Kendati demikian, teori ini mengalami kelemahan karena pembelajaran sangat tidak menyenangkan bagi siswa karena guru sebagai sentral, bersikap otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa yang harus dipelajari murid. Murid dipandang pasif, Perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru. Murid hanya mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai belajar yang efektif. Guru tidak memperhatikan individual-differences.
Namun, teori ini cocok untuk pemerolehan kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti : kecepatan, spontanitas, kelenturan, refleks, daya tahan dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominasi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk- bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.
2. Teori Belajar Thorndike (Connectionism theory)
Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbantuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dan respon (R). Teori Thorndike disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi.
Teori belajar Thorndike dikenal dengan "Connectionism" (Slavin, 2000). Hal ini terjadi karena menurut pandangan Thorndike, belajar merupakan proses interaksi antara stimulus dan respon. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Teori dari Thorndike dikenal pula dengan sebutan "Trial and error" dalam menilai respon-respon yang terdapat bagi stimulus tertentu.
Dengan menggunakan media Kucing, Thorndike mengemukakan bahwa asosiasi antara stimulus dan respons mengikuti hukum-hukum Kesiapan, Latihan dan Akibat.
Teori yang dihasilkan oleh Thorndike, ada 7 (Tuju) poin yang wajib diperhatikan dalam belajar yakni; Pertama, Guru harus tahu apa yang akan diajarkan, materi apa yang harus diberikan, respon apa yang diharapkan, kapan harus memberi hadiah atau membetulkan respon. Oleh karena itu tujuan pedidikan harus dirumuskan dengan jelas. Kedua, Tujuan pendidikan harus masih dalam batas kemampuan belajar peserta didik. Dan terbagi dalam unit-unit sedemikian rupa sehingga guru dapat menerapkan menurut bermacaam-macam situasi.
Ketiga, Agar peserta didik dapat mengikuti pelajaran, proses belajar harus bertahap dari yang sederhana sampai yang kompleks. Keempat, Dalam belajar motivasi tidak begitu penting karena yang terpenting adalah adanya respon yang benar terhadap stimulus.
Kelima, Peserta didik yang telah belajar dengan baik harus diberi hadiah dan bila belum baik harus segera diperbaiki. Keenam, Situasi belajar harus dibuat menyenangkan dan mirip dengan kehidupan dalam masyarakat. Ketuju, Materi pelajaran harus bermanfaat bagi peserta didik untuk kehidupan anak kelak setelah keluar dari sekolah.
Dengan sering melakukan pengulangan dalam memecahkan suatu permasalahan, teori ini nyaris tidak memiki kekurangan karena anak didik akan memiliki sebuah pengalaman yang berharga. Selain itu dengan adanya sistem pemberian hadiah, akan membuat anak didik menjadi lebih memiliki kemauan dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
3. Teori Belajar Skinner (Behaviorisme theory)
Teori Belajar Asas pengkondisian operan B.F Skinner dimulai awal tahun 1930-an, ketika keluarnya teori S-R, Skinner tidak sependapat dengan pandangan S-R dan penjelasan reflex bersyarat dimana stimulus terus memiliki sifat-sifat kekuatan yang tidak mengendur. Menurut Skinner penjelasan S-R tentang terjadinya perubahan tingkah laku tidak lengkap untuk menjelaskan bagaimana organisme berinteraksi dengan lingkungannya.