Mohon tunggu...
Salsabila Fauzi
Salsabila Fauzi Mohon Tunggu... Lainnya - Salsabila Fauzi - 30 - XI MIPA 3

Pelajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Resensi Buku "Every Falling Star"

9 Maret 2021   23:13 Diperbarui: 9 Maret 2021   23:14 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Identitas Buku

  • Judul: Every Falling Star: The True Story of How I Survived and Escaped North Korea
  • Pengarang: Sungju Lee dan Susan McClelland
  • Penerbit: Abrams Books
  • Tahun terbit: 2016
  • Tebal halaman : 314 halaman

Pendahuluan

Every Falling Star adalah biografi singkat Sungju Lee, seorang bocah Korea Utara yang  pada usia dua belas tahun terpaksa hidup di jalanan dan mengurus dirinya sendiri. Sungju menceritakan bagaimana rasanya dipisahkan dari orang tuanya; hidup menyendiri; membuat keluarga baru dengan geng yang ia sebut "saudara laki-lakinya"; merasakan lapar setiap hari; dan dikejar rasa takut ditangkap, dipenjara, dan bahkan dieksekusi.

Dalam kisah nyata yang memukau ini, Lee, dengan Susan, mengungkapkan bahwa banyak kebebasan yang diterima begitu saja di barat tidak ada di negeri lain dan harapan seringkali menjadi satu-satunya hal yang bisa dipegang teguh. Seperti Lee yang memiliki harapan bertemu kembali dengan orang tuanya, dengan harapan itulah Lee berdoa setiap kali ia melihat bintang jatuh.

Isi Resensi

Sungju Lee lahir di Pyongyang, Korea Utara. Dia memiliki masa kecil yang indah dengan rumah yang baik, masa depan yang cerah, dan orang tua yang sangat menyayanginya. Tapi seperti yang dia gambarkan dalam biografi ini, hidupnya tiba-tiba terbalik dan menjadi lebih sulit daripada yang bisa dia bayangkan setelah ayahnya tidak disukai oleh pemerintah brutal negara itu.

Saat kecil, Lee tidak pernah mempertanyakan pemerintah atau pemimpinnya (pertama Kim Il-sung dan kemudian Kim Jong-il); cita-cita Lee sendiri adalah menjadi seorang jenderal dan melayani negaranya. Kemudian datang waktu saat ia diberi tahu bahwa keluarganya akan pergi untuk "liburan ke wilayah utara". Lee, yang berusia 11 tahun, pindah ke Gyeong-seong, di mana dia langsung dikejutkan oleh perbedaan antara ibu kota tempat dia dibesarkan dan apa yang dia lihat di wilayah lainnya.

Lee menggambarkan peristiwa ini dari perspektif masa kecilnya; Karena itu, dia hanya secara bertahap menyadari bahwa dia telah pindah ke daerah dimana kelaparan adahal hal yang sangat umum. Perubahan drastis dalam keadaan ini berarti bahwa, meskipun Lee mempunyai keinginan yang besar untuk belajar, tetap saja pada akhirnya Lee harus meninggalkan sekolah untuk membantu orang tuanya dalam pencarian makanan sehari-hari. Saat situasi keluarganya semakin memburuk, ayah Lee kemudian ibunya menghilang. Sebelum ia beranjak remaja, Lee ditinggal sendirian.

Untuk menghindari kelaparan, Lee bergabung dengan beberapa mantan teman sekelasnya dan membentuk geng, anggota geng  inilah keluarga satu-satunya Lee. Mereka bersama bergerak di sekitar pedesaan mencuri, berkelahi, dan menghindari polisi. Salah satu bagian yang paling sedih dari cerita Lee ialah saat gengnya berada di guhoso setempat, sebuah penjara bagi pemuda tunawisma yang nyatanya di penjara tersebut lebih sulit untuk bertahan hidup daripada saat hidup di jalanan. 

Pembaca mengikuti perkembangan Lee saat-saat ketika perlahan dia kehilangan kepolosannya; Setiap momen "kedewasaan" nya semakin brutal, dari meninggalkan anjing kesayangannya di Pyongyang hingga menonton eksekusi dalam field trip kelas hingga menghadapi kematian salah satu saudara laki-lakinya. Terlihat dengan jelas bahwa anak-anak di dunia Lee yang tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi; ketika orang dewasa mencoba menyembunyikan kebenaran, tersisa anak-anak seperti Lee yang mencari cara bertahan hidup. Juga tidak butuh waktu lama bagi Lee untuk menyadari pandangannya tentang apa yang membuat seseorang "baik" tidak lagi berlaku begitu dia meninggalkan Pyongyang - seperti apa yang salah satu saudara laki-lakinya ucapkan, "moralitas adalah lagu yang bagus yang dinyanyikan seseorang ketika dia tidak pernah lapar."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun