Orang Jepang terkenal karena kesopanannya, dan memiliki tingkat ketertiban yang tinggi. Salah satu ciri khas orang Jepang adalah kenkyo.Â
Kata "kenkyo" berarti "kerendahan hati" atau sikap rendah hati. Salah satu aspek budaya di negara Jepang antar masyarakat yang terlihat sangat signifikan hingga saat ini adalah nilai kerendahan hati.Â
Di negara Jepang nilai rendah hati sangat mengutamakan rasa sopan terhadap orang lain dan saling menghormati.Â
Rasa saling menghormati dan rendah hati masyarakat Jepang merupakan kebiasaan sejak kecil yang sudah diajarkan oleh orang tuanya sehingga tercipta budaya masyarakat Jepang yang masih dijunjung tinggi hingga saat ini.Â
Budaya rendah hati ini bisa dikatakan sebagai identitas negara Jepang karena kenkyo membuat negara Jepang terkenal dengan orang yang saling menghargai dan terbuka terhadap orang baru, baik dari negara Jepang itu sendiri maupun orang dari luar negara Jepang.Â
Akan tetapi, untuk menonjolkan sikap kenkyo ini juga kembali ke individu masing-masing. Nilai rendah hati yang tertanam dalam masyarakat Jepang menggambarkan keunikan sistem bangsa tersebut. Namun, seperti nilai-nilai yang lain nilai rendah hati ini juga memiliki tantangan untuk dipertahankan dalam budaya Jepang.Â
Seperti yang saya sebutkan di awal, orang Jepang itu rendah hati. Â Kerendahan hati mereka sering terlihat ketika mereka diberi pujian banyak orang Jepang akan menyangkalnya setidaknya sekali saat dipuji.Â
Orang Jepang tidak hanya rendah hati terhadap diri mereka sendiri tetapi juga terhadap keluarga mereka. Misalnya seperti ketika seseorang memuji istrinya bahwa istrinya itu cantik, dirinya tidak akan mengatakan, "Ya! Â Istriku adalah yang terbaik di dunia!"Â
Banyak pria Jepang akan berkata, "Tidak, itu tidak benar. Â Istrimu lebih baik daripada istriku," bahkan beberapa dari mereka mungkin dengan sengaja membicarakan kegagalan atau kesalahan istri mereka.Â
Dalam masyarakat Jepang, orang diharapkan untuk bersikap sederhana terlepas dari posisi sosial mereka, mereka harus belajar mengatur tampilan mereka dari bakat, pengetahuan, serta kekayaan dengan cara yang tepat.Â
Sikap ini tergambar dalam peribahasa Jepang yang terkenal "Paku yang mencuat akan dipalu" , dibaca "Deru kui wa utareru," yang berarti bahwa mereka menunjukkan kemampuannya secara terbuka memiliki risiko dihancurkan oleh orang lain.Â
Di sisi lain, ada pepatah lama lainnya yang memuji kerendahan hati seperti "Telinga tanaman padi tumbuh matang dan menggantung rendah" , dibaca "Bosatsu miga ireba utsumuku," yang berarti daripada menjadi sombong dan angkuh, lebih dianjurkan untuk menjadi sederhana dan sopan.Â
Selain itu juga terdapat peribahasa "Bagai padi makin berisi merunduk," maka masyarakat Jepang diharapkan untuk bersikap sopan dan menjunjung tinggi sikap rendah hati meskipun dirinya memiliki posisi, jabatan, atau ilmu yang lebih tinggi dari orang lain.Â
Istilah-istilah ini efektif dalam mempertahankan ideologi kelompok orang Jepang dan sikap khas mereka akan tetap ada di masyarakat selama bentuk-bentuk ucapan yang sopan atau keigo ada dalam bahasa Jepang.Â
Ketika menyangkut komunikasi antar budaya, pentingnya kesopanan dalam cara berpikir orang Jepang sering menyebabkan kebingungan dan pesan yang berbagai macam karena menghasilkan terlalu banyak menistakan oleh orang Jepang ketika berkomunikasi dengan orang-orang dari negara lain.Â
Di Jepang, kebanyakan orang akan tenggelam dalam pola pikir bahwa kesopanan merupakan segalanya. Sehingga, hal ini mungkin sering dianggap sebagai budaya aneh yang sulit dipahami oleh orang asing. Akan tetapi, pola pikir ini membuat Jepang berada diurutan teratas sebagai negara yang damai.Â
Masyarakat Jepang sangatlah menjunjung tinggi perdamaian tanah airnya, sehingga mereka akan senantiasa berusaha untuk menciptakan hubungan yang harmonis dengan orang lain. Harmoni, ketertiban, dan rasa rendah hati merupakan tiga nilai terpenting yang mendasari interaksi sosial masyarakat Jepang.Â
Hal utama sikap rendah hati dan sifat masyarakat Jepang lainnya diambil dari beberapa tradisi agama dan filosofis leluhurnya. Praktik keagamaan juga menekankan pada pemeliharaan hubungan yang harmonis dengan orang lain, baik makhluk spiritual maupun manusia, dan pemenuhan kewajiban sosial sebagai anggota keluarga dan masyarakat.Â
