"Haha, bukankah memang benar hal itu sudah menjadi hal yang wajar untuk anak muda zaman sekarang, lagi pula hanya sebuah pelukan, menurut saya itu wajar-wajar saja bukan? Kenapa kesannya kamu terlihat seperti baru pertama kali mengalaminya?", lagi-lagi dia berucap dengan santainya tanpa memikirkan ucapannya yang menurutku terkesan merendahkan.
Santai sekali dia bilang bahwa hal barusan adalah sebuah hal yang bisa di anggap wajar. Jadi, dia mewajarkan perbuatan yang tidak sopan? "Asal kamu tau, saya mau jadi istri kamu juga karna terpaksa, bukan atas kemauan saya sendiri dan yang perlu kamu ingat saya bukan gadis gampangan seperti mantan-mantan kamu itu.", ucapku dengan lantang.
Namun, anehnya setelah aku mengucapkan kata-kata itu di hadapannya, dia malah menyunggingkan sebuah senyuman. Dia tersenyum cukup tipis dan sulit untuk di artikan. Apa sebenarnya yang dia rencanakan? Dia benar-benar manusia yang sulit di tebak. Terkadang aku heran, kenapa aku harus terjebak dengan pria yang menyeramkan ini.
"Hari ini malam pertama kita jika kamu lupa, saya harap kamu tidak lupa dengan perjanjian kita sebelum pernikahan ini terjadi.", ucapnya masih dengan senyuman tipis yang aku yakini senyuman itulah yang telah berhasil memikat banyak kaum hawa. Aku akui senyumannya memang cukup mempesona, tapi aku tidak menyukainya.
"Sepertinya perlu saya ulangi, agar kamu tetap mengingatnya. Setelah kita menikah, kita akan tetap menjalani pernikahan ini seperti pernikahan pada umumnya. Saya sebagai suami kamu dan kamu sebagai istri saya, yang artinya kamu harus patuh kepada saya. Perlu kamu ingat lagi bahwa pernikahan ini hanyalah sebuah pernikahan sementara."
Dia menatapku dalam, lalu melanjutkan ucapannya, "Kita menikah hanya sementara, lebih tepatnya setelah kekasih saya kembali dan sudah menyelesaikan pendidikannya di Perancis, maka kamu harus bersiap-siap untuk saya lepaskan dan setelahnya kamu bisa menjalani kehidupan kamu seperti seorang remaja pada umumnya. Jadi, kita sama-sama impaskan?"
Diam. Hanya itu yang bisa aku lakukan sekarang. Layaknya seperti terhipnotis dengan ucapan-ucapan yang baru saja dia lontarkan. Dia bilang impas ya? Lalu yang dia bilang impas itu bagian mananya? Kenapa aku merasa bahwa hanya dia yang memiliki keuntungan paling besar di pernikahan ini? Namun, aku bisa apa? Batinku rasanya benar-benar tidak terima.
***
Apakah selucu ini hidupku wahai semesta? Mengapa asaku tak selaras dengan rasa? Apa aku tidak memiliki hak untuk bahagia? Mungkinkah ini memang akhir dari cerita bahagiaku selama ini, lalu aku hanya bisa diam sambil menikmati waktu menjadi seorang istri dengan kata "sementara" seperti yang sudah dilontarkan suamiku tadi?
Wahai semesta, bercanda mu kali ini benar-benar jauh dari kata jenaka. Mungkin memang aku harus ikhlas menerima jalan hidupku seperti ini. Seperti yang sudah tuhan takdir kan untukku. Menikmati sisa-sisa waktu dengan dia. Sosok pria yang awalnya aku kira menjadi sumber bahagiaku, namun nyatanya menjadi sumber penyesalan seumur hidupku.
Penyesalan yang baru saja aku sadari selama aku hidup di dunia fana ini, bahwa aku telah mencintai seorang Starza Bumi Bagaskhara. Suamiku yang hanya terbatas dengan kata sementara, padahal yang aku inginkan adalah sebuah kata selamanya. Namun, sepertinya itu hanya mimpiku semata yang tidak akan pernah di restui oleh semesta.