Sikap ini tergambar dalam peribahasa Jepang yang terkenal "Paku yang mencuat akan dipalu" , dibaca "Deru kui wa utareru," yang berarti bahwa mereka menunjukkan kemampuannya secara terbuka memiliki risiko dihancurkan oleh orang lain.Â
Di sisi lain, ada pepatah lama lainnya yang memuji kerendahan hati seperti "Telinga tanaman padi tumbuh matang dan menggantung rendah" , dibaca "Bosatsu miga ireba utsumuku," yang berarti daripada menjadi sombong dan angkuh, lebih dianjurkan untuk menjadi sederhana dan sopan.Â
Selain itu juga terdapat peribahasa "Bagai padi makin berisi merunduk," maka masyarakat Jepang diharapkan untuk bersikap sopan dan menjunjung tinggi sikap rendah hati meskipun dirinya memiliki posisi, jabatan, atau ilmu yang lebih tinggi dari orang lain.Â
Istilah-istilah ini efektif dalam mempertahankan ideologi kelompok orang Jepang dan sikap khas mereka akan tetap ada di masyarakat selama bentuk-bentuk ucapan yang sopan atau keigo ada dalam bahasa Jepang.Â
Ketika menyangkut komunikasi antar budaya, pentingnya kesopanan dalam cara berpikir orang Jepang sering menyebabkan kebingungan dan pesan yang berbagai macam karena menghasilkan terlalu banyak menistakan oleh orang Jepang ketika berkomunikasi dengan orang-orang dari negara lain.Â
Di Jepang, kebanyakan orang akan tenggelam dalam pola pikir bahwa kesopanan merupakan segalanya. Sehingga, hal ini mungkin sering dianggap sebagai budaya aneh yang sulit dipahami oleh orang asing. Akan tetapi, pola pikir ini membuat Jepang berada diurutan teratas sebagai negara yang damai.Â
Masyarakat Jepang sangatlah menjunjung tinggi perdamaian tanah airnya, sehingga mereka akan senantiasa berusaha untuk menciptakan hubungan yang harmonis dengan orang lain. Harmoni, ketertiban, dan rasa rendah hati merupakan tiga nilai terpenting yang mendasari interaksi sosial masyarakat Jepang.Â
Hal utama sikap rendah hati dan sifat masyarakat Jepang lainnya diambil dari beberapa tradisi agama dan filosofis leluhurnya. Praktik keagamaan juga menekankan pada pemeliharaan hubungan yang harmonis dengan orang lain, baik makhluk spiritual maupun manusia, dan pemenuhan kewajiban sosial sebagai anggota keluarga dan masyarakat.Â
Dalam mitologi Jepang, para dewa digambarkan memiliki emosi layaknya manusia seperti cinta dan kemarahan. Dalam mitologi ini, perilaku yang menghasilkan hubungan positif dengan orang lain seperti empati dan rendah hati terhadap dengan orang lain senantiasa akan mendatangkan keberuntungan. Â
Sebaliknya, tindakan yang antisosial, sombong, dan merugikan orang lain akan mendatangkan kesengsaraan. Â Sehingga hal ini juga termasuk salah satu alasan mengapa masyarakat Jepang mengutamakan kerendahan hati.Â
Lalu, apakah sikap kenkyo masih relevan dan masih diterapkan hingga saat ini di masyarakat Jepang? untuk membahas hal itu, terdapat implementasi kenkyo dalam kehidupan masyarakat Jepang menurut Roger Davies dan Osamu Ikeno yaitu dapat dijelaskan sebagai berikut:Â