Dalam mitologi Jepang, para dewa digambarkan memiliki emosi layaknya manusia seperti cinta dan kemarahan. Dalam mitologi ini, perilaku yang menghasilkan hubungan positif dengan orang lain seperti empati dan rendah hati terhadap dengan orang lain senantiasa akan mendatangkan keberuntungan. Â
Sebaliknya, tindakan yang antisosial, sombong, dan merugikan orang lain akan mendatangkan kesengsaraan. Â Sehingga hal ini juga termasuk salah satu alasan mengapa masyarakat Jepang mengutamakan kerendahan hati.Â
Lalu, apakah sikap kenkyo masih relevan dan masih diterapkan hingga saat ini di masyarakat Jepang? untuk membahas hal itu, terdapat implementasi kenkyo dalam kehidupan masyarakat Jepang menurut Roger Davies dan Osamu Ikeno yaitu dapat dijelaskan sebagai berikut:Â
Pertama, adanya sistem masyarakat Jepang yang vertikal. Misalnya, meskipun karyawan perusahaan mungkin serupa dalam hal kemampuan, mereka selalu diberi peringkat menurut usia, tahun masuk ke dalam organisasi, dan masa kerja berkelanjutan. Seorang senior atau sepuh disebut senpai, orang yang lebih muda atau bawahan adalah kouhai.Â
Dikotomi senpai ke kouhai ini ada hampir semua organisasi perusahaan, pendidikan, dan pemerintahan Jepang. Sampai anak-anak lulus dari sekolah dasar, mereka tidak sepenuhnya menyadari hubungan vertikal ini.Â
Kedua, adanya keigo atau penyampaian dan klasifikasi bahasa yang sesuai dengan tingkat kesopanan dan kebutuhan. Karena adanya keigo, bahasa Jepang memiliki salah satu klasifikasi bahasa kesopanan yang paling rumit di dunia.Â
Pada dasarnya ada tiga jenis keigo yaitu teineigo yang merupakan ucapan sopan, sonkeigo yang merupakan ucapan kehormatan, dan kenjougo yang merupakan ucapan rendah hati.Â
Teineigo digunakan dalam percakapan sopan dan normal serta ditandai oleh bentuk akhiran kata desu dan masu dari kata kerja lain. Meskipun keigo digunakan untuk memanggil atasan atau orang yang sangat dihormati juga banyak digunakan dalam berbicara dengan orang-orang tidak dikenal dengan baik, atau yang lebih tua. Terlebih lagi, sudah umum bagi karyawan perusahaan untuk menggunakan keigo dalam berkomunikasi dengan bosnya.Â
Faktanya, keigo tidak digunakan oleh anak-anak untuk menyapa orang tua mereka di rumah, begitu pula siswa dalam menyapa guru mereka dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga keigo lebih banyak digunakan dalam lingkungan kerja seperti bawahan kepada atasan.Â
Contoh teineigo sebagai berikut:Â
1. Futsukei seperti kaku yang artinya menulis, yomu yang artinya membaca.
2. Masukei seperti kakimasu yang artinya menulis, yomimasu yang artinya membaca.
Contoh sonkeigo sebagai berikut:Â
 1. Pola o-ni naru, contohnya yaitu kaku menjadi okakininaru, yomu menjadi oyomoninaru.Â
2. Akhiran reru atau rareru, contohnya seperti kaku menjadi kakareru, dan yomu menjadi yomareru.
Contoh kenjogo sebagai berikut:Â
Memasukkan kata kerja ke dalam (o-suru).
1. Iku menjadi mairu.Â
2. Iu menjadi mosu.Â
3. Kaku menjadi okakisuru.Â
4. Yomu menjadi yomisuru.Â
Ketiga, adanya ekspresi komunikasi yang mencerminkan sikap rendah hati.Â
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa saat ini masyarakat Jepang berkembang dengan cepat. Senioritas di kalangan masyarakat Jepang sudah tenar sejak masa sekolah sehingga penggunaan keigo yang tepat sangatlah diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.Â
Sifat sopan masyarakat Jepang awalnya muncul dari anggapan bahwa kehormatan seorang individu sama baiknya dengan orang lain. Dengan kata lain, setiap orang berhak untuk dihormati. Sikap-sikap tersebut telah lama ada dan memperkuat ideologi kelompok serta meningkatkan kerukunan hidup masyarakat Jepang.Â
Namun, jika dilihat dari perspektif internasional, masyarakat Jepang terlalu sering menampilkan dirinya dengan cara cenderung tertutup. Akankah orang Jepang dapat mempertahankan kesopanan khas mereka pada masa depan? jika mereka berharap untuk melakukannya mereka harus mempertimbangkan hal tersebut dengan hati-hati terutama asal-usul dan nilainya di dunia modern, serta mencoba membantu orang asing memahami kenkyo sebagai salah satu keutamaan budaya Jepang.Â
Daftar PustakaÂ
Roger J.Davies dan Osamu Ikeno (ed). 2002. The Japanese Mind. US: Tutle Publishing.Â
Smjugm. 2013. Kisetsu, Ikuji, dan Kenkyo. Diakses pada 11 Oktober 2022, pukul 22.30 WIB.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H