Hadist tersebut tidak boleh diyakini sebagi sabda Nabi saw dan tidak boleh dimasyhurkan.
Hadist tersebut harus mempunyai dasar yang umum dari hadist shahih.
Wajib memberikan bayan (penjelasan) bahwa hadist tersebut da'if saat menyampaikan atau membawakannya.
Dalam membawakannya tidak boleh menggunakan lafadz-lafadz jazm (yang menetapkan), seperti Nabi Saw telah bersabda atau mengerjakan sesuatu atau memerintahkan dan melarang  dan lain-lain yang menunjukkan ketetapan atau kepastian bahwa Nabi Saw benar-benar bersabda demikian. Tetapi wajib meggunakan lafadz tamridh (yaitu lafadz yang tidak menunjukan sebagai suatu ketetapan). Seperti :" telah diriwayatkan dari Nabi Saw  dan yang serupa dengannya.
3) Kalangan menengah
Mereka adalah kalangan yang masih mau menerima sebagian dari hadits yang terbilang dhaif dengan syarat-syarat tertentu. Mereka adalah kebanyakan ulama, para imam mazhab yang empat serta para ulama salaf dan khalaf. Syarat-syarat yang mereka ajukan untuk menerima hadits dhaif antara lain, sebagaimana diwakili oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dan juga Al-Imam An-Nawawi rahimahumalah, adalah sebagai berikut:
 Hadits dhaif itu tidak terlalu parah kedhaifanya. Sedangkan hadits dha'if yang perawinya sampai ke tingkat pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta, atau parah kerancuan hafalannya tetap tidak bisa diterima.
Hadits itu punya asal yang menaungi di bawahnya
Hadits itu hanya seputar masalah nasehat, kisah-kisah, atau anjuran amal tambahan. Bukan dalam masalah aqidah dan sifat Allah, juga bukan masalah hukum.
Ketika mengamalkannya jangan disertai keyakinan atas tsubut-nya hadits itu, melainkan hanya sekedar berhati-hati.
Menurut apa yang telah dikatakan sebagian ulama yang terpercaya, bahwa Hadits da'if dapat dijadikan sumber rujukan hanya pada fardu 'amal, nasehat serta anjuran-anjuran dalam melakukan kebaikan bukan digunakan sebagai aqidah dan  tidak boleh digunakkan dalam menetapkan hukum.
Kitab-Kitab Yang Memuat Hadits Dha'if
Al-Maudu'at, by Al-Imam Al-Hafiz Abul Faraj Abdur Rahman bin Al-Jauzi (579 H).
Al-Laali Al-Masnuah fi Al-Hadith Al-Mauduah, The paintings of Al-Hafiz Jalaluddin Al-Suyuti(911H).
Tanzih Al-Syariah Al-Marfuah An Al-Ahadits Al-Syaniah Al Mauduah, by Alhafizh Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad Bun Iraq Al-Kannani (963 H).
Al-Manar Al-Munif fi Sahih wa Al-Dafi, by means of Al-Hafizh Ibn Qayyim Al-Jauziyah (751H).
 Al-Masnu fi Al-Hadith Al-Maudu' by using Ali Al-Qari (1014 H)
Pengamalan Hadis Dha'if
   Hadits daif pada dasarnya ditolak dan tidak boleh diamalkan, sedangkan dibandingkan dengan hadits shahih dan hadits hasan. Namun, para santri melakukan evaluasi terhadap kemungkinan penggunaan dan pengerjaan hadis dhaif tersebut, agar terjadi perbedaan pendapat di antara mereka.
Ada 3 pendapat di kalangan ulama tentang penggunaan hadits daif:
Sebuah hadis daif tidak dapat diamalkan dengan sungguh-sungguh, baik mengenai fadhail a'mal maupun ahkam pendapat ini dipegang melalui Yahya bin Ma'in, Bukhari dan Muslim, Ibnu Hazm, Abu Bakar bin Araby.
b. Hadits daif dapat digunakan tanpa keraguan, pendapat ini dikaitkan dengan Abu Daud dan Imam Ahmad. masing-masing berpendapat bahwa hadis dhaif lebih kuat dari ra'yu individu.
c. Beberapa siswa berpendapat bahwa hadis dhaif dapat digunakan dalam kasus fadhail amal jika memenuhi banyak persyaratan." Siswa yang menggunakan hadis dhaif dalam fadhilah amal, dibolehkan mengambilnya dengan 3 syarat:
1) Kelemahan hadis tidak banyak
2) Apa yang disarankan hadits tersebut juga ditunjukkan dengan bantuan beberapa landasan lain yang dapat ditaati, dalam arti memeliharanya tidak bertentangan dengan landasan penjara yang telah dibenarkan.
3) Jangan menganggap sementara menggunakannya bahwa Hadis itu benar dari Nabi, itu paling mudah digunakan daripada mengadakan ulasan yang tidak sepenuhnya didasarkan pada teks sama sekali.
Penggunaan Dan Penyalahgunaan Hadis dalam Kehidupan
Dari uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa pada dasarnya Hadits Dhaif tidak dapat digunakan dan diamalkan, baik yang berkaitan dengan pedoman hukum halal dan haram, maupun harus atau tidak berkaitan dengan akidah dan lain-lain selain itu sedangkan Dhaif tidak selalu terlalu besar. , kemudian sebagian ulama menggunakannya, digunakan dalam beberapa pedoman hukum jika mungkin tidak ada yang lain dalam kepailitan itu selain Imam Ahmad (W 241 H). Yang lain menggunakannya untuk Fadha'il Al-A'mal dalam gaya hidup.
Al-Hafiz Al-Iraqi (W 806 H) berkata: "Adapun hadits palsu (Maudhu'), jauh dibolehkan bagi Al-Tasahul dalam isnad dan riwayatnya tanpa menjelaskan kelemahannya bagi mereka yang tidak memilikinya. lakukan dengan aturan dan iman, tetapi untuk masalah Targhib dan masing-masing dalam masalah Fadha'il Al-A'mal dan masalah pidana. Pendapat ini adalah Tarhib, Al-Mawaidh, Al-Qashash, Fadha'il Al-A'mal atau lainnya , sedangkan untuk hukum-hukum yang berkaitan dengan halal dan haram dan lain-lain, ditambah keyakinan yang termasuk yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah SWT, yang mungkin ja'iz dan tidak mungkin, dan selain itu, tidak diterima tasahul. dalam hal apapun dalam hal ini..
diriwayatkan seperti itu dari Imam Ahmad: "Jika engkau meriwayatkan dari Rasulullah hal-hal yang berkaitan dengan halal, haram, sunan, dan ahkam kami tegas dan selektif dalam frase sanad (Tasyaddadna fi Al-Asanid), jika Kami meriwayatkan dari Nabi saw mengacu pada Fadha'il Al-A'mal, tidak ada kaitan dengan peraturan kami bebas dalam frase sanad (Tasahalna fi Al-Asanid Dinukil tambahan dari Yahya bin Ma'in (W 233 H), beliau mengatakan bahwa dia tidak mengizinkan untuk menerapkan Hadits Dha' jika, masing-masing terkait dengan peraturan dan lain-lain.
Imam Al-Nawawi (W 676 H) dalam e-book "Al-Azkar Para santri Hadits, Fuqaha dan lain-lain mengatakan jauh diperbolehkan dan dianjurkan untuk menerapkan atau mengamalkan Hadits Dha'if di Fadha'il, Targhib dan Tarhib selama karena itu bukan hadits palsu (maudhu' ). Adapun yang berkaitan dengan pedoman hukum halal dan haram, jual beli, nikah, talak dan lain-lain tidak diperbolehkan selain dengan hadits shahih dan hasan, selain dalam Fungsinya untuk kehati-hatian (Ihtiyath), bahkan bermil-mil diriwayatkan bahwa pendapat ini merupakan kesepakatan ('Ijma) para 'Ulama.
H. Riwayat Dha'if Dalam Kaitannya Dengan Targhib dan Tahrib (Anjuran dan Peringatan)
Jika jauh dikatakan bahwa ini adalah sanggahan dari para imam yang memeriksa hadits yang tidak mencapai derajat shahih karena mereka menetapkan syarat-syarat otentisitas isnad, selain itu mereka menetapkan bahwa mengenai hadits tarhib dan targhib mungkin ada tidak ada syarat sahnya isnad dalam riwayat sebagai rujukan. Namun, jika isnad Sahih, itu lebih tinggi. Jika tidak, tidak terhitung jika orang meriwayatkan dan menjadikannya sebagai referensi. inilah yang dilakukan para Imam termasuk Malik (W 179 H) dalam "Al-Muwaththa", Ibn Al-Mubarak (W 181 H) dalam "Raqaaiq", dan Ahmad bin Hanbal (W 241 H) dalam bukunya "Raqaaiq", Sufyan . dalam "Jaami'ul Khair", dan lain-lain.
setiap riwayat yang termasuk dalam golongan ini merujuk kembali pada sisi Targhib dan Tarhib. Jika riwayat-riwayat tersebut dijadikan sebagai acuan, boleh juga dijadikan acuan bagi riwayat-riwayat tersebut, antara lain merujuk pada shalat ghaib, mi'raj, malam Nisfu Sya'ban, malam utama Jumat dalam bulan Rajab, doa agama, doa mingguan, doa kedua ibadah. ibu dan ayah, hari Asyura, Rajab cepat, dua puluh tujuh Rajab, dan seterusnya. Semua cek dengan sisi Targhib (mendorong) untuk melakukan top. Shalat secara global merupakan ketentuan yang sebagian besar sah, selain puasa dan shalat malam. semua itu memberikan segi kebaikan yang ciri khasnya disampaikan secara khusus.
Jika benar demikian, maka setiap keutamaan yang tercatat dalam hadits termasuk dalam kategori Targhib (mendorong, menyemangati). akibatnya, kesaksian dari ahli hadis mungkin tidak diperlukan untuk menetapkan otentisitas isnad. Dalam evaluasi untuk mereka yang berkaitan dengan penilaian kejahatan.
Jadi, tekad pembuktian dicapai melalui orang-orang yang mendalami informasi, bukan melalui orang-orang yang memiliki penyimpangan hati. Orang-orang yang mengetahui membedakan antara Targhib dan Tarhib Hadis dengan menggunakan sekarang tidak mengatur kondisi ini. Pemecahannya, yang dikatakan dengan bantuan ulama hadis adalah bentuk pola pikir permisif tentang Targhib dan Tarhib Hadits yang tidak sesuai dengan masalah kita yang telah diputuskan. alasannya adalah implementasi tersebut memiliki topik yang diatur secara global dan dalam elemen, atau tidak dijelaskan secara global dan dalam elemen, atau dijelaskan secara global dan tidak ditentukan..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H