Menerjemahkan puisi melibatkan lebih dari sekadar menerjemahkan kata demi kata; ini mencakup interpretasi makna dan menjaga nuansa artistik puisi. Berikut beberapa langkah yang umum digunakan dalam menerjemahkan puisi:
1. Memahami Makna dan Emosi Asli: Sebelum menerjemahkan, penting untuk memahami isi, tema, emosi, dan pesan yang terkandung dalam puisi asli. Penerjemah harus menangkap esensi dari puisi tersebut, bukan hanya makna harfiah.
2. Mengidentifikasi Unsur Artistik: Puisi memiliki unsur-unsur khusus seperti irama, rima, aliterasi, dan permainan bunyi. Penerjemah perlu mempertimbangkan apakah akan mempertahankan atau menyesuaikan unsur-unsur ini agar tetap estetis dalam bahasa target.
3. Mencari Padanan Kata yang Tepat: Kata-kata dalam bahasa Indonesia mungkin tidak memiliki padanan langsung dalam bahasa Inggris. Oleh karena itu, penerjemah harus memilih kata-kata yang sesuai konteks dan nuansa tanpa mengorbankan makna yang diinginkan penyair.
4. Mempertahankan Simbol dan Gaya Bahasa: Banyak puisi menggunakan simbolisme, metafora, dan gaya bahasa khusus yang dapat sulit diterjemahkan. Dalam hal ini, penerjemah mungkin perlu berimprovisasi untuk menciptakan makna yang sebanding dalam bahasa target, tanpa kehilangan keindahan atau kekuatan simbolnya.
5. Menjaga Keindahan dan Keutuhan Puisi: Terjemahan yang baik harus menjaga keseimbangan antara keakuratan makna dan keindahan estetika. Penerjemah harus berusaha mempertahankan keindahan aliran puisi, sambil tetap setia pada pesan dan emosi yang disampaikan.
6. Membaca Kembali dan Membandingkan: Setelah selesai menerjemahkan, penting untuk membaca kembali hasil terjemahan dan membandingkannya dengan versi aslinya. Pastikan bahwa puisi dalam bahasa target tetap memberikan pengalaman yang sama, baik secara emosi maupun estetika.
Terjemahan puisi adalah seni, di mana penerjemah harus berupaya keras untuk menghormati karya asli sambil menyajikannya dengan indah dalam bahasa lain.
C. Bait 2 Puisi "Cahaya di Langit Pagaruyuang" karya Leni Marlina
Engkau berdiri di puncak harapan,
dengan lengan terbuka,
menerima arus waktu
seperti sungai yang setia mengalir
melalui hutan-hutan yang kau rawat,
membuat hutan itu bernyanyi
dalam nada-nada ilmu dan seni.
Engkau ucapkan kata tanpa tepuk tangan,
namun gema ucapanmu melingkari puncak bukit,
menggetarkan dedaunan yang terdiam.
Dalam karya, kau adalah hujan yang tak terlihat,
menyirami akar-akar pemikiran yang kering,
melahirkan hutan pengetahuan,
di mana kami berteduh dari riuh badai kehidupan.