Pangawikan Pribadi adalah inti dari ajaran Ki Ageng Suryomentaram, yang bertujuan membantu manusia mengendalikan keinginan terhadap hal-hal duniawi seperti kekayaan, kedudukan, dan kekuasaan. Dalam ajarannya, beliau membagi godaan manusia menjadi tiga kategori utama: semat, derajat, dan kramat. Ketiganya mewakili dorongan naluriah yang dapat menjauhkan manusia dari kedamaian batin jika tidak dikendalikan dengan baik.
1. Semat (Kekayaan, Kesenangan, dan Keenakan)
Semat merujuk pada keinginan manusia untuk memiliki harta, kemewahan, dan segala sesuatu yang memberi kenyamanan atau kesenangan. Obsesi terhadap kekayaan sering kali membuat seseorang lupa akan batasan dan akhirnya mengorbankan moralitas. Ajaran Ki Ageng mengingatkan bahwa kekayaan hanyalah alat untuk memenuhi kebutuhan hidup, bukan tujuan akhir. Oleh karena itu, manusia harus hidup dengan prinsip sabutuhe (sebutuhnya) dan saperlune (seperlunya), agar terhindar dari keserakahan yang dapat membawa penderitaan batin.
2. Derajat (Keluhuran, Kemuliaan, dan Kebanggaan)
Derajat adalah keinginan manusia untuk dihormati, dipandang mulia, dan merasa bangga atas statusnya di masyarakat. Ambisi untuk mencapai keluhuran ini sering kali membuat seseorang terjebak dalam perilaku yang tidak etis, seperti menyombongkan diri atau merendahkan orang lain. Ki Ageng mengajarkan bahwa derajat sejati tidak ditentukan oleh penilaian eksternal, melainkan dari batin yang tenang dan jiwa yang tulus. Dengan menjalankan prinsip sabenere (sebenarnya) dan samesthine (semestinya), manusia dapat menghargai diri sendiri tanpa terjebak dalam ilusi keagungan.
3. Kramat (Kekuasaan, Kepercayaan, dan Pujian)
Kramat mencakup keinginan untuk memiliki kekuasaan, mendapatkan kepercayaan, dan dipuji-puji oleh orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari, dorongan ini dapat memunculkan perilaku manipulatif atau dominasi terhadap orang lain demi mencapai posisi yang diinginkan. Ajaran Ki Ageng mengingatkan bahwa kekuasaan sejati adalah kemampuan untuk memimpin diri sendiri, bukan memaksakan kehendak pada orang lain. Dengan prinsip sakpenake (sepantasnya), seseorang diajak untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai yang layak tanpa mengharapkan penghormatan yang berlebihan.
Pentingnya Pengendalian Keinginan
Pentingnya pengendalian keinginan merupakan pokok ajaran dalam Pangawikan Pribadi yang disampaikan oleh Ki Ageng Suryomentaram. Dalam ajaran ini, beliau mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati bukan terletak pada pencapaian duniawi, seperti semat (gelar), derajat, atau kramat (kemuliaan). Sebaliknya, kebahagiaan sejati terletak pada keseimbangan batin yang dicapai dengan mengendalikan keinginan dan ambisi yang sering kali tidak berujung. Dalam konteks ini, beliau menekankan bahwa dunia ini penuh dengan godaan yang bersifat sementara, dan jika seseorang tidak bijaksana dalam menghadapinya, godaan-godaan tersebut dapat membawa mereka pada ketidakbahagiaan.
Ajaran Pangawikan Pribadi mengajak individu untuk menyadari bahwa pencapaian duniawi bersifat sementara dan tidak dapat memberikan kepuasan yang abadi. Oleh karena itu, pengendalian diri menjadi sangat penting. Dalam dunia modern yang dipenuhi dengan materialisme dan ambisi yang tidak terkendali, ajaran ini memberikan pedoman yang relevan untuk hidup lebih sederhana dan damai, mengutamakan nilai-nilai spiritual dan kesejahteraan batin. Mengurangi keterikatan pada hal-hal duniawi memungkinkan seseorang untuk lebih fokus pada hal-hal yang benar-benar penting dalam hidup, seperti kedamaian batin, hubungan yang sehat, dan kontribusi positif terhadap masyarakat.
Melalui pengendalian keinginan ini, seseorang dapat menghindari konflik internal yang sering muncul akibat keinginan yang tidak terkendali, seperti keserakahan dan ambisi yang tidak sehat. Dengan membangun keseimbangan antara duniawi dan batin, manusia dapat menemukan kebahagiaan sejati yang berasal dari dalam dirinya, yang lebih stabil dan memuaskan daripada pencapaian dunia yang bersifat sementara. Ki Ageng Suryomentaram mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati terletak pada kesederhanaan, kedamaian, dan makna dalam hidup, bukan pada hal-hal yang bersifat sementara dan penuh ilusi.