yang memungkinkan mengurangi angka korupsi di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H