Mohon tunggu...
Salsabila Rin Suryanita
Salsabila Rin Suryanita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Saya merupakan seseorang yang menyukai hal-hal baru untuk dipelajari.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ancaman Nuklir Korea Utara: Meningkatnya Dilema Keamanan di Negara Kawasan Asia Timur

14 September 2024   18:15 Diperbarui: 14 September 2024   18:18 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Korea Utara merupakan negara yang terletak di Semenanjung Korea bagian utara. Korea Utara ini dikenal sebagai negara dengan sistem pemerintahan paling otoriter di dunia. Luas wilayahnya sekitar 120 ribu kilometer persegi dengan jumlah penduduk lebih dari 25 juta jiwa (Worldmeter, 2024). 

Pemerintahan Korea Utara didasarkan pada ideologi komunisme berupa Doktrin Juche yang dikembangkan pendirinya. Partai Tunggal, yakni Partai Buruh yang memerintah sejak proklamasi negara ini pada 1948 (World, 2020). Semua aspek kehidupan warga dikendalikan ketat oleh aparat negara, mulai dari kehidupan politik, ekonomi, hingga agama. Secara ekonomi, negara ini mengalami kesulitan kronis selama puluhan tahun. Diperkirakan dua pertiga rakyatnya hidup dalam kemiskinan. Sementara itu, pengembangan program senjata nuklir dan rudal balistik oleh Korea Utara terus dilakukan alih-alih menjaga pertahanan dan keamanan negaranya.

Di masa kepemimpinan Kim Jong-Un saat ini, kebijakan-kebijakan terkait senjata nuklir yang diambil oleh Korea Utara dinilai semakin intensif dan bersifat ofensif. Hal ini terlihat dari ekspansi program senjata nuklir yang dilakukan secara masif. Namun, ekspansinya membuahkan penolakan dari berbagai kelompok internasional karena dianggap dapat menggoyahkan stabilitas keamanan global. Dengan kata lain, aktor internasional menganggap negatif intensifikasi program nuklir Korea Utara yang terus bertambah luas karena dianggap memiliki potensi mengganggu stabilitas keamanan regional maupun dunia (Matheo Manoe, 2022). 

Walaupun alasan pertahanan nasional senantiasa diutarakan, tindakan gegabah Korea Utara malah memicu kecaman dari masyarakat dunia. Berbagai ancaman dan sanksi pun turut diberlakukan guna mencegah penularan senjata maut tersebut. Akan tetapi, upaya-upaya kemitraan internasional belum juga meraih penyelesaian menyeluruh hingga saat ini.

Keengganan Korea Utara dalam melakukan denuklirisasi menimbulkan ketidakstabilan dan dilema keamanan khususnya bagi negara-negara yang berada di Asia Timur yang letaknya cukup berdekatan dengan Korea Utara (Fatkurrohman, 2012). Kawasan Asia Timur mengalami ketidakseimbangan yang serius dalam hal distribusi kekuatan militer antarnegara. Negara-negara seperti Korea Selatan, Tiongkok, dan Jepang telah meningkatkan belanja pertahanan dan kapabilitas angkatan bersenjatanya secara signifikan. 

Hal ini semakin memperlebar jarak kekuatan militer dengan Korea Utara yang memiliki kemampuan pertahanan jauh di bawah negara-negara tersebut. Akibatnya, Korea Utara merasa semakin terancam dan tidak aman karena ketidaksetaraan kekuatan militer regional yang semakin meningkat ini. Kondisi ini telah menciptakan dilema keamanan bagi Korea Utara dimana upaya peningkatan kemampuan pertahanan diri dianggap perlu untuk mengimbangi ketegangan yang ditimbulkan oleh dominasi kekuatan militer negara-negara lain di kawasan Asia Timur.

Pada tahun 1992, Korea Utara berupaya memberikan sinyal kepada masyarakat internasional bahwa negaranya tidak memiliki niat untuk mengembangkan senjata pemusnah massal. Hal itu ditunjukkan dengan kesediaannya untuk menjadi anggota dari Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) di tahun 2002. 

Amerika Serikat kembali melakukan manuver diplomatik dengan menyampaikan informasi kepada masyarakat internasional bahwa Korea Utara telah memiliki persediaan uranium yang mampu diolah menjadi bahan peledak untuk senjata. Tindakan ini akhirnya mendorong Amerika Serikat untuk menghentikan pasokan minyak ke Korea Utara dan juga memberlakukan sanksi ekonomi yang ketat. Terbebani tekanan beruntun dari berbagai langkah Amerika Serikat tersebut, pada akhirnya pada tahun 2003 Korea Utara secara sepihak memutuskan untuk menarik diri secara resmi dari komitmen yang telah dicapainya dalam Perjanjian Nonproliferasi Nuklir. 

