Star atau yang dalam bahasa Indonesia biasanya diartikan sebagai bintang. Bintang ialah sebuah benda langit yang memancarkan sinarnya di malam hari. Namun, katanya tak hanya di malam hari saja, tetapi di siang hari pun bintang tetap memancarkan sinarnya walaupun cahayanya tak dapat kita lihat.
Tapi, bagaimana jika bintang yang berwujud manusia sangat bertolak belakang dengan sifat bintang di langit pada umumnya, yang cahayanya selalu terang dan membawa kebahagian untuk banyak orang? Bintang yang katanya membawa ketenangan, nyatanya malah membawa sebuah kesialan untuk hidupku yang tentram.
***
Namaku Senja, lebih lengkapnya Senja Bulania Adromeda. Usia ku sekarang 19 tahun dimana seharusnya menjadi masa-masaku menikmati masa remaja. Tapi tuhan berkehendak lain, karena aku harus terjebak di sebuah pernikahan yang tidak pernah aku inginkan sama sekali. Pernikahan yang didasari perjodohan yang seolah menjadi sebuah petaka di kehidupanku.
Dia yang awalnya ku kira bisa menjadi rumah paling nyaman, dia yang ku kira bisa membuatku selalu menyunggingkan senyuman. Namun, nyatanya dia selalu menorehkan luka yang tidak bisa di anggap ringan. Pernikahan yang tidak hanya menjebakku dalam sebuah ikatan, namun juga menjebakku dalam sebuah perasaan di relung hati yang terdalam.
***
Sekarang disinilah aku. Seperti layaknya seorang gadis yang sedang menunggu suaminya di balkon sebuah kamar, dengan melihat keindahan kota yang tentunya juga ditemani angin sepoi-sepoi yang bertiup tak terlalu kencang dan kerlap-kerlip bintang yang berhamburan di langit malam.
Hari ini seharusnya menjadi hari yang membahagiakan, karena bisa terikat dengan seorang pria tampan yang banyak menjadi incaran gadis-gadis diluaran sana, dalam sebuah ikatan halal yang bernama pernikahan. Namun, berbeda denganku yang rasanya hari ini menjadi sebuah hari kehancuran. Hari yang tidak pernah aku idamkan untuk datang.
Pemandangan di langit malam ini memang cukup indah. Ada kunang-kunang juga yang beterbangan, membuat pemandangan langit malam ini semakin terlihat indah. Aku benar-benar menikmati suasana langit malam ini, sampai-sampai aku tidak sadar bahwa sudah ada seorang pria tampan di belakangku yang dengan santainya memeluk tubuhku dari belakang.
"Kenapa kamu keliatan kaku begitu? Bukankah hal ini sudah menjadi hal yang lumrah dan wajar untuk gadis seusiamu?", ucapnya tepat di samping telingaku. Apa tadi katanya? Sudah menjadi hal wajar untukku? Dia pikir aku gadis murahan begitu? Benar-benar laki-laki yang tidak memiliki sopan santun.
Dengan sekali hentak aku sudah berhasil melepaskan pelukannya dan berbalik untuk menatap mukanya "Jaga omongan kamu ya! Kamu pikir, saya gadis gampangan yang bisa di sentuh sembarangan?", tanyaku sarkas sambil menatap tajam matanya yang hanya di balas dengan kekehan meremehkan.
"Haha, bukankah memang benar hal itu sudah menjadi hal yang wajar untuk anak muda zaman sekarang, lagi pula hanya sebuah pelukan, menurut saya itu wajar-wajar saja bukan? Kenapa kesannya kamu terlihat seperti baru pertama kali mengalaminya?", lagi-lagi dia berucap dengan santainya tanpa memikirkan ucapannya yang menurutku terkesan merendahkan.
Santai sekali dia bilang bahwa hal barusan adalah sebuah hal yang bisa di anggap wajar. Jadi, dia mewajarkan perbuatan yang tidak sopan? "Asal kamu tau, saya mau jadi istri kamu juga karna terpaksa, bukan atas kemauan saya sendiri dan yang perlu kamu ingat saya bukan gadis gampangan seperti mantan-mantan kamu itu.", ucapku dengan lantang.
Namun, anehnya setelah aku mengucapkan kata-kata itu di hadapannya, dia malah menyunggingkan sebuah senyuman. Dia tersenyum cukup tipis dan sulit untuk di artikan. Apa sebenarnya yang dia rencanakan? Dia benar-benar manusia yang sulit di tebak. Terkadang aku heran, kenapa aku harus terjebak dengan pria yang menyeramkan ini.
"Hari ini malam pertama kita jika kamu lupa, saya harap kamu tidak lupa dengan perjanjian kita sebelum pernikahan ini terjadi.", ucapnya masih dengan senyuman tipis yang aku yakini senyuman itulah yang telah berhasil memikat banyak kaum hawa. Aku akui senyumannya memang cukup mempesona, tapi aku tidak menyukainya.
"Sepertinya perlu saya ulangi, agar kamu tetap mengingatnya. Setelah kita menikah, kita akan tetap menjalani pernikahan ini seperti pernikahan pada umumnya. Saya sebagai suami kamu dan kamu sebagai istri saya, yang artinya kamu harus patuh kepada saya. Perlu kamu ingat lagi bahwa pernikahan ini hanyalah sebuah pernikahan sementara."
Dia menatapku dalam, lalu melanjutkan ucapannya, "Kita menikah hanya sementara, lebih tepatnya setelah kekasih saya kembali dan sudah menyelesaikan pendidikannya di Perancis, maka kamu harus bersiap-siap untuk saya lepaskan dan setelahnya kamu bisa menjalani kehidupan kamu seperti seorang remaja pada umumnya. Jadi, kita sama-sama impaskan?"
Diam. Hanya itu yang bisa aku lakukan sekarang. Layaknya seperti terhipnotis dengan ucapan-ucapan yang baru saja dia lontarkan. Dia bilang impas ya? Lalu yang dia bilang impas itu bagian mananya? Kenapa aku merasa bahwa hanya dia yang memiliki keuntungan paling besar di pernikahan ini? Namun, aku bisa apa? Batinku rasanya benar-benar tidak terima.
***
Apakah selucu ini hidupku wahai semesta? Mengapa asaku tak selaras dengan rasa? Apa aku tidak memiliki hak untuk bahagia? Mungkinkah ini memang akhir dari cerita bahagiaku selama ini, lalu aku hanya bisa diam sambil menikmati waktu menjadi seorang istri dengan kata "sementara" seperti yang sudah dilontarkan suamiku tadi?
Wahai semesta, bercanda mu kali ini benar-benar jauh dari kata jenaka. Mungkin memang aku harus ikhlas menerima jalan hidupku seperti ini. Seperti yang sudah tuhan takdir kan untukku. Menikmati sisa-sisa waktu dengan dia. Sosok pria yang awalnya aku kira menjadi sumber bahagiaku, namun nyatanya menjadi sumber penyesalan seumur hidupku.
Penyesalan yang baru saja aku sadari selama aku hidup di dunia fana ini, bahwa aku telah mencintai seorang Starza Bumi Bagaskhara. Suamiku yang hanya terbatas dengan kata sementara, padahal yang aku inginkan adalah sebuah kata selamanya. Namun, sepertinya itu hanya mimpiku semata yang tidak akan pernah di restui oleh semesta.
Sekarang aku sadar, memang sepertinya aku harus lebih berhati-hati dalam melabuhkan hati, mungkin untuk sekarang aku akan lebih fokus memperbaiki diri dan mencoba menerima takdir tuhan di hidupku ini, yang menurutku cukup rumit sekali. Tapi, tidak apa-apa. Aku akan ikhlas menjalaninya. Aku percaya pada rencana tuhan dan semesta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H