Dalam perkembangan negara hukum kesejahteraan yang berorientasi pada pelayanan publik, obyek gugatan PTUN tidak hanya keputusan konkret, individual, tertulis, dan final yang dikeluarkan oleh pejabat, tetapi juga sampai pada pemeriksaan sejauh mana kewenangan, substansi, dan prosedur digunakan.
Namun dalam perkembangannya manifestasi Keputusan Tata Usaha Negara juga bersumber dari diskresi. Sebab diskresi berintikan suatu tindakan untuk mengatasi permasalahan konkret. Apabila diskresi ataupun keputusan yang dibuat berdasarkan Perppu No.1/2020 merugikan kepentingan warga, maka warga tidak memiliki saluran untuk menggugat, karena tindakan atau keputusan yang berdasarkan Perppu tersebut bukan objek gugatan PTUN. Hal ini merupakan langkah berani dari pembuat Perppu, yang memiliki keyakinan tinggi bahwa potensi penyalahgunaan wewenang ataupun melampaui wewenang yang ada tidak akan terjadi, sehingga tidak diperlukan mekanisme koreksi ketika warga negara dirugikan ataupun hak warga dilanggar.
Ketentuan tersebut telah mengesampingkan prinsip persamaan di hadapan hukum, serta prinsip pengakuan dan jaminan perlindungan dan kepastian hukum. Implikasinya adalah melemahnya kemampuan warga dalam mengoreksi terjadinya perbuatan melawan hukum oleh penguasa dan Keputusan PTUN yang dihasilkan oleh tindakan dan keputusan penguasa berdasarkan Perppu No.1/2020.
Dapat dikatakan, Perppu No.1/2020 membawa DNA keadaan pengecualian, yang terjadi jika negara dalam keadaan bahaya diberlakukan. Maka, tidak mengherankan jika kekuasaan kehakiman dilumpuhkan sebagian, karena sejatinya kekuasaan kehakiman itu lumpuh ketika keadaan pengecualian diberlakukan.
*Penulis: Salomo Frendos Panggabean
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H