Keputusan kontroversial Korea Utara ini semakin memperkuat keyakinan negara-negara di kawasan Asia Timur bahwa pihak Korea Utara benar-benar serius dalam mengejar program senjata nuklir (Anastasia, 2020). Upaya pengembangan senjata dan teknologi nuklir Korea Utara juga terbukti ketika negara itu melakukan uji coba roket UNHA-2 pada 5 April 2009.

Jepang berupaya membangun komunikasi diplomatik dengan Korea Utara untuk mengungkit dua hal penting pada tanggal 17 September 2002, yaitu (World N. , 2002):
a. Menghimbau Korea Utara yang beraliran ideologi komunis agar ikut berperan aktif dalam menyelesaikan berbagai persoalan keamanan di tingkat global dengan sikap yang tegas dan peduli.
b. Membuka diskusi seputar kasus penculikan warga negaranya oleh Korea Utara di masa lalu, dimana masalah ini dinilai serius karena berpotensi memengaruhi hak dan keselamatan rakyat Jepang secara langsung.

Korea Selatan merupakan negara Asia Timur lain selain Jepang yang mengkritik program senjata pemusnah massal milik Korea Utara. Namun, Korea Selatan memilih pendekatan tersendiri dalam menangani tantangan ini di Semenanjung Korea. Mereka berupaya memperbaiki kepercayaan antar-negara melalui berbagai upaya seperti mengutus bantuan ekonomi tanpa melakukan isolasi diplomatik. Hal ini dilakukan melalui kebijakan yang disebut "Sunshine Policy", yang bertujuan menjaga stabilitas rezim Korea Utara melalui jalinan hubungan yang lebih terbuka (Mukarramah, 2023). Dengan kata lain, Korea Selatan mencoba menyelesaikan persoalan ini secara damai melalui dialog dan dukungan ekonomi bilateral, bukan melalui tekanan sanksi seperti yang dipilih Jepang. Pendekatan ini diharapkan dapat menciptakan iklim kerja sama yang lebih kondusif di Semenanjung Korea.

Lebih jauh, karena merasa terancam oleh ambisi nuklir Korea Utara di kawasan, pemerintah Cina memilih untuk memperkuat kapabilitas pembelaan diri. Langkah ini diambil Cina dengan memperluas fasilitas penyimpanan senjata nuklir miliknya serta meningkatkan pengembangan teknologi pertahanan (Rosyidin, 2021). Dengan menambah kuantitas persediaan dan kualitas sistem senjata, Cina berharap mampu menjamin keamanan nasional dari ancaman yang mungkin timbul akibat penguasaan senjata pemusnah massal oleh negara terdekat. Sebagai negara adidaya regional, Cina memandang perlu untuk terus mengembangkan kemampuan militer mutakhirnya dalam merespons dinamika keamanan yang semakin rumit di kawasan Asia Timur.

Keterlibatan sejumlah negara dengan beragam agenda di dalam isu program nuklir Korea Utara telah memunculkan dilema keamanan yang kompleks di Asia Timur. Cina yang memiliki hubungan strategis dengan Korea Utara berupaya memainkan peran perantara dengan menjaga keseimbangan antara pengawasan terhadap aktivitas nuklir tetangganya dan mencegah keruntuhan rezim. Sementara itu, Korea Selatan dan Jepang yang paling terekspos ancaman langsung terus meningkatkan kapabilitas bela diri bersama AS untuk memberi tekanan pada Pyongyang (Syahrin, 2018). 

Rusia yang memiliki pengaruh kuat di kawasan juga turut membantu menjaga kestabilan dengan mengimbangi dominasi AS. Rakyat Taiwan pun tidak luput dari kecemasan menyusul intimidasi rudal Korea Utara, yang semakin memusingkan negara-negara di sekitarnya akibat program rahasia rezim otoriter Kim Jong-un.

Program nuklir Korea Utara yang dilakukan tanpa henti walaupun mendapat tekanan global telah menciptakan dinamika keamanan yang rumit di Semenanjung Korea dan kawasan Asia Timur. Ketidakmampuan Korea Utara dalam mengimbangi kekuatan militer konvensional negara tetangganya menyebabkan terjadinya dilema keamanan yang mendasari pengembangan senjata pemusnah massal. 

Keluarnya Korea Utara dari Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT) serta berhasilnya uji coba nuklir menguatkan pemikiran bahwa Korea Utara benar-benar berupaya menguasai senjata tersebut, hal ini semakin memusingkan perkara. Isu sensitif ini pun memunculkan beragam tanggapan dari negara-negara regional, seperti Cina, Korea Selatan, Jepang, dan Rusia yang memiliki agenda tersendiri dalam menyikapi ancamannya. Belum ditemukannya formula yang tepat antara pendekatan sanksi maupun dialog damai membuat stabilitas Semenanjung Korea senantiasa dipertanyakan di tengah eskalasi ancaman nuklir dari Korea Utara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun