Mohon tunggu...
Salsabila ArifahKhofsah
Salsabila ArifahKhofsah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi UIN Kiai Haji Achmad Shiddiq Jember

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hadist Dha'if dan Status Kehujjahannya

21 Juni 2022   21:07 Diperbarui: 21 Juni 2022   21:16 1375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Hadis Dha'if
Istilah dha'if  berdasarkan bahasa, berarti lemah, menjadi lawan dari qawi (yang kuat). Menjadi lawan istilah dari shahih, istilah dha'if  berarti saqim (yang sakit). Maka sebutan hadis dha'if secara bahasa berarti hadis yang lemah, yang sakit, yang tak kuat. Al-Nawawi dan Al-Qasimi mendefinisikan hadis dha'if dengan:

"Hadis yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadist shahih dan syarat-syarat hadist hasan"
Muhammad 'Ajjaj Al-Khathib menyatakan bahwa definisi hadis dha'if adalah:

"segala hadis yang di dalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul"
Sifat-sifat maqbul pada definisi di atas maksudnya ialah sifat-sifat yang ada pada hadis  shahih serta hadis hasan, seab keduanya memenuhi sifat-sifat maqbul. Dengan demikian, definisi kedua tadi sama dengan definisi berikut:

"Hadis yang di dalamnya tidak berkumpul sifat-sifat hadis shahih
Menurut Nur Al-Din 'ltr, definisi yang paling baik tentang hadis dha'if adalah:

"Hadis yang hilanh salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadis maqbul"
Maksud dari penjelasan diatas yaitu, suatu hadis yang memenuhi salah satu kualifikasi (kriteria) hadis  shahih serta hadis hasan dinyatakan menjadi hadis dha'if yang berarti hadis itu tertolak (mardud) untuk dijadikan sebagai hujjah.Para pakar banyak sekali mendefinisikan hadits dha'if dengan pendapat yang berbeda-beda, namun semua perbedaan itu hanya terletak pada lafadznya saja, secara makna semuanya hampir sama, dan setelah penulis melihat di antara pendapat-pendapat tersebut, penulis menyimpulkan bahwa hadits dha'if adalah "hadits lemah yang di dalamnya tidak ada kriteria-kriteria hadits maqbul, baik itu kriteria-kriteria  hadits shahih maupun hasan, dan kedha'ifan itu terjadi karena gugurnya sanad suatu hadits atau karena cacat para perawinya".

Kriteria Hadis Dha'if
Demikian pula kedhaifan suatu hadits karena tidak bersambungnya sanad. Hadits yang demikian dihukumi dhaif karena identitas rawi yang tidak tercantum itu tidak diketahui sehingga boleh jadi ia adalah rawi yang dhaif. Seandainya ia rawi yang dhaif, maka boleh jadi ia melakukan kesalahan dalam meriwayatkan-nya. Oleh karena itu, para muhadditsin menjadikan kemungkinan yang timbul dari suatu kemungkinan itu sebagai suatu pertimbangan dan menganggapnya sebagai penghalang dapat diterimanya suatu hadits. Hal ini merupakan puncak kehati-hatian yang kritis dan ilmiah.
Dengan memandang definisi yang telah disebutkan, maka dapat diketahui bahwa kriteria-kriteria hadits dha'if adalah sebagai berikut:
1. Sanadnya terputus.
2. Periwayatnya tidak adil.
3. Periwayat tidak dhabith.
4. Mengandung syadz (kejanggalan).
5. Mengandung illat (cacat)

Pembagian Hadits Dha'if
hadits dhaif mempuyai kesetandaran yaitu hadits yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadits aktual dan hasan. Oleh karena itu, hadits dhaif tidak lagi memenuhi kebutuhan hadis yang unik, juga tidak memenuhi kebutuhan hadits hasan. Dalam hadits daif terdapat hal-hal yang menimbulkan asumsi tambahan untuk memutuskan bahwa hadits ini tidak selalu dari Nabi Muhammad.
Kewaspadaan para ahli hadis dalam menampung hadis menjadikan kekurangan otentisitas hadis sebagai argumen yang cukup untuk menolak hadits dan mengutuknya sebagai hadits rawan. pada saat yang sama karena tidak ada indikasi keaslian hadits, tidak selalu ada bukti spesifik dari kesalahan gaya hidup atau terletak di dalam transmisi hadits, yang terdiri dari kebutaan hadits sebagai akibat dari kehilangan. dari hafalan hadits. atau kesalahan yang dibuat dalam meriwayatkan sebuah hadits. Bahkan, dia jujur dan tulus. ini tidak dikonfirmasi sampai narator melewati bahkan ketika dia meriwayatkan sebuah hadits yang ditafsirkan, sebenarnya sangat mungkin bahwa itu jauh dari valid. Namun, karena kecemasan yang sangat besar akan kurangnya periwayatan hadits yang bersangkutan, mereka memutuskan untuk menolaknya.
Penulis tidak mengetahui secara pasti betapa bagusnya penyebaran hadis da'if ini, karena pada setiap pengadaan e-book yang penulis baca, terdapat perbedaan pendapat di antara mereka dalam membagi hadis da'if. . dalam satu buku dikatakan bahwa "ada banyak jenis hadits dha'if, dan penyebabnya sangat panjang.
Namun, dalam tulisan ini, penulis mengambil pendapat yang dibuat dengan menggunakan Abdul Qadir Hassan dalam bukunya 'Ilmu Mushthalah Hadits', ia mengatakan bahwa ada dua situasi yang membuat sebuah hadits lemah, khususnya:
Dikarenakan berakhir sanadny.
Dikarenkan tertulis seseorang rawi ataupun beberapa rawinya.
dapat dikesimpulkan berdasarkan hadits dha'if itu terbagi kepada dua pembagian besar, yaitu: Karena berakhir sanadnya dan karena tercacat seorang rawi atau beberapa rawinya.
Sesbab berakhir sanadnya.
Yang dimaksud dengan terputusnya mata rantai adalah terputusnya mata rantai tersebut karena kurangnya satu atau lebih perawi hadits, baik yang jauh disengaja maupun tidak lagi, baik secara maya maupun samar-samar. Pemutusan hubungan perawinya dapat terjadi di awal, tengah, atau akhir rantai.
Mu'allaq
Sesuai dengan bahasa mu'allaq adalah isim maf'ul dari fi'il madzi kalimat 'allaqa, karena itu untuk melampirkan dan menjadikannya sesuatu yang tergantung. Satu sanad disebut mu'allaq karena paling dekat dengan komponen dan rute yang lebih tinggi dan terputus di bagian bawah, sehingga bermil-mil seolah-olah itu adalah sesuatu yang diletakkan di atas atap dan sebagainya.
Secara terminologis, hadits Mu'allaq adalah hadits yang perawinya di awal sanad (perawi yang dipercaya oleh pengumpul hadits) jatuh atau terputus melalui satu orang atau lebih dalam pengumpulannya.
Hadits Mu'allaq disebut hadits dha'if karena rantai sanadnya salah tempat atau terputus, sehingga identifikasi dan pengecualian perawi yang sebenarnya tidak diketahui.
karena mata rantai sanad salah tempat atau terputus, sehingga identifikasi dan kualitas perawi yang sebenarnya tidak diperhatikan, maka Hadits Mu'allaq tidak dapat dijadikan hujjah atau dalil utuk dipedomani atau diamalkan.
Mursal
Sesuai dengan bahasa mursal, itu mil isim maf'ul dari fi'il madhi arsala yang artinya athlaqa yang artinya membiarkan bergerak. seolah-olah hadits mursal itu telah lepas dari rantainya, dan tidak lagi mengikatnya kepada seorang perawi yang dikenal. para siswa menyampaikan kerepotan bahwa hadits mursal adalah hadits yang dilampaui di ujung mata rantai. Apa yang seharusnya dilakukan oleh perawi pada saat lepasnya mata rantai tersebut adalah perawi sebatas para sahabat yang menjadi orang pertama yang meriwayatkan hadits dari Nabi Muhammad. (Pengabdian awal dan akhir suatu rangkaian adalah dengan melihat dari perawi yang paling dekat dengan imam yang mencatat hadis, termasuk Bukhari, ke perawi yang paling dekat dengan Nabi).
Jadi, hadits mursal adalah hadits yang tidak menyebutkan sekutu Nabi, sebagai perawi yang harus menerimanya sekaligus dari Nabi.
Tabiin sekarang tidak menyebutkan bahwa ia memperoleh hadits dari seorang sahabat, namun mengatakan bahwa ia memperolehnya dari Rasulullah. Berdasarkan definisi Al-hakim, dianggap ada jenis hadits mursal, mursal al-jali dan mursal al-khafi.
Mursal al-jali, yaitu tidak disebutkannya (gugurnya) nama sahabat tersebut dilakukan oleh tabiin vesar (senior), sedangkan mursal al-khafi, yaitu gugurnya nama sahabat dilakukan oleh tabiin kecil (junior).
Para ahli hadis menggolongkan hadis-hadis yang diriwayatkan seorang sahabat yang tidak langsung menerima dari Rasulullah SAW. Karena mungkin ia masih kecil atau tidak hadir pada malam majelis Rasul ketika hadis itu diwurudkan, tetapi dikatakannya bahwa ia menerima hadis itu dari Rasulullah SAW. Sebagai hadis Mursal ash-shahabi.
Para ulama berbeda pendapat tentang penggunaan hadis mursal sebagai hujjah. Muhammad Ajjaj Al-Khatib menyebutkan bahwa perbedaan tersebut mencapai sepuluh pendapat, tetapi yang tergolong masyhur hanya tiga pendapat, yaitu:
Mutlak membolehkan berhujjah dengan hadis mursal. Ulama yang termasuk kelompok ini adalah Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad;
Mutlak tidak membolehkan. Menurut Imam Nawawi, pendapat ini didukung oleh jumhur ulama ahli hadis, Imam Syafi'i, kebanyakan ulama ahli fiqh dan ahli ushul;
Jumhur ulama dan ahli hadis membolehkan menggunakan hadis mursal apabila ada syarat lain yang musnad, diamalkan oleh sebagian ulama, atau sebagian besar ahli ilmu. Apabila terdapat riwayat lainyang musnad, hadis mursal itu dapat dijadikan hujjah.
Munqathi
Munqathi yaitu jika keterputusan terjadi di tengah sanad pada pada satu tempat atau dua tempat dalam keadaan tidak beturut. Kata Munqathi berasal dari bentuk verbal inqatha'a yang berarti: berhenti, kering, patah, pecah atau putus.
Hadits munqathi' menurut etimologi ialah hadits yang terputus. Para ulama memberi batasan bahwa hadits munqathi' adalah hadits yang gugur satu atau dua orang rawi tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila rawi di akhir sanad adalah sahabat Nabi, maka rawi menjelang akhir sanad adalah tabi'in.
Jadi, pada hadits munqathi' bukanlah rawi di tingkat sahabat yang gugur, tetapi minimal gugur seorang tabi'in. Bila dua rawi yang gugur, maka kedua rawi tersebut tidak beriringan, dan salah satu dari dua rawi yang gugur itu adalah tabi'in.sambungan sanadnya
Dilihat dari segi persambungan sanadnya, hadis munqati'termasuk dalam kelompok hadis dha'if. Dengan demikian, hadis ini tidak dapat dijadikan hujjah karena gugurnya seorang perawi atau lebih menyebabkan hilangnya salah satu syarat dari syarat-syarat sahih, yang berarti tidak memenuhi syarat hadis shahih.
Pengguguran rawi terjadi dengan beberapa cara, yaitu:
Gugur dengan sangat jelas, misalnya perawi dengan jelas diketahui hidupnya tidak sezaman dengan guru yang memberikan hadis kepadanya atau sezaman, tetapi gurunya tidak pernah memberikan ijazah untuk meriwayatkan hadis kepadanya;
Gugur dengan samar-samar, hanya dapat diteliti oleh orang yang ahli di bidang kemuttasilan sanad;
Gugur karena diketahui dari jurusan lain, yakni dengan adanya kelebihan seorang perawi atau lebih dalam hadis riwayat orang lain.
Seluruh hadis yang termasuk hadis dha'if yang tidak dibenarkan untuk dijadikan hujjah syar'iyah. Terlebih untuk menjadi dalil pelaksanaan ibadah. Meskipun terdapat ulama yang memandang boleh dijadikan hujjah untuk keutamaan akhlak jika matannya tidak bertentangan dengan Al-Quran, As-sunnah mutawatirah, dengan hadis shahih, dan rasional.
Mu'dhal
Mu'dhal yaitu jika keterputusan (al-inqitha) secara berturut-turut dan terjadi di tengah sanad. Kata Mu'dhal berasal dari kata kerja 'adhala yang berarti melemahkan, melelehkan, menutup rapat atau menjadikan bercacat. Kata Mu'dhal digunakan untuk jenis hadis tertentu karena pada hadis itu ada bagian yang lemah, tertutp, atau bercaca Secara terminologi, menurut Muhammad 'Ajjaj al-Khathib, hadis Mu'dhal adalah hadis yang gugur dua orang sanadnya atau lebih secara berturut-turut.
Jadi, hadits mu'dhal adalah hadits yang sulit dipahami. Batasan yang diberikan para ulama bahwa hadits mu'dhal adalah hadits yang gugur dua orang rawinya, atau lebih, secara beriringan dalam sanadnya.
Mudallas
Mudallas berasal dari kata dallasa yang secara bahasa berarti menipu  atau menyembunyikan cacat, Mudallas berarti suatu hadis yang terdapat didalamnya tipuan atau cacat. Menurut istilah, hadis Mudallas adalah hadis yang diriwayatkan dengan cara yang diperkirakan bahwa hadis itu tidak bercacat. Peristiwa yang menyembuntikan cacat disebut al-mudallis dnn hadisnya disebut al-mudallas, dan perbuatan yang menyembunyikan disebut al-tadlis. Dan secara umun ada dua jenis al-tadlis yaitu al-tadlis al-isnad dan al-tadlis al-syuyukh.

Karena Tercacat Seorang Rawi Atau Beberapa Rawinya
Maudhu'
Hadis maudhu'adalah dusta yang dibuat-buat dan dinisbahkan kepada Rasulullah SAW. Secara bahasa maudhu' berarti sesuatu yang digugurkan (Al-Masqath), yang ditinggalkan (Al-Matruk), dan diada-adakan (Al-Muftara). Menurut istilah, hadis maudhu' adalah pernyataan yang dibuat seseorang kemudian di nisbahkan pada Nabi SAW. Hadis Maudhu' diciptakan oleh pendusta dan disandarkan pada Rasulullah SAW untuk memperdayai.
Matruk
Hadis matruk adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang tertuduh sebagai pendusta. Menurut Mahmud Al-Thahhan, sebab periwayat tertuduh dusta adalah:
Hadis yang diriwayatkannya tidak diriwayatkan kecuali dari periwayat itu dan bertentangan dengan kaidah-kaidah yang telah diketahui.
Perawinya terkenal dalam pembicaraanya sebagai pendusta, namun belum dapat dibuktikan bahwa ia sudah pernah berdusta dalam membuat hadis.
Munkar
Hadis munkar berasal dari kata al-inkar (mengingkar) lawan kata dari al-iqrar (menetapkan). Kata munkar digunakan untuk hadis yang seakan mengingkari atau berlawanan dengan hadis lain yang lebih kuat. Menurut istilah, terdapat banyak ragam pengertian dikalangan ulama hadis, dan terkenal antara lain:
Menurut al-hafidz ibn Hajar Al-qalaniy, hadis munkar adalah hadis yang dalam sanadnya terdapat perawi yang kelirunya menyolok, banyak salah dan nampak sekali kefasikannya.
Hadis munkar adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi dha'if dan bertentangan dengan yang diriwayatkan perawi yang terpercaya.
 Mudraj
Menurut istilah ilmu hadis, mudraj adalah hadis yang benuk sanadyan diubah atau kedalam matannya dimasukkan sesuatu kata atau kalimat yang sebetulnya bukan bagian dari hadis tersebut tanpa ada tanda pemisah.
Ibn al- Shalah menyatakan bahwa kata atau kalimat yang masuk itu beragam jenisnya. Antara lain perkataan sebagai periwayatnya,  misalnya seorang sahabat atau yang sesudahnya menyebutkan perka-tannnya sendiri setelah meriwayatkan suatu hadis, lalu orang sesuadahnya meriwayatkan perkataan itu secara bergandengan dengan hadis tanpa ada tanda pemisah atau pembatas, sehingga orang yang tidak mengerti akan menganggap bahwa semua sabda Nabi SAW.
Sesuai dengan Al-Farisi, hadits mudraj dapat digolongkan ke dalam tiga kelas:
1) Hadits yang disisipi perkataan orang lain oleh perawi dengan memunculkan frasanya sendiri atau frasa orang lain, kemudian manusia setelahnya meriwayatkan hadits muttashil dan mengira bahwa frasa tersebut merupakan bagian dari hadits. Dalam contoh ini tidak ada kemungkinan, khususnya: penyisipan di awal hadits, di tengah hadits, dan di akhir hadits.
2) Hadis ini disisipkan dengan setiap hadits lainnya. Dalam hal ini juga tidak ada kesempatan, khususnya: seorang perawi memiliki dua matan dan dua sanad, seorang perawi meriwayatkan matan dan menggabungkannya dengan sanad mereka, matan hadits dan sanad berasal dari perawi, kecuali sejumlah mereka dengan sanad lainnya, maka perawi meriwayatkan masing-masing pada waktu yang sama dengan sanad hadits.
3) Perawi mendengarkan hadits dari sekumpulan perawi yang memiliki sanad atau mata khusus, kemudian riwayatnya disisipkan secara bersamaan dan tidak diketahui perbedaannya. Dalam situasi ini juga tidak mungkin ada kemungkinan, khususnya: ada perbedaan dalam sanad terbaik, ada perbedaan dalam matan terbaik, ada perbedaan antara sanad dan matan pada waktu yang sama.
e. Maqlub
Hadits Maqlub adalah hadits yang diriwayatkan dengan menggunakan mata. Kata al-Maqlub berasal dari kata al-qalb yang artinya mengubah sesuatu dari gaya hidupnya. Jadi, hadits Maqlub adalah sebuah hadits di mana perawinya bertukar frase atau kalimat dengan frase atau kalimat lain.
Sesuai dengan Shubhi al-shalih, pengganti atau kebalikan dari hadits Maqlub terjadi pada panggilan perawi atau garis keturunannya di sanad atau titik pengucapan matan. Ada dua gaya maqlub hadits, yaitu: pertama, hadits Maqlub al-sanad dieksekusi melalui perawi dengan cara mengubah atau atau mengganti satu perawi dengan beberapa perawi lain dengan maksud agar sanad hadits terkesan menyendiri. kedua, hadits maqlub al-matn dilakukan dengan membalik hadits baik dengan cara mendahulukan kata atau kalimat dari frase atau kalimat lain atau menyelesaikannya.

Mazid
Hadits Mazid merupakan hadits yang menerima tambahan frase atau kalimat yang tidak berasal dari hadits, masing-masing sanad dan matan. Penambahan dapat terjadi di dalam sanad atau matan. Penambahan sanad dilakukan dengan menambahkan nama perawi atau marfu' hadits mawquf atau hadits mawshul mursal. Sedangkan penambahan matan menurut Ibn al-Shalah sebagaimana dikutip dengan menggunakan Mahmud al-Tahhan, ada 3 bisnis hadits Mazid dalam frase matan.:
1) pelengkap yang tidak bertentangan dengan hadits perawi yang tsiqah atau lebih tsiqah darinya.
2) suplemen makanan yang mengandung kontradiksi dengan hadits perawi yang tsiqah atau lebih tsiqah darinya.
3) pelengkap yang mengandung bentuk pertentangan (nau'umunafah) dengan perawi tsiqah atau tsiqah yang lebih besar.
f. Mudhtharib
Sesuai dengan istilah, Hadits Mudhtharib, adalah hadits yang diriwayatkan dengan pendekatan yang unik, tetapi memiliki kekuatan yang sama. Adapun teknik transmisi hadits Mudhtharib dilakukan dengan salah satu dari 3 pendekatan berikut:
1) Seorang perawi meriwayatkan hadits dengan pendekatan khusus dari satu riwayat ke riwayat lainnya. Satu hadits diriwayatkan satu kali atau lebih melalui seorang narator dengan cara dan dokumen yang unik.
2) Sebuah hadits diriwayatkan melalui dua atau banyak perawi, yang masing-masing meriwayatkan sebuah hadits yang bertentangan dengan satu riwayat dengan yang lainnya.
tiga) masing-masing riwayat melalui perawi pribadi dan dengan menggunakan banyak manusia, yang ternyata kontradiktif, terjadi karena perbedaan dalam hafalan dan kenang-kenangan narator, bukan karena kesengajaan.
g. musyahaf
Sesuai dengan Mahmud Al-Tahhan, jangka waktu Mushahhaf berarti pergantian kalimat dalam hadits selain yang diriwayatkan oleh perawi tsiqah, masing-masing dalam lafal dan artinya. Al-Farisi mendefinisikan hadits musyahhaf karena hadits yang mengalami penyesuaian lafal atau makna, baik perubahan karena faktor pendengaran maupun faktor penglihatan yang muncul dalam sanad atau matan.
Konsisten dengan Mahmud Al-Tahhan, para ulama membagi hadis musyahhaf menjadi 3 golongan, yaitu:
       Dari segi kemunculannya, hadits musyahhaf dibagi menjadi , khususnya: pertama: al-tashif dalam sanad, misalnya hadits Shu'bah dari al-Awwam ibn Murajin dibaca oleh Ibn Ma'in menjadi dari al-Awwam ibn Muzahim . Dalam situasi ini, ra' mempelajari Zay dan jim mempelajari ha', sehingga titik pada jim dipindahkan ke ra'. Kedua: al-tashif pada matan, sebagai contoh hadits Zaid bin Tsabit yang Nabi saw. ihtiajara "cuci dengan batu" di dalam masjid, melalui ibn lahi'ah salah dibaca sebagai "bekam" ihtajama" di dalam masjid. Dalam hal ini, ra' diganti dengan mim
.
Dari segi tempat kemunculannya, hadis Mushahhaf dibagi menjadi dua, yaitu: pertama: al-tashif al-bashar, yaitu tulisan samar dalam pandangan pembaca baik karena tulisan itu jelek atau tidak ada tanda titiknya. Misalnya Sittan (enam) dalam hadis berikut diganti dengan syaian (sesuatu) pada hadis selanjutnya. Periwayatnya membaca Sittan (enam) dengan syaian (sesuatu) karena keduanya agak mirip misalnya:
"Barang siapa menginginkan puasa bulan ramadhan dan mengikutinya dengan puasa enam hari bulan syawal, maka sama halnya dengan puasa satu tahun"
Menurut Mahmud Al-Thahhan, oleh Abu Bakar al-Shuli, hadis di atas dibaca menjadi salah menjadi:
"Barang siapa berpuasa bulan ramadhan dan mengikutinya dengan sesuatu pada bulan syawal, maka sama halnya dengan puasa satu tahun"
kedua, Tashif al-sama', terutama al-tashif yang penampilannya berasal dari pendengaran yang buruk atau jarak pendengar dari sesuatu yang didengar sehingga beberapa kata tidak bersih baginya. misalnya hadits yang diriwayatkan dari "Ashim al-Ahwal" diubah menjadi salah dengar melalui sejumlah perawi sehingga disebut: "Washil al-Ahdab". dalam riwayat al-Nasa'i mungkin ada hadits yang diriwayatkan dari Yazid Ibn Harun dari Shu'bah dari "Ashim al-Ahwal" dari Abu Wail dari Ibn Mas'ud dari Nabi. Hadits ini juga diriwayatkan dari Mahdi Ibn Maymun dari "Washil al-Ahdab" yang menempati lokasi "Ashim al-Ahwal" dari jalan Shu'bah, Mahdi, dan lainnya.
dari segi lafal dan maknanya, hadis Mushahhaf dibagi menjadi dua kategori yaitu: pertama: al-tashhif pada lafal sebagaimana dalam contoh-contoh diatas. Kategori
ini yang paling. kedua: al-tashhif yang artinya, secara khusus perawi masih salah menyebut hadis yang diubah menjadi kajian sesuai dengan lafalnya yang khas namun ia menerjemahkannya dengan tafsir yang menunjukkan bahwa ia memahami makna yang tidak selalu pasti maksudnya. Sebagai contoh, pernyataan Abu Musa al-Anazi:
"Kami adalah manusia yang terhormat. Kami dari 'Anazah'. Rasulullah memperhatikan. Bacakan doa untuk kami".
Muharraf
"Hadits dimana mukhalafah terjadi karena penyesuaian dalam kalimat shaql (baris), sedangkan bentuk tulisannya tetap"
"Salah satu hadits ini adalah harakat dan sukun dari huruf-huruf yang ada di dalam matan atau sanad, modifikasi dari asalnya"
Majhul
Menurut istilah, Hadis Majhul adalah hadis yang tidak diketahui jati diri periwayat atau keadaannya. Jadi, dalam hal ini periwayat tidak diketahui jati diri dan kepribadiannya atau  kepribadiannya diketahui tetapi tidak diketahui keadilan dan ke dhabith-annya.
1) Majhul al-'Ain, khususnya perawi yang disebutkan panggilannya tetapi hadits yang paling efektif diriwayatkan melalui satu perawi. Hadits yang diriwayatkan oleh perawi ini tidak bisa universal sampai dinilai secara pasti dengan cara-cara berikut: mil dinilai positif oleh perawi yang tidak lagi meriwayatkan hadits darinya, atau dia dinilai luar biasa melalui perawi yang meriwayatkan hadits. dari dia dengan syarat dia memang kritikus perawi.
2) Majhul al-hal, khususnya perawi yang haditsnya menjadi diriwayatkan melalui dua perawi atau lebih tetapi tidak lagi disertai dengan penilaian yang baik atau buruk.
3) Al-Mubhan, khususnya perawi yang namanya tidak selalu disebutkan dalam hadits, misalnya A, laki-laki, atau syekh meriwayatkan hadits positif. menurut Ibnu
diterima kecuali masa tabi'in  dikala masyarakat masih diliputi dengan kebijakan-kebijakan.
Ma'ruf
"Satu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah serta menentang riwayat dari rawi yang lebih lemah"
Yang dikatakan rawi lemah dalam defenisi diatas adalah orang yang menganggap perkataan Ibnu 'Abbas dalam contoh hadits munkar, hadits yang rawinya lemah ini disebut ma'ruf.
Sedangkan yang dimaksud rawi yang lebih lemah dalam defenisi diatas adalah seperti Hubaiyib yang ada dalam contoh hadits munkar yang lalu, maka ini disebut dengan munkar.
Mu'allal
"Suatu hadits yang setelah diteliti dan penyeleksian ada salah sangka yang di lakukan perawinya dengan me-washalkan (menganggap bersambung suatu sanad) hadits yang munqathi' (terputus) atau memasukkan hadits kepada hadits yang lain atau yang semisal dengan itu"
"Satu hadits yang zhahirnya sah, tetapi setelah diperiksa terdapat cacatnya"
Mubhan
"Hadits yang di dalam matan atau sanadnya ada perawi yang tidak dijelaskan, apakah ia laki-laki atau perempuan"
"Satu hadits yang pada matannya atau sanadnya ada seorang yang tidak disebut namanya"
Syadz
Menurut istilah Syadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat tsiqah dan bertentangan dengan riwayat oleh periwayat yang lebih tsiqah.  Pendapat ini dikemukakan oleh Syafi'i dan diikuti oleh kebanyakan ulama. Menurut Syafi'i, suatu hadis dinyatakan mengandung Syadz apabila diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tsiqah dan bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh banyak periwayat yang juga tsiqah. Suatu hadis dikatakan tidak mengandung Syadz bila hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat tsiqah sedang periwayat lain yang tsiqah tidak meriwayatkannya.
Muharraf
"Hadits yang mukhalafahnya terjadi disebabkan karena perubahan syakal kata (baris), dengan masih tetapnya bentuk tulisannya"
"Satu hadits yang harakat dan sukun dari huruf yang ada pada matan atau sanadnya, berobah dari asalnya"
Di antara ulama ada yang menganggap bahwa mushahhaf dan muharraf sama saja, sehingga mushahhaf boleh disebut muharraf, dan muharraf dapat disebut mushahhaf.
Mukhtalith
"Hadits yang rawinya buruk hafalannya, disebabkan sudah lanjut usia, tertimpa bahaya, terbakar atau hilang kitab-kitabnya"
Rawi yang hafalannya menjadi rusak karena sesuatu sebab atau beberapa sebab di antaranya:
Tua (panjang umur)
Buta
Terbakar kitab-kitab perawi
Tenggelam kitab-kitabnya
Kecurian kitab-kitabnya
Riwayat Ahli Bid'ah
Tiap-tiap perkara, perbuatan atau perjalanan yang baru timbul disebut dengan bid'ah. Bid'ah yang dikehendaki oleh ahli hadits adalah perjalanan, pendirian atau kepercayaan yang dipegang oleh seseorang atau sesuatu golongan.
Menurut etimologi bid'ah adalah mashdar dari fi'il madhi badi'a yang berarti mengadakan sesuatu yang baru.
Menurut terminologi bid'ah adalah sesuatu yang baru dalam agama sesudah dia disempurnakan, atau sesuatu yang diadakan sesudah Nabi SAW yang berupa kehendak dan perbuatan  Berikut adalah macam-macam bid'ah:
Bid'ah Mukfirah
Pelaku bid'ah menjadi kafir, seperti mempercayai sesuatu yang menyebabkan kufur. Menurut pendapat yang mu'tamad, orang yang riwayatnya tidak diterima adalah orang yang percaya terhadap sesuatu dalam syara' yang mutawatir yang jelas diakui agama, atau orang yang mempunyai kepercayaan sebaliknya, dan riwayatnya mardud.  
Bid'ah Mufsiqah
Bid'ah yang menyebabkan pelakunya menjadi fasiq. Periwayatannya menurut ulama dapat diterima dengan syarat:
Perawinya tidak mengajak untuk melakukan bid'ah
Tidak untuk melariskan bid'ahnya.
Hadits riwayat orang bid'ah tidak mempunyai nama tersendiri, dan dia termasuk jenis hadits mardud yang tidak bisa diterima kecuali dengan syarat yang telah disebut di atas.
3. Dilihat dari Sisi Kejanggalan dan Kecacatan
a. Hadits Syadz, hadits yang diriwayatkan oleh rawiyang dapat diterima, namun bertentangan dengan perawi lain yang lebih utama darinya, Contoh: hadits syaz dalam matan adalah hadits yang diriwayatkan oleh muslim, dari Nubaisyah Al-Hudzali, dia berkata, Rasulullah bersabda:

Artinya:
"hari-hari tasyrik merupakan hari-hari makan dan minum"
Dari kenyataan di atas, periwayatan at-Tirmidzi melalui sanad Ibnu Uyainah yang lebih utama, disebut hadits mahfudh, sedang yang melalui Ashab as-Sunnah disebut syadz.
b. Hadits Mu'allal , adalah hadits yang secara lahiriyahnya tidak ada kecacatan, namun setelah dikaji lebih mendalam ternyata terdapat kecacatan di dalam sanad atau matannya atau di dalam kedua-duanya, seperti contoh:
:
Artinya:
"Rasulullah bersabda: penjual dan pembeli boleh berikhtiar, selama mereka masih belum berpisah" Ada dua jalur periwayatan, yaitu:
1) jalan Ya'l. sebuah. bin Ubaid, dari Tsufyan ats-Tsaury, dari 'Amr bin Dinar, dari Ibn Umar
2) Arahan Makhlad bin Yazid, Muhammad bin Yusuf dan Abu Na'im, ketiganya dari Tsufyan ats-Tsaury, dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu 'Umar
Dari pemaparan 2 baris di atas, dapat dikatakan bahwa hadits yang berasal dari Ya'l. sebuah. saluran transmisi termasuk unsur ketidakmampuan dan haditsnya dikenal sebagai hadits mu'allal karena bergantung pada hadits 'Amr bin Dinar, padahal sebenarnya itu mil Abdullah bin Dinar. Meski begitu, hadits Ya'la masih bisa dikatakan asli di matanya, karena redaksinya sama dengan yang lain..
4. Dilihat dari Sisi Matan
a.Hadits Mauquf, adalah hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrirnya, baik dalam periwayatannya bersambung atau tidak. Maksudnya adalah hadits yang hanya disandarkan pada sahabat saja, seperti contoh:
- - .
Dari Abdullah (bin Mas'ud) - mungkin juga Allah akan senang dengan dia - dia menyatakan: Barangsiapa ingin bertemu Allah hari ini setelah hari sebagai seorang Muslim, ia harus memelihara doa-doa ini yang dikenal sebagai dirinya. Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi Nabimu, sallallahu 'alayhi wasallam, sunnah mengemudi. Dan sesungguhnya hal itu tercakup dalam sunnah pelajaran. Jika kamu shalat di rumahmu seperti laki-laki atau perempuan yang tertinggal di belakang shalat di rumahnya, kamu benar-benar meninggalkan sunnah Nabimu. jika Anda meninggalkan Sunnah Nabi Anda, Anda benar-benar akan keluar jalur. Tidak ada seorang pun yang mensucikan dan menyempurnakan pemurniannya (wudhu) setelah itu berniat untuk mengunjungi masjid kecuali bahwa Allah akan menulis untuknya setiap langkah yang diambilnya adalah besar dan mengangkat satu derajat dan menghapus komponen yang mengerikan. Dan sesungguhnya aku melihat bahwa kita tidak tertinggal (shalat berjamaah) kecuali orang-orang munafik yang diketahui kemunafikannya. boleh jadi ada orang yang digendong dengan cara dua orang untuk menegakkan dalam barisan (H.R Muslim)
Hadits tersebut merupakan hadits mauquf sebagaimana sabda para sekutu Nabi Ibnu Mas'ud
radhiyallahu anhu. Namun hukumnya adalah marfu'.

Status Kehujjahan Hadits Dha'if
   Hadits dha'if yang terdiri dari hadits ini dinilai mardud (penolakan pembuktiannya) mengingat aturannya yang unik. Setelah melihat terdapat perbedaan pendapat dalam menjadikan hadits ini sebagai dalil sebagai berikut:
1. Jauh diharamkan sesuai dengan sebagian kecil ulama, yang meliputi al-Hafizh Ibn al-Arabi al-Maliki, Ibn Hazm, Shihab al-Khafaji, Ahmad Shakir (pencipta Syarkh Nazhm Alfiyah as-Suyuthi), Nashiruddin al -Albani (Muhaddits Salafi Wahabi) dan lainnya.
2. Jaraknya tentu saja diperbolehkan menurut Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Abu Dawud dan lain-lain. Padahal, sesuai dengan kesepakatan Hanafiyah, hadits dha'if lebih diutamakan daripada qiyas. Demikian pula, Imam Malik juga lebih mengutamakan hadits mursal, munqathi', mu'allaq, dan ucapan sahabat di atas qiyas.
3. Bersyarat (sesuai dengan mayoritas ulama): jika dikaitkan dengan akidah dan aturan (halal dan haram), maka tidak boleh. Sedangkan jika mil dikaitkan dengan keutamaan amal, menakut-nakuti, dan memotivasi amal, interpretasi dan dongeng, maka itu jauh oke.
* kelompok reputasi Dha'if. bukti hadits
1) orang-orang yang menolak mentah-mentah hadits da'if
menurut sebagian murid, dikatakan bahwa hadits da'if tidak bisa diamalkan secara mutlak. Sesuai dengan fakultas Imam Malik, Syafi'i, Yahaya bin Ma'in, Abdurrahman bin Mahdi, Bukhari, Muslim, Ibn Abdil Bar, Ibn Hazm dan para imam ahli hadits lainnya, mereka tidak lagi mengizinkan zakat dengan hadits dhaif secara mutlak. istilah bahkan untuk zakat fadhaa-ilul.
2) orang yang diberi hadits da'if
Sedangkan menurut Ibn Hajar al-Asqalani, hadits da'if dapat diamalkan dengan beberapa syarat yang sangat ketat, terutama:
a) Hadits tersebut khusus untuk fadhaa-ilul'amal atau targhib dan tarhib, tidak diperbolehkan untuk syahadat atau ahkaam atau tafsir Al-Qur'an.
b) Hadist tidak selalu sangat da'if terutama hadits maudhu', munkar, dan hadits yang diragukan asalnya.

Hadist tersebut tidak boleh diyakini sebagi sabda Nabi saw dan tidak boleh dimasyhurkan.
Hadist tersebut harus mempunyai dasar yang umum dari hadist shahih.
Wajib memberikan bayan (penjelasan) bahwa hadist tersebut da'if saat menyampaikan atau membawakannya.
Dalam membawakannya tidak boleh menggunakan lafadz-lafadz jazm (yang menetapkan), seperti Nabi Saw telah bersabda atau mengerjakan sesuatu atau memerintahkan dan melarang  dan lain-lain yang menunjukkan ketetapan atau kepastian bahwa Nabi Saw benar-benar bersabda demikian. Tetapi wajib meggunakan lafadz tamridh (yaitu lafadz yang tidak menunjukan sebagai suatu ketetapan). Seperti :" telah diriwayatkan dari Nabi Saw  dan yang serupa dengannya.
3) Kalangan menengah
Mereka adalah kalangan yang masih mau menerima sebagian dari hadits yang terbilang dhaif dengan syarat-syarat tertentu. Mereka adalah kebanyakan ulama, para imam mazhab yang empat serta para ulama salaf dan khalaf. Syarat-syarat yang mereka ajukan untuk menerima hadits dhaif antara lain, sebagaimana diwakili oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dan juga Al-Imam An-Nawawi rahimahumalah, adalah sebagai berikut:
 Hadits dhaif itu tidak terlalu parah kedhaifanya. Sedangkan hadits dha'if yang perawinya sampai ke tingkat pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta, atau parah kerancuan hafalannya tetap tidak bisa diterima.
Hadits itu punya asal yang menaungi di bawahnya
Hadits itu hanya seputar masalah nasehat, kisah-kisah, atau anjuran amal tambahan. Bukan dalam masalah aqidah dan sifat Allah, juga bukan masalah hukum.
Ketika mengamalkannya jangan disertai keyakinan atas tsubut-nya hadits itu, melainkan hanya sekedar berhati-hati.
Menurut apa yang telah dikatakan sebagian ulama yang terpercaya, bahwa Hadits da'if dapat dijadikan sumber rujukan hanya pada fardu 'amal, nasehat serta anjuran-anjuran dalam melakukan kebaikan bukan digunakan sebagai aqidah dan  tidak boleh digunakkan dalam menetapkan hukum.

Kitab-Kitab Yang Memuat Hadits Dha'if
Al-Maudu'at, by Al-Imam Al-Hafiz Abul Faraj Abdur Rahman bin Al-Jauzi (579 H).
Al-Laali Al-Masnuah fi Al-Hadith Al-Mauduah, The paintings of Al-Hafiz Jalaluddin Al-Suyuti(911H).
Tanzih Al-Syariah Al-Marfuah An Al-Ahadits Al-Syaniah Al Mauduah, by Alhafizh Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad Bun Iraq Al-Kannani (963 H).
Al-Manar Al-Munif fi Sahih wa Al-Dafi, by means of Al-Hafizh Ibn Qayyim Al-Jauziyah (751H).
 Al-Masnu fi Al-Hadith Al-Maudu' by using Ali Al-Qari (1014 H)

Pengamalan Hadis Dha'if
     Hadits daif pada dasarnya ditolak dan tidak boleh diamalkan, sedangkan dibandingkan dengan hadits shahih dan hadits hasan. Namun, para santri melakukan evaluasi terhadap kemungkinan penggunaan dan pengerjaan hadis dhaif tersebut, agar terjadi perbedaan pendapat di antara mereka.
Ada 3 pendapat di kalangan ulama tentang penggunaan hadits daif:
Sebuah hadis daif tidak dapat diamalkan dengan sungguh-sungguh, baik mengenai fadhail a'mal maupun ahkam pendapat ini dipegang melalui Yahya bin Ma'in, Bukhari dan Muslim, Ibnu Hazm, Abu Bakar bin Araby.
b. Hadits daif dapat digunakan tanpa keraguan, pendapat ini dikaitkan dengan Abu Daud dan Imam Ahmad. masing-masing berpendapat bahwa hadis dhaif lebih kuat dari ra'yu individu.
c. Beberapa siswa berpendapat bahwa hadis dhaif dapat digunakan dalam kasus fadhail amal jika memenuhi banyak persyaratan." Siswa yang menggunakan hadis dhaif dalam fadhilah amal, dibolehkan mengambilnya dengan 3 syarat:
1) Kelemahan hadis tidak banyak
2) Apa yang disarankan hadits tersebut juga ditunjukkan dengan bantuan beberapa landasan lain yang dapat ditaati, dalam arti memeliharanya tidak bertentangan dengan landasan penjara yang telah dibenarkan.
3) Jangan menganggap sementara menggunakannya bahwa Hadis itu benar dari Nabi, itu paling mudah digunakan daripada mengadakan ulasan yang tidak sepenuhnya didasarkan pada teks sama sekali.

Penggunaan Dan Penyalahgunaan Hadis dalam Kehidupan
Dari uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa pada dasarnya Hadits Dhaif tidak dapat digunakan dan diamalkan, baik yang berkaitan dengan pedoman hukum halal dan haram, maupun harus atau tidak berkaitan dengan akidah dan lain-lain selain itu sedangkan Dhaif tidak selalu terlalu besar. , kemudian sebagian ulama menggunakannya, digunakan dalam beberapa pedoman hukum jika mungkin tidak ada yang lain dalam kepailitan itu selain Imam Ahmad (W 241 H). Yang lain menggunakannya untuk Fadha'il Al-A'mal dalam gaya hidup.
Al-Hafiz Al-Iraqi (W 806 H) berkata: "Adapun hadits palsu (Maudhu'), jauh dibolehkan bagi Al-Tasahul dalam isnad dan riwayatnya tanpa menjelaskan kelemahannya bagi mereka yang tidak memilikinya. lakukan dengan aturan dan iman, tetapi untuk masalah Targhib dan masing-masing dalam masalah Fadha'il Al-A'mal dan masalah pidana. Pendapat ini adalah Tarhib, Al-Mawaidh, Al-Qashash, Fadha'il Al-A'mal atau lainnya , sedangkan untuk hukum-hukum yang berkaitan dengan halal dan haram dan lain-lain, ditambah keyakinan yang termasuk yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah SWT, yang mungkin ja'iz dan tidak mungkin, dan selain itu, tidak diterima tasahul. dalam hal apapun dalam hal ini..
diriwayatkan seperti itu dari Imam Ahmad: "Jika engkau meriwayatkan dari Rasulullah hal-hal yang berkaitan dengan halal, haram, sunan, dan ahkam kami tegas dan selektif dalam frase sanad (Tasyaddadna fi Al-Asanid), jika Kami meriwayatkan dari Nabi saw mengacu pada Fadha'il Al-A'mal, tidak ada kaitan dengan peraturan kami bebas dalam frase sanad (Tasahalna fi Al-Asanid Dinukil tambahan dari Yahya bin Ma'in (W 233 H), beliau mengatakan bahwa dia tidak mengizinkan untuk menerapkan Hadits Dha' jika, masing-masing terkait dengan peraturan dan lain-lain.
Imam Al-Nawawi (W 676 H) dalam e-book "Al-Azkar Para santri Hadits, Fuqaha dan lain-lain mengatakan jauh diperbolehkan dan dianjurkan untuk menerapkan atau mengamalkan Hadits Dha'if di Fadha'il, Targhib dan Tarhib selama karena itu bukan hadits palsu (maudhu' ). Adapun yang berkaitan dengan pedoman hukum halal dan haram, jual beli, nikah, talak dan lain-lain tidak diperbolehkan selain dengan hadits shahih dan hasan, selain dalam Fungsinya untuk kehati-hatian (Ihtiyath), bahkan bermil-mil diriwayatkan bahwa pendapat ini merupakan kesepakatan ('Ijma) para 'Ulama.

H. Riwayat Dha'if Dalam Kaitannya Dengan Targhib dan Tahrib (Anjuran dan Peringatan)
Jika jauh dikatakan bahwa ini adalah sanggahan dari para imam yang memeriksa hadits yang tidak mencapai derajat shahih karena mereka menetapkan syarat-syarat otentisitas isnad, selain itu mereka menetapkan bahwa mengenai hadits tarhib dan targhib mungkin ada tidak ada syarat sahnya isnad dalam riwayat sebagai rujukan. Namun, jika isnad Sahih, itu lebih tinggi. Jika tidak, tidak terhitung jika orang meriwayatkan dan menjadikannya sebagai referensi. inilah yang dilakukan para Imam termasuk Malik (W 179 H) dalam "Al-Muwaththa", Ibn Al-Mubarak (W 181 H) dalam "Raqaaiq", dan Ahmad bin Hanbal (W 241 H) dalam bukunya "Raqaaiq", Sufyan . dalam "Jaami'ul Khair", dan lain-lain.
setiap riwayat yang termasuk dalam golongan ini merujuk kembali pada sisi Targhib dan Tarhib. Jika riwayat-riwayat tersebut dijadikan sebagai acuan, boleh juga dijadikan acuan bagi riwayat-riwayat tersebut, antara lain merujuk pada shalat ghaib, mi'raj, malam Nisfu Sya'ban, malam utama Jumat dalam bulan Rajab, doa agama, doa mingguan, doa kedua ibadah. ibu dan ayah, hari Asyura, Rajab cepat, dua puluh tujuh Rajab, dan seterusnya. Semua cek dengan sisi Targhib (mendorong) untuk melakukan top. Shalat secara global merupakan ketentuan yang sebagian besar sah, selain puasa dan shalat malam. semua itu memberikan segi kebaikan yang ciri khasnya disampaikan secara khusus.
Jika benar demikian, maka setiap keutamaan yang tercatat dalam hadits termasuk dalam kategori Targhib (mendorong, menyemangati). akibatnya, kesaksian dari ahli hadis mungkin tidak diperlukan untuk menetapkan otentisitas isnad. Dalam evaluasi untuk mereka yang berkaitan dengan penilaian kejahatan.
Jadi, tekad pembuktian dicapai melalui orang-orang yang mendalami informasi, bukan melalui orang-orang yang memiliki penyimpangan hati. Orang-orang yang mengetahui membedakan antara Targhib dan Tarhib Hadis dengan menggunakan sekarang tidak mengatur kondisi ini. Pemecahannya, yang dikatakan dengan bantuan ulama hadis adalah bentuk pola pikir permisif tentang Targhib dan Tarhib Hadits yang tidak sesuai dengan masalah kita yang telah diputuskan. alasannya adalah implementasi tersebut memiliki topik yang diatur secara global dan dalam elemen, atau tidak dijelaskan secara global dan dalam elemen, atau dijelaskan secara global dan tidak ditentukan..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun