*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao
Memahami Tujuan Pendidikan
"Mendidik adalah menyalakan api, bukan mengisi wadah kosong" mengingatkan kita bahwa tujuan pendidikan sejati adalah membangkitkan semangat, kreativitas, dan rasa ingin tahu dalam diri siswa. Sebuah pendidikan yang baik tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga menginspirasi siswa untuk terus belajar, berpikir kritis, dan berkembang menjadi pribadi yang mandiri.Â
Sebagaimana api yang tidak bisa dipaksakan, begitu pula dengan ilmu yang seharusnya tumbuh dan menyala dalam hati setiap individu. Dalam pendidikan yang menuntun, bukan menuntut, kita memberi kesempatan bagi siswa untuk menemukan dan menyalakan api mereka sendiri, menuju masa depan yang penuh potensi.
Pendidikan saat ini seringkali dihadapkan pada tuntutan yang tinggi, baik dari pemerintah, orang tua, maupun masyarakat, untuk mencapai standar tertentu yang diukur melalui ujian dan nilai. Hal ini sering membuat siswa merasa tertekan dan terfokus pada pencapaian hasil, bukannya pada proses belajar yang sesungguhnya.
 Namun, ada sebuah konsep pendidikan yang lebih manusiawi dan memanusiakan, yakni pendidikan yang membebaskan, yang lebih berorientasi menuntun potensi siswa daripada hanya menuntut mereka untuk memenuhi target akademik.
Dalam sistem ini, guru bertindak sebagai penuntun yang membantu siswa menemukan minat dan bakat mereka, membimbing mereka untuk berpikir kritis, dan memberikan ruang bagi kreativitas serta kebebasan berpendapat. Pendidikan seperti ini tidak hanya mencetak siswa yang pintar secara akademis, tetapi juga individu yang berdaya dan mampu mengembangkan diri sesuai dengan kekuatan dan potensi yang mereka miliki.
Konsep Pendidikan yang Membebaskan
Konsep pendidikan yang membebaskan menurut Ki Hajar Dewantara (KHD) sangat menekankan pada prinsip pendidikan yang humanis dan berorientasi pada kebebasan anak dalam mengembangkan potensi dirinya.Â
Bagi KHD, pendidikan bukanlah proses untuk memaksa anak agar mengikuti aturan atau standar yang kaku, tetapi lebih kepada menuntun anak untuk tumbuh dan berkembang secara alami sesuai dengan bakat dan kemampuan yang dimilikinya.
Konsep Trilogi Pendidikan yang digagas oleh KHD terdiri dari tiga unsur penting: ing ngarso sung tulodo (di depan memberi teladan), ing madyo mangun karso (di tengah memberi bimbingan), dan tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan).Â
Pemaknaannya adalah bahwa pendidikan harus melibatkan peran aktif guru sebagai teladan yang memberikan inspirasi, sebagai bimbingan yang membimbing siswa untuk berkembang, serta sebagai pendorong yang memberi semangat untuk terus maju.
 KHD percaya bahwa pendidikan harus membebaskan anak dari belenggu ketidakpastian dan ketakutan, memberi mereka kesempatan untuk belajar dengan cara yang menyenangkan dan penuh makna.Â
Dalam konteks ini, pendidikan yang membebaskan tidak hanya mengedepankan pencapaian akademik, tetapi juga pembentukan karakter, kecerdasan emosional, dan sikap positif terhadap kehidupan.
Konsep pendidikan yang membebaskan berfokus pada pemberian ruang bagi siswa untuk berkembang secara penuh, baik dalam aspek intelektual, emosional, maupun sosial. Pendidikan ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung kebebasan berpikir, kreativitas, dan penemuan diri, tanpa terikat oleh tuntutan yang menekan atau norma yang membatasi.Â
Dalam pendidikan yang membebaskan, guru bukan hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai fasilitator yang menuntun siswa untuk memahami dunia sekitar mereka, mendorong mereka untuk berpikir kritis, dan membantu mereka menemukan minat serta potensi diri mereka.
Konsep ini menekankan pentingnya menghargai perbedaan individu, memberikan kebebasan untuk belajar dengan cara yang sesuai dengan kebutuhan dan gaya belajar masing-masing siswa, serta menciptakan rasa percaya diri dan tanggung jawab terhadap pembelajaran mereka sendiri.Â
Pendidikan yang membebaskan juga mengutamakan nilai-nilai moral dan karakter, bukan hanya pencapaian akademik semata, sehingga siswa dapat tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan berdaya.
Manfaat Pendidikan Berbasis Menuntun
Pendidikan berbasis menuntun memiliki berbagai manfaat yang sangat signifikan bagi perkembangan siswa. Pertama, kemampuan untuk menggali potensi unik yang dimiliki oleh setiap individu. Dalam sistem ini, fokus utama tidak hanya pada pencapaian akademik, tetapi juga pada pengembangan keterampilan sosial, emosional, dan keterampilan hidup lainnya yang esensial bagi keberhasilan jangka panjang.Â
Dengan langkah menuntun yang tepat, siswa diberikan kesempatan untuk mengeksplorasi minat dan bakat mereka, mengembangkan rasa percaya diri, serta menemukan tujuan hidup yang lebih jelas.
Kedua, pendidikan berbasis menuntun dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung, di mana siswa merasa dihargai, diterima, dan dipahami. Hal ini mengurangi rasa cemas dan stres yang sering muncul akibat tekanan untuk memenuhi ekspektasi tertentu.
 Dalam proses ini, guru berperan sebagai pemandu yang memberikan arahan dan motivasi, namun tetap memberi kebebasan kepada siswa untuk memilih jalan mereka sendiri dalam proses pembelajaran.
Ketiga, pendidikan berbasis menuntun memungkinkan siswa untuk berkembang menjadi pribadi yang lebih mandiri, kreatif, dan memiliki kesiapan yang lebih baik untuk menghadapi tantangan di dunia nyata, dengan kesiapan mental dan emosional yang lebih kuat.
Selain itu, pendidikan yang menuntun juga memperkuat kesiapan mental dan emosional siswa, membekali mereka dengan ketangguhan dan kemampuan untuk beradaptasi dalam berbagai situasi.
Tantangan dan Solusi dalam Implementasi
Implementasi pendidikan berbasis bimbingan yang menuntun, bukan menuntut, dihadapkan pada berbagai tantangan yang cukup kompleks. Salah satu tantangan terbesar adalah sistem pendidikan yang masih terlalu fokus pada hasil akhir, seperti nilai ujian dan standar akademik yang ketat.Â
Dalam banyak sistem pendidikan tradisional, tekanan untuk mencapai angka atau skor tertentu sering kali mendominasi, mengabaikan proses pembelajaran yang seharusnya berorientasi pada perkembangan diri siswa.
Hal ini menciptakan ketegangan antara kebutuhan untuk memenuhi ekspektasi eksternal dan kebebasan siswa untuk mengeksplorasi minat serta bakat mereka sendiri. Selain itu, guru yang belum sepenuhnya siap dengan pendekatan berbasis bimbingan juga menjadi kendala.Â
Banyak guru yang masih terjebak dalam pola pengajaran yang mengutamakan instruksi satu arah, tanpa memberi ruang bagi siswa untuk berpikir kritis dan mandiri.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, beberapa solusi dapat diterapkan. Pertama, diperlukan reformasi kurikulum yang lebih menekankan pada pengembangan keterampilan holistik, bukan hanya pencapaian akademik semata.Â
Kurikulum yang lebih fleksibel dan berfokus pada proses belajar, seperti mengintegrasikan proyek-proyek kreatif, diskusi kelompok, dan pembelajaran berbasis masalah, dapat memberikan lebih banyak kebebasan bagi siswa untuk bereksplorasi.
Kedua, peningkatan kapasitas guru sangat penting, dengan memberikan pelatihan dan pengembangan profesional yang memungkinkan mereka untuk mengadopsi pendekatan bimbingan yang lebih efektif. Guru harus dilatih untuk menjadi fasilitator yang mampu memotivasi siswa, memberikan arahan yang konstruktif, dan menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan suportif.
Ketiga, pentingnya keterlibatan orang tua dan komunitas dalam mendukung pendidikan berbasis bimbingan juga tidak bisa diabaikan. Kolaborasi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat dapat menciptakan ekosistem yang mendukung perkembangan siswa secara lebih holistik.Â
Dengan demikian, meskipun tantangan dalam implementasi pendidikan berbasis bimbingan cukup besar, solusi yang tepat dapat membantu menciptakan pendidikan yang lebih manusiawi, membebaskan, dan berorientasi pada perkembangan potensi setiap siswa.
Kesimpulan
Transformasi pendidikan yang menuntun, bukan menuntut, sangat diperlukan untuk mencetak generasi masa depan yang mandiri, kreatif, dan bahagia. Sistem pendidikan harus berani keluar dari jebakan orientasi hasil semata dan berfokus pada proses yang membangun karakter, keterampilan berpikir kritis, serta kecerdasan emosional siswa.Â
Untuk itu, perlu adanya perubahan paradigma dalam dunia pendidikan, di mana guru tidak hanya menjadi pengajar, tetapi juga menjadi fasilitator yang mampu membimbing siswa untuk menemukan potensi diri mereka. Â
Oleh karena itu, seruan untuk transformasi pendidikan ini bukan hanya untuk menciptakan individu yang cerdas secara akademik, tetapi juga individu yang memiliki keseimbangan emosional, kreativitas, dan kemampuan untuk beradaptasi dengan dinamika kehidupan.Â
Pendidikan yang menuntun, bukan menuntut, adalah kunci untuk menghasilkan generasi yang tidak hanya unggul di bidang ilmu, tetapi juga siap memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan dunia.
Tetap semangat menjadi seorang pendidik yang menuntun anak didik untuk menjadi pribadi yang berpengetahuan dan berkarakter baik. Tugas kita sebagai pendidik tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga membimbing mereka untuk mengembangkan nilai-nilai positif, seperti integritas, kedisiplinan, dan rasa empati. Setiap tantangan yang dihadapi dalam proses mendidik adalah kesempatan untuk menumbuhkan potensi terbaik dalam diri mereka.Â
Dengan kesabaran, keteladanan, dan dorongan yang tepat, kita dapat membantu mereka menjadi generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga bijaksana dalam bertindak dan memiliki rasa tanggung jawab dan siap menghadapi tantangan masa depan.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H