Mohon tunggu...
Salsabila Alifah Saripudin
Salsabila Alifah Saripudin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Mercu Buana

Salsabila Alifah Saripudin | NIM 43223010164 | Mahasiswa | S1 Akuntansi | Fakultas Ekonomi dan Bisnis | Universitas Mercu Buana | Dosen Pengampu : Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kebatinan Ki Ageng Suryomentaram pada Upaya Pencegahan Korupsi dan Transformasi Memimpin Diri Sendiri

28 November 2024   23:18 Diperbarui: 28 November 2024   23:18 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ki Ageng Suryomentaram mengajarkan pentingnya hidup sederhana dan menjaga keseimbangan antara kebutuhan batin dan duniawi, yang memiliki keterkaitan erat dengan pencegahan korupsi. Dalam banyak kasus, korupsi muncul dari adanya keinginan yang berlebihan untuk memperoleh kekayaan, kekuasaan, atau status sosial yang dianggap dapat membawa kebahagiaan. Keinginan untuk memiliki lebih, atau mendapatkan keuntungan yang tidak sah, sering kali mengarah pada tindakan-tindakan yang merugikan orang lain dan melanggar nilai-nilai moral.

Menurut ajaran Ki Ageng, salah satu prinsip penting untuk mencapai kehidupan yang damai dan seimbang adalah dengan menghindari keterikatan pada duniawi. Ajaran beliau menekankan bahwa kebahagiaan sejati bukan berasal dari kepemilikan materi atau status sosial, melainkan dari kedamaian batin dan kesederhanaan hidup. Dalam konteks ini, prinsip "sabutuhe", "saperlune", dan "sakpenak'e" yang diajarkan oleh Ki Ageng Suryomentaram menjadi sangat relevan dalam upaya pencegahan korupsi.

Prinsip "sabutuhe" mengajarkan untuk menerima apa adanya dan tidak terobsesi dengan hal-hal yang tidak penting. Prinsip ini mengajak individu untuk hidup dalam kesederhanaan, menerima kenyataan hidup sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan, tanpa harus mengejar apa yang lebih dari itu. Sementara itu, prinsip "saperlune" mengajarkan untuk hanya mengambil apa yang memang diperlukan. Dengan memahami batasan antara kebutuhan dan keinginan, seseorang dapat menghindari kecenderungan untuk mencari keuntungan pribadi secara berlebihan yang dapat memicu perilaku koruptif.

Prinsip "sakpenak'e" juga sangat relevan dalam mengatasi godaan duniawi. Konsep ini mengajak setiap individu untuk mengukur seberapa banyak yang dibutuhkan dalam hidup dan berusaha untuk tidak berlebihan. Ketika seseorang menjalani hidup dengan sikap seperti ini, ia akan lebih terfokus pada pengembangan diri dan kesejahteraan orang lain, bukan hanya pada kepentingan pribadi yang bersifat sementara.

Dalam praktiknya, ajaran ini membantu menciptakan lingkungan yang lebih etis, di mana pengendalian diri menjadi kunci utama dalam menjaga integritas dan moralitas. Seseorang yang menginternalisasi ajaran Ki Ageng, yang tidak terjebak dalam duniawi dan dapat mengendalikan keinginannya, akan lebih mampu untuk menjauhkan diri dari perbuatan yang merugikan orang lain, seperti korupsi. Ajaran tersebut mengingatkan kita bahwa kebahagiaan dan kedamaian sejati datang dari dalam diri, bukan dari pencapaian materi yang pada akhirnya bisa membawa kerugian bagi diri sendiri dan masyarakat.

Dengan mempraktikkan ajaran tentang kesederhanaan ini, seseorang tidak hanya dapat menghindari korupsi, tetapi juga dapat memberikan kontribusi positif dalam menciptakan lingkungan yang lebih jujur, transparan, dan adil. Ketika pemimpin atau individu mampu memimpin dirinya sendiri dan tidak terjebak dalam nafsu duniawi, maka mereka dapat memimpin dengan lebih bijaksana, adil, dan bertanggung jawab. Ajaran Ki Ageng Suryomentaram memberikan kerangka yang kuat untuk menciptakan pemimpin yang bebas dari praktik korupsi dan bisa menjadi contoh yang baik bagi masyarakat.

Keseimbangan antara Jiwa dan Raga dalam Kepemimpinan

Pemikiran Ki Ageng Suryomentaram juga sangat relevan dalam konteks kepemimpinan. Seorang pemimpin yang baik harus mampu menjaga keseimbangan antara jiwa dan raga, serta mengendalikan perasaan dan keinginan yang muncul. Pemimpin yang terjebak dalam keinginan untuk memperoleh kekayaan atau kekuasaan yang lebih besar akan sulit menghindari perilaku koruptif dan bisa kehilangan integritasnya.

Menurut ajaran Ki Ageng, seorang pemimpin yang bijaksana adalah pemimpin yang mampu memimpin dirinya sendiri terlebih dahulu, yaitu mampu mengendalikan hawa nafsu dan perasaan yang tidak terkendali. Dalam hal ini, konsep "jiwa adalah rasa" sangat penting. Pemimpin yang sadar akan perasaannya dan mampu mengelola perasaan tersebut dengan bijaksana akan mampu membuat keputusan yang adil dan bermanfaat bagi orang banyak.

Prinsip hidup sederhana yang diajarkan oleh Ki Ageng juga mengajarkan bahwa pemimpin yang baik tidak akan terjebak dalam kemewahan atau kepentingan pribadi. Sebaliknya, ia akan hidup dengan kesederhanaan dan memfokuskan diri pada kepentingan umum, serta selalu mengutamakan keadilan dan kesejahteraan bersama.

Pangawikan Pribadi: Mengendalikan Keinginan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun