Mohon tunggu...
Salsabila Alfihidayah N
Salsabila Alfihidayah N Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Ilmu Komunikasi | 23107030009

Hi sweetie !

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Mengatasi Fenomena Quiet Quitting di Kalangan Milenial dan Gen Z

10 Juni 2024   07:25 Diperbarui: 10 Juni 2024   07:37 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
credit: http://Broadwayshr.com

Dalam beberapa tahun terakhir, istilah "quiet quitting" atau berhenti secara diam-diam telah menjadi semakin umum terdengar di kalangan milenial dan Gen Z. Fenomena ini, yang mencerminkan ketidakpuasan yang mendalam di tempat kerja, merujuk pada keputusan individu untuk meninggalkan pekerjaan mereka tanpa memberikan peringatan yang jelas kepada atasan atau rekan kerja. Meskipun sering dianggap sebagai tindakan yang tidak profesional, quiet quitting mencerminkan perubahan paradigma di pasar tenaga kerja dan memiliki dampak ekonomi dan sosial yang signifikan.


 Perubahan Paradigma di Pasar Tenaga Kerja

Perubahan dalam harapan dan nilai-nilai pekerjaan yang diemban oleh generasi milenial dan Gen Z adalah salah satu alasan utama di balik fenomena quiet quitting. Mereka tidak lagi hanya mencari pekerjaan untuk mencari nafkah, tetapi juga mencari makna, tujuan, dan kepuasan di tempat kerja. Ketika harapan-harapan ini tidak terpenuhi atau ketika lingkungan kerja tidak sesuai dengan nilai-nilai mereka, mereka cenderung untuk mengambil keputusan untuk pergi, seringkali tanpa memberikan peringatan.

Tantangan bagi perusahaan adalah memahami ekspektasi yang berubah dari karyawan muda ini. Budaya kerja yang inklusif, pembangunan karier yang jelas, dan keseimbangan kerja-hidup yang sehat semakin menjadi prioritas dalam mempertahankan bakat mereka.

Dampak Ekonomi dan Sosial

Quiet quitting tidak hanya memiliki dampak pada individu yang meninggalkan pekerjaan, tetapi juga pada perusahaan tempat mereka bekerja. Dari sudut pandang ekonomi, quiet quitting dapat mengakibatkan biaya perekrutan dan pelatihan karyawan baru yang tinggi. Proses perekrutan yang panjang dan pelatihan yang intensif membutuhkan sumber daya finansial yang signifikan. Selain itu, kehilangan bakat yang berpengalaman dapat mengganggu produktivitas perusahaan dan mengakibatkan potensi kerugian finansial yang besar.

Menurut data dari Bureau of Labor Statistics, tingkat pergantian pekerjaan di Amerika Serikat telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, dengan banyak pekerja yang memilih untuk meninggalkan pekerjaan mereka tanpa memberikan peringatan yang jelas. Hal ini menunjukkan bahwa quiet quitting bukanlah fenomena yang terisolasi, tetapi menjadi tren yang lebih luas di pasar tenaga kerja.

Dari sudut pandang sosial, quiet quitting dapat menciptakan ketegangan di tempat kerja dan merusak hubungan di antara rekan kerja dan atasan mereka. Reputasi individu yang pergi juga dapat terkena dampaknya, terutama jika pola perilaku quiet quitting menjadi semakin umum. Ini bisa mengarah pada persepsi negatif di antara calon majikan di masa depan.

Strategi Mengatasi Quiet Quitting

Untuk mengatasi fenomena quiet quitting, perusahaan perlu mengadopsi strategi yang komprehensif. Pertama-tama, penting untuk memahami kebutuhan dan keinginan karyawan dengan lebih baik. 

Membangun budaya kerja yang inklusif dan memperhatikan kesejahteraan karyawan dapat membantu mengurangi kemungkinan quiet quitting. Memberikan saluran komunikasi yang terbuka dan memfasilitasi umpan balik secara teratur juga penting untuk mencegah kejutan dalam bentuk quiet quitting.

Menurut Gallup's State of the American Workplace report, hampir 70% karyawan merasa tidak terlibat atau bahkan aktif tidak terlibat di tempat kerja. Hal ini menunjukkan bahwa pentingnya membangun hubungan yang kuat antara manajemen dan karyawan, serta memberikan dukungan dan pengakuan yang diperlukan.

Selain itu, perusahaan juga dapat mengadopsi kebijakan yang mendukung keseimbangan kerja-hidup yang sehat. Menawarkan fleksibilitas kerja, cuti yang memadai, dan program kesejahteraan karyawan dapat membantu meningkatkan retensi karyawan dan mengurangi kemungkinan quiet quitting.

Menyusun Rencana Aksi

Agar strategi mengatasi quiet quitting berhasil, perusahaan perlu menyusun rencana aksi yang konkret. Langkah-langkah yang diambil harus relevan dengan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi oleh organisasi tersebut. Ini termasuk membangun budaya kerja yang inklusif melalui pelatihan dan pengembangan karyawan, menciptakan saluran komunikasi yang efektif, dan mengadopsi kebijakan yang mendukung keseimbangan kerja-hidup.

Dengan mengambil langkah-langkah proaktif untuk mengatasi quiet quitting, perusahaan dapat memperkuat stabilitas tenaga kerja mereka dan membangun reputasi sebagai tempat kerja yang baik. Ini bukan hanya tentang mempertahankan bakat yang ada, tetapi juga tentang menarik bakat baru di masa depan.

Quiet quitting adalah fenomena yang muncul di kalangan milenial dan Gen Z yang memiliki dampak ekonomi dan sosial yang signifikan. Untuk mengatasi quiet quitting, perusahaan perlu mengadopsi pendekatan yang holistik dan proaktif. Ini termasuk memahami ekspektasi karyawan, membangun budaya kerja yang inklusif, dan mengadopsi kebijakan yang mendukung keseimbangan kerja-hidup yang sehat.

Dengan mengambil langkah-langkah ini, perusahaan dapat mengurangi kemungkinan quiet quitting dan memperkuat stabilitas tenaga kerja mereka. Ini bukan hanya tentang mempertahankan bakat yang ada, tetapi juga tentang menciptakan lingkungan kerja yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan bagi semua karyawan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun