Perjanjian perkawinan, secara istilah merupakan persetujuan yang dibuat oleh kedua calon mempelai pada waktu atau sebelum pernikahan dilangsungkan dan saling berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Perjanjian perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan pada pasal 45 hingga pasal 52 sedangkan dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pada pasal 29. Perjanjian perkawinan harus memenuhi syarat diantaranya: tidak bertentangan dengan syariat Islam atau hakikat perkawinan, tidak ada unsur paksaan dari kedua belah pihak mempelai, isi perjanjian harus jelas sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman.
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI
Tujuan pembelajaran yaitu untuk: memahami hak dan kewajiban suami istri, memahami nafkah.
Hak dan kewajiban suami. Hak dan kewajiban adalah hubungan yang berkaitan dalam sebuah ikatan perkawinan oleh suami maupun istri yang baik keduanya harus berjalan secara seimbang agar tercipta suatu perkawinan yang harmonis. Hak suami yaitu berkaitan dengan apa yang harus diberikan oleh istri kepada suami begitupun sebaliknya dengan hak kewajiban istri yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hal yang harus dilakukan oleh suami kepada istri. Hak dan kewajiban suami istri diatur dalam Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam pasal 30 sampai pasal 34. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam masalah hak dan kewajiban suami istri diatur pada pasal 77 sampai pasal 83 yang isinya mempertegas kembali pada pasal 30 sampai 34 Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Pasal 81 menjelaskan mengenai tempat kediaman, pasal 82 menjelaskan mengenai kewajiban suami yang beristri lebih dari satu, pasal 83 berisi mengenai kewajiban istri terhadap suaminya.
Nafkah. Secara terminologi nafkah diartikan sebagai sesuatu yang wajib diberikan oleh suami untuk memenuhi kebutuhan hidup istri dan anaknya. Nafkah terbagi menjadi dua yaitu nafkah materiil dan nafkah non material. Nafkah material adalah nafkah yang diberikan oleh suami kepada istri dan anaknya baik berupa pakaian, tempat tinggal, biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi istri dan anaknya, serta biaya pendidikan bagi anak. Nafkah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada pasal 34 ayat (1) yang menjelaskan mengenai bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Kemudian pasal 34 ayat (2) menjelaskan juga bahwasanya apabila suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan. Dalam Kompilasi Hukum Islam pengaturan nafkah dijelaskan pada pasal 80 ayat  (4) yang menyatakan bahwa sesuai dengan penghasilan suami menanggung :
- Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri.
- Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi istri dan anak, serta biaya pendidikan anak.
- Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut dalam ayat 4 huruf a dan b di atas berlaku sesudah ada tamkin dari istrinya.
Meskipun demikian istri juga dapat membebaskan suaminya dari kewajiban nafkahnya yang tercantum pada pasal 80 ayat 6 yang menyatakan bahwa "istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat 4 huruf a dan b."
PUTUSNYA PERKAWINAN
Tujuan pembelajaran yaitu untuk memahami pengertian dan dasar hukum putusnya perkawinan, memahami macam-macam bentuk dari perceraian, memahami tata cara melakukan perceraian, memahami akibat hukum dari perceraian.
Pengertian dan dasar hukum putusnya perkawinan. Dalam istilah fiqih putusnya perkawinan biasanya disebut dengan talak yang artinya membuka ikatan membatalkan perjanjian. Sayyid Sabiq mendefinisikan talak dengan sebuah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya mengakhiri hubungan perkawinan itu sendiri. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam putusnya perkawinan dijelaskan pada bab XVI pasal 117 bahwa, "talak adalah ikrar suami di hadapan sidang pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud pada pasal 129, 130, dan 131." Dan dalam Undang-Undang Perkawinan putusnya perkawinan digunakan untuk menjelaskan perceraian atau berakhirnya hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang telah hidup sebagai suami istri. Yang menjadi dasar putusnya perkawinan diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pada pasal 38 yang menjelaskan bahwasanya perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan.
Macam-macam bentuk perceraian. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 114 putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena adanya talak atau berdasarkan gugatan perceraian yang telah disetujui oleh pengadilan. Macam-macam perceraian dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan mulai dari pasal 118 hingga 124, sebagai berikut:
- Talak Raj'i. Diatur pada pasal 118 yang menjelaskan bahwa talak raj'i adalah talak ke-1 atau ke-2 yang suaminya berhak rujuk selama istri selagi dalam masa iddah.
- Talak Ba'in sugro. Diatur pada pasal 119 ayat 1 yang menjelaskan bahwa talak ini tidak boleh dirujuk tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam keadaan iddah. Dalam ayat 2 dijelaskan juga bahwasanya talak Ba'in sugro sebagaimana pada ayat 1 adalah talak yang terjadi qabla al-dukhul, talak dengan tebusan atau khulu', talak yang dijatuhkan oleh pengadilan agama.
- Talak Ba'in Kubra. Diatur pada pasal 120 yang menjelaskan bahwa talak yang terjadi untuk ketiga kalinya cara ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain kemudian bercerai dan telah habis masa iddahnya.
- Talak Sunni. Diatur pada pasal 121 bahwa kalau sunni yaitu talak yang dibolehkan atau talak yang dijatuhkan terhadap istri saat sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
- Talak Bid'i. Dijelaskan pada pasal 122 bahwa talak ini adalah talak yang dilarang dijatuhkan pada saat istri dalam keadaan haid atau istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.
- Pasal 123 menjelaskan bahwa perceraian terjadi dan mulai terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan.
- Khulu'. Khulu' adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan (iwadl) kepada dan atas persetujuan suaminya dan dijelaskan merupakan 124 bahwa hulu harus berdasarkan atas alasan perceraian sesuai ketentuan pasal 116 Kompilasi Hukum Islam.
- Li'an. Diatur pada pasal 126 bahwa Li'an adalah seorang suami yang menuduh istri berbuat zina atau mengingkari anak yang ada di dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya sedangkan istrinya menolak tuduhan atau pengingkaran tersebut. Kemudian dilanjut dijelaskan pada pasal 125 bahwa Li'an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri untuk selama-lamanya. Tata cara Li'an yang diatur pada pasal 127 yang berbunyi :
- Suami bersumpah 4 kali dengan menuduh zina atau mengingkari anak tersebut yang diikuti sumpah kelima dengan kata-kata "laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan atau pengingkaran tersebut dusta."
- Istri menolak tuduhan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah 4 kali dengan kata - kata "tuduhan atau pengingkaran tersebut tidak benar." diikuti semua kelima dengan kata kata -kata "murka Allah atas dirinya bila tuduhan atau pengingkaran tersebut benar."
- Tata cara pada huruf a dan b tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan.
- Apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara b maka tidak terjadi Li'an.
Dijelaskan pada pasal 128 apabila Li'an dapat dikatakan sah apabila dilakukan di hadapan sidang pengadilan agama.
Macam-macam perceraian menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dibagi menjadi dua bagian, yaitu diantaranya:
- Â Cerai talak. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 mengenai peradilan agama pada pasal 66 dikatakan bahwa seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.
- Cerai gugat. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang dijelaskan pada pasal 73 menyatakan bahwa gugatan perceraian yang diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat keadilan penggugat kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 116 dijelaskan beberapa alasan mengenai perceraian diantaranya sebagai berikut :
- Salah satu pihak telah berbuat zina, atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain-lain yang sukar disembuhkan.
- Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
- Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
- Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain bisa disebut dengan KDRT.
- Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami maupun istri.
- Antara suami dan istri telah terjadi perselisihan dan pertengkaran sehingga tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
- Suami melanggar taklik talak.
- Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Dan terdapat alasan lainnya yang juga dijelaskan dalam Peraturan Pemerintahan Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada pasal 19. Dari alasan-alasan tersebut dapat mengajukan kepada pengadilan untuk diproses dan ditindak lanjuti.
Tata cara melakukan perceraian. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada pasal 39 dijelaskan bahwa apabila pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak pada sidang dengan adanya cukup alasan maka salah satu pihak boleh memproses perceraian dengan tata cara perceraian di depan sidang pengadilan. Kemudian pada pasal 40 ditegaskan juga bahwasanya gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan dengan tata cara pengajuan ini diatur dalam peraturan perundangan  ini diatur dalam Peraturan Perundang - Undangan sendiri. Jangan dalam Undang-Undang Peradilan Agama pasal 65 dan pasal 115 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tata cara perceraian dan prosedurnya dibedakan menjadi tiga macam yaitu cerai talak, cerai gugat, dan cerai dengan alasan zina.
Akibat hukum perceraian. Akibat yang paling mendasar dari kita setelah hubungan perkawinan ialah masalah hubungan suami istri, pembagian harta bersama, nafkah dan pemeliharaan bagi kelangsungan hidup anak - anak mereka. Akibat putusnya pernikahan yang disebabkan oleh perceraian disebutkan pada pasal 41 dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dan akibat hukum perceraian terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan perkawinan sebagai berikut :
Terhadap hubungan suami istri. Dengan perceraian maka istilah perkawinan antara suami dan istri putus maka suami dan istri bebas menikah lagi dengan ketentuan bagi mantan istri memperhatikan masa iddah atau waktu tunggu, hal ini dilakukan untuk memastikan istri sedang dalam keadaan hamil ataupun tidak.