Mohon tunggu...
Salmun Ndun
Salmun Ndun Mohon Tunggu... Guru - Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain

Membaca itu sehat dan menulis itu hebat. Membaca adalah membawa dunia masuk dalam pikiran dan menulis adalah mengantar pikiran kepada dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Suara dan Kritik Tajam, Siapa yang Diuntungkan dan Siapa yang Dikambinghitamkan?

3 Oktober 2024   05:03 Diperbarui: 3 Oktober 2024   05:03 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

POLITIK SUARA DAN KRITIK TAJAM: SIAPA YANG DIUNTUNGKAN DAN SIAPA YANG DIKAMBINGHITAMKAN?

*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao

Dalam dinamika politik, pemilu sering kali menjadi ajang yang tidak lepas dari praktik curang, termasuk penggelembungan suara. Penggelembungan suara merupakan manipulasi perolehan suara untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu, yang sering kali terjadi dalam sistem politik yang belum sepenuhnya transparan. 

Di sisi lain, kritik tajam terhadap praktik politik tidak etis seperti ini sering kali direspons dengan represif, di mana pengkritik dianggap sebagai ancaman dan bahkan dikambinghitamkan.

Dalam ulasan ini, akan dibahas bagaimana penggelembungan suara menguntungkan segelintir elit politik, sementara kritik yang seharusnya menjadi kontrol sosial justru menjebak pengkritik dalam stigma dan risiko pemecatan. Fenomena ini menunjukkan adanya ketegangan antara upaya mempertahankan kekuasaan dan kebutuhan akan transparansi dalam politik modern.

Fenomena ini terjadi ketika Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) melakukan pemecatan terhadap Tia Rahmania dari calon legislatif  Dewan Perwakilan Rakyat daerah pemilihan Banten I, karena melanggar kode etik dan  melontarkan sindiran kepada Nurul Ghufron selaku pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Mahkamah Partai PDI Perjuangan telah menyidangkan kasus Tia Rahmania pada 14 Agustus 2024, yang memutus Tia Rahmania terbukti melakukan penggelembungan suara dan melanggar kode etik dan disiplin partai. Selanjutnya pada 30 Agustus 2024, DPP PDI Perjuangan mengirimkan surat beserta hasil persidangan Mahkamah Partai ke KPU.

Sumber gambar: homecare24.id
Sumber gambar: homecare24.id
Politik Suara dan Penggelembungan Suara

Penggelembungan suara merupakan salah satu praktik curang yang kerap muncul dalam kontestasi politik, terutama dalam sistem pemilu yang belum sepenuhnya transparan. Fenomena ini biasanya melibatkan manipulasi jumlah suara yang diberikan kepada kandidat atau partai tertentu dengan tujuan memastikan kemenangan mereka secara tidak sah. 

Penggelembungan suara dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti memalsukan data pemilih, menambah suara di daerah tertentu, hingga menghilangkan suara untuk mengurangi perolehan lawan politik. 

Dalam praktiknya, tindakan ini bukan hanya mencederai prinsip-prinsip demokrasi, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap proses politik itu sendiri. Penggelembungan suara sering kali terjadi di bawah perlindungan elite politik yang memiliki kekuasaan dan akses ke lembaga-lembaga yang seharusnya menjaga netralitas proses pemilu.

Mereka yang diuntungkan dari penggelembungan suara biasanya adalah politisi atau partai yang berkuasa, serta pihak-pihak lain yang memiliki kepentingan ekonomi atau politik tertentu. 

Elite politik ini kerap membentuk jaringan kekuasaan yang melibatkan birokrasi, aparat keamanan, bahkan penyelenggara pemilu untuk memastikan bahwa tindakan manipulatif ini tidak terungkap atau dapat dibenarkan. Dengan demikian, penggelembungan suara tidak hanya soal manipulasi angka, tetapi juga soal kekuatan sistemik yang melindungi praktik tersebut.

Dampak penggelembungan suara ini sangat besar bagi kualitas demokrasi suatu negara. Ketika suara masyarakat dimanipulasi, hasil pemilu tidak lagi mencerminkan kehendak rakyat, melainkan hanya menguntungkan segelintir elit. Hal ini merusak integritas pemilu dan memperkuat siklus kekuasaan oligarki yang cenderung meminggirkan kepentingan publik.

Selain itu, praktik ini juga berpotensi menimbulkan konflik sosial dan ketidakpuasan politik, karena kelompok-kelompok yang merasa dicurangi tidak lagi percaya pada sistem yang ada. Akhirnya, penggelembungan suara bukan sekadar masalah teknis dalam pemilu, tetapi merupakan tantangan serius bagi demokrasi itu sendiri, di mana kepentingan kekuasaan lebih diutamakan daripada keadilan dan kebenaran.

Input sumber gambar: istockphoto.com
Input sumber gambar: istockphoto.com
Kritik Tajam dalam Politik: Sebuah Risiko

Kritik tajam dalam politik sering kali menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, kritik merupakan elemen penting dalam menjaga transparansi dan akuntabilitas pemerintahan serta mendorong reformasi yang lebih baik. Di sisi lain, kritik terhadap kekuasaan, terutama yang ditujukan kepada praktik-praktik curang seperti penggelembungan suara, kerap menghadirkan risiko besar bagi sang pengkritik.

Dalam banyak kasus, kritik tajam ini tidak diterima dengan tangan terbuka oleh para elite politik yang sedang berkuasa, melainkan dianggap sebagai ancaman langsung terhadap stabilitas dan posisi mereka. Ketika kritik mulai menyentuh kepentingan-kepentingan tertentu, terutama yang terkait dengan korupsi atau manipulasi, tanggapan dari pihak berkuasa sering kali berujung pada tindakan represif, termasuk pemecatan, pengucilan, atau bahkan kriminalisasi.

Kritikus yang berani mengungkap penyimpangan dalam sistem politik sering kali dihadapkan pada risiko personal yang signifikan. Mereka tidak hanya terancam kehilangan karier politiknya, tetapi juga berpotensi mengalami intimidasi, pembunuhan karakter, atau stigma sosial yang melekat. Ketika seorang politisi atau tokoh publik secara terang-terangan menyampaikan kritik terhadap penggelembungan suara atau penyalahgunaan kekuasaan, biasanya respons yang muncul adalah upaya untuk menyingkirkan atau mendiskreditkan mereka, bukannya melakukan introspeksi.

Pemecatan dari partai, seperti yang sering terjadi dalam politik Indonesia, adalah langkah yang lazim digunakan oleh partai politik untuk menyingkirkan individu-individu yang dianggap mengganggu stabilitas internal atau melawan arus kebijakan partai. Alih-alih menjadi ruang untuk diskusi dan perbaikan, kritik di dalam partai malah berpotensi menyebabkan fragmentasi dan konflik internal, yang akhirnya berujung pada pemecatan.

Pemecatan pengkritik dari keanggotaan partai adalah bentuk nyata dari bagaimana kritik sering kali tidak diterima sebagai kontribusi positif dalam demokrasi, melainkan dipandang sebagai ancaman eksistensial. Dalam konteks ini, kebebasan berpendapat yang seharusnya menjadi pilar demokrasi berubah menjadi alat untuk membungkam suara-suara oposisi. Mereka yang berani menyuarakan kritik tajam, apalagi jika itu menyangkut praktik curang dalam pemilu, sering kali dicap sebagai pengkhianat atau dianggap tidak loyal.

Hal ini juga mencerminkan betapa besarnya kontrol kekuasaan di tangan segelintir elit politik, yang menggunakan pengaruhnya untuk melindungi kepentingan pribadi atau kelompoknya. Bahkan dalam beberapa kasus, kritik tajam bisa berujung pada proses hukum yang direkayasa, di mana sang pengkritik dihadapkan pada tuduhan-tuduhan yang dibuat-buat untuk menjatuhkan kredibilitas dan reputasi mereka.

Siapa yang Diuntungkan dan Siapa yang Dikambinghitamkan?

Dalam praktik penggelembungan suara dan permainan politik yang sering kali tidak etis, ada dua pihak yang jelas terlihat: mereka yang diuntungkan dan mereka yang dikambinghitamkan. Pihak yang diuntungkan dari penggelembungan suara biasanya adalah elite politik atau partai yang berkuasa. Mereka memanfaatkan kekuasaan dan pengaruh untuk memanipulasi hasil pemilu agar tetap berada di kursi kekuasaan atau memperluas kekuatan politiknya. 

Penggelembungan suara bukan hanya soal kemenangan dalam pemilu, tetapi juga soal keberlanjutan jaringan kekuasaan yang menguntungkan segelintir kelompok. Di sini, kekuasaan tidak lagi hanya diukur dari kemampuan memimpin, tetapi juga dari kemampuan untuk memanipulasi sistem agar tetap berpihak pada mereka.

Sementara itu, mereka yang dikambinghitamkan biasanya adalah para pengkritik atau tokoh yang berani berbicara lantang mengenai kecurangan politik. Ketika seseorang, baik dari dalam partai maupun dari luar, mulai mengungkap adanya praktik penggelembungan suara, mereka sering kali langsung menjadi sasaran serangan balik dari kelompok yang sedang berkuasa.

Alih-alih memperbaiki situasi, elite politik sering kali lebih memilih untuk membungkam suara-suara yang berani menentang atau mempertanyakan integritas mereka. Di dalam partai politik, pengkritik yang menantang kepemimpinan partai atau mengungkap skandal kecurangan sering kali dianggap merusak kesatuan partai. 

Mereka dikambinghitamkan sebagai penyebab kekacauan atau dianggap mengganggu keharmonisan politik, padahal mereka sebenarnