Mohon tunggu...
Salsabila Putri
Salsabila Putri Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Representasi dan Pelanggengan Budaya Patriarki dalam Film Barbie (2023), Sebuah Analisis Gender

6 November 2024   15:18 Diperbarui: 6 November 2024   15:33 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nama saya Salsabila Putri Dafa dari Prodi Ilmu Komunikasi mengangkat isu dengan tema Pelanggengan Budaya Patriarki dalam Tayangan media. Dalam dunia yang kian kompleks, media massa memiliki peran penting dalam membentuk pemahaman dan norma sosial (Putri & Setiawan, 2024). Film, sebagai salah satu bentuk media yang paling berpengaruh, tidak hanya berfungsi sebagai sarana hiburan tetapi juga sebagai alat komunikasi yang dapat mencerminkan dan memengaruhi pandangan masyarakat (Anastasia et al., 2024). 

Sebagai contoh, film Barbie (2023) mengambil pendekatan yang unik dalam menyampaikan narasi tentang perempuan, identitas, dan kebebasan. Meskipun film ini menampilkan karakter Barbie yang berjuang melawan stereotip dan norma yang mengikat, ada pertanyaan yang lebih dalam mengenai bagaimana film ini dapat turut mempertahankan budaya patriarki yang sudah lama ada.

Budaya patriarki adalah sistem sosial yang mendominasi banyak aspek kehidupan, di mana laki-laki cenderung memegang kekuasaan dan kontrol yang lebih besar dibandingkan perempuan (Fushshilat & Apsari, 2020). 

Dalam konteks ini, film dapat berfungsi sebagai cermin bagi norma-norma yang ada serta sebagai ruang untuk tantangan dan perubahan (Qibtiyah & Aminuddin, 2024). Film Barbie berusaha untuk menyoroti perjuangan perempuan dalam menghadapi berbagai batasan yang ditetapkan oleh masyarakat, tetapi penting untuk mengevaluasi apakah pesan yang disampaikan benar-benar menciptakan perubahan atau justru mengukuhkan struktur yang sudah ada.

Salah satu aspek yang menarik dari film Barbie adalah bagaimana ia menggambarkan konflik internal karakter utama dalam mencari identitas di tengah tuntutan sosial yang ada. Dalam perjalanan cerita, Barbie menghadapi berbagai tantangan yang menguji kemampuannya untuk mengekspresikan diri dan menemukan kebebasannya.

 Momen-momen ini menggambarkan dengan jelas perjuangan perempuan dalam menavigasi antara harapan masyarakat dan keinginan pribadi, sekaligus membuka diskusi tentang eksistensi dan tujuan perempuan dalam kehidupan modern.

Namun, meskipun Barbie berupaya untuk memberdayakan perempuan, terdapat argumen bahwa film ini juga dapat memperkuat norma patriarki yang telah ada. Dengan menampilkan perempuan yang berjuang melawan stereotip sambil tetap berada dalam kerangka cerita yang didominasi oleh nilai-nilai tradisional, film ini bisa jadi hanya menawarkan solusi sementara tanpa benar-benar mengubah struktur sosial yang mendasarinya. Hal ini menciptakan dilema yang perlu diperhatikan oleh penonton dalam menilai bagaimana media membentuk pemahaman tentang gender.

Artikel ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana film Barbie berkontribusi pada pelanggengan budaya patriarki sekaligus berupaya untuk memberdayakan perempuan, serta dampaknya terhadap pemirsa. Dalam analisis ini, kita akan mempertimbangkan berbagai elemen yang ada dalam film, seperti karakter, plot, dan representasi gender. Dengan cara ini, kita dapat mengeksplorasi bagaimana narasi yang dibangun oleh film ini berinteraksi dengan norma-norma sosial yang ada.

Lebih jauh lagi, penting untuk melihat bagaimana film ini diterima oleh masyarakat dan apakah pesan-pesan yang disampaikan benar-benar dapat menginspirasi perubahan atau justru memperkuat pandangan yang sudah ada. Media memiliki kekuatan besar dalam membentuk opini publik dan persepsi terhadap gender, dan film Barbie tidak terkecuali. Oleh karena itu, penting bagi penonton untuk kritis dalam menyerap pesan-pesan yang disampaikan oleh film ini.

Dengan mempertimbangkan pengaruh film Barbie dalam konteks yang lebih luas, kita dapat lebih memahami dinamika antara media, norma sosial, dan perjuangan perempuan di era modern. Melalui pemahaman ini, diharapkan penonton dapat menyadari bahwa memberdayakan perempuan bukan hanya soal menggambarkan perempuan yang kuat, tetapi juga mengubah struktur sosial yang mendasari norma-norma patriarki yang masih ada dalam masyarakat.

Film Barbie menyajikan gambaran kehidupan Barbie di Barbie Land, sebuah dunia ideal di mana perempuan tampak memiliki kekuatan dan kepercayaan diri yang tinggi. Namun, seiring dengan perkembangan cerita, Barbie mulai mengalami krisis eksistensial dan merasakan ketidakpuasan dengan kehidupannya yang tampak sempurna.

 Hal ini membawa film ini untuk mengeksplorasi tema yang lebih kompleks mengenai identitas perempuan dan tekanan sosial yang sering kali membayangi. Meskipun karakter Barbie digambarkan sebagai sosok yang berani dan mandiri, tetap saja penggambaran tersebut tidak lepas dari banyaknya stereotip gender yang masih ada.

Karakter Ken, yang diperankan oleh Ryan Gosling, berfungsi sebagai pelengkap bagi Barbie, sekaligus mencerminkan dinamika patriarki dalam hubungan mereka. Ken digambarkan sebagai sosok yang bergantung pada Barbie untuk mendapatkan validasi dirinya, yang menciptakan gambaran bahwa laki-laki sering kali terjebak dalam peran tradisional yang dibentuk oleh masyarakat. 

omen-momen di mana Ken berusaha menunjukkan kekuatannya dan meraih perhatian Barbie menggambarkan bagaimana norma-norma patriarki masih mendominasi narasi mereka.

Film ini berusaha menampilkan keseimbangan antara kekuatan perempuan dan peran laki-laki, tetapi tetap menyiratkan tantangan yang dihadapi oleh keduanya dalam masyarakat yang masih terpengaruh oleh norma-norma gender tradisional. Dengan menyelami permasalahan identitas dan tekanan sosial, Barbie tidak hanya menghibur, tetapi juga mengajak penonton untuk merenungkan peran gender dan harapan masyarakat terhadap mereka, menciptakan ruang untuk diskusi yang lebih dalam mengenai kesetaraan dan identitas.

Pesan pemberdayaan perempuan yang disampaikan dalam film tidak dapat diabaikan, meskipun disertai dengan berbagai kontradiksi. Dalam perjalanan karakter utama, penonton disuguhkan dengan situasi di mana Barbie mengeksplorasi identitasnya dan berjuang melawan ekspektasi yang dilekatkan padanya. Momen-momen ini tidak hanya menghibur tetapi juga mengajak penonton untuk merenungkan makna sejati dari kekuatan perempuan dan bagaimana individu dapat berkontribusi untuk merubah persepsi yang ada.

Selain itu, film ini juga menciptakan ruang bagi penonton untuk berpikir kritis tentang apa artinya menjadi perempuan dalam dunia yang sering kali dikuasai oleh norma-norma patriarkal. Dengan menyajikan berbagai tantangan yang dihadapi Barbie, film ini mengundang audiens untuk mempertimbangkan pengalaman perempuan di luar batasan yang telah ditentukan. Ini memungkinkan penonton, terutama perempuan, untuk merasa terwakili dan terinspirasi dalam upaya mereka sendiri untuk menghadapi tantangan yang serupa dalam kehidupan nyata.

Dengan demikian, Barbie bukan sekadar film hiburan, tetapi juga sebuah karya yang memiliki makna lebih dalam tentang identitas, pemberdayaan, dan perjuangan perempuan. Film ini berhasil menyampaikan pesan yang kuat tentang pentingnya mematahkan stereotip dan membangun kesadaran akan hak-hak perempuan, sekaligus mendorong penonton untuk berpikir lebih jauh tentang peran mereka dalam menciptakan dunia yang lebih setara.

Film Barbie (2023) merupakan contoh menarik tentang bagaimana tayangan media dapat berperan dalam pelanggengan budaya patriarki. Meskipun film ini berusaha untuk menampilkan pemberdayaan perempuan dan menantang stereotip gender, elemen-elemen yang memperkuat norma patriarkal masih tampak jelas. Sebagai penonton, penting untuk mengkaji dan mengkritisi pesan-pesan yang disampaikan oleh media agar kita dapat memahami dan mendiskusikan isu-isu gender dengan lebih mendalam.

Hasil analisis ini menunjukkan perlunya kesadaran yang lebih besar dalam konsumsi media, serta pentingnya mendorong representasi yang lebih adil dan setara dalam film. Untuk menciptakan perubahan sosial yang nyata, diperlukan upaya kolektif untuk menghilangkan budaya patriarki yang telah mengakar, dan film Barbie dapat menjadi titik awal untuk diskusi yang lebih luas tentang gender dan peran media dalam membentuk persepsi masyarakat. 

Dengan demikian, penonton diharapkan dapat terlibat aktif dalam mempromosikan kesetaraan gender dan memperjuangkan hak-hak perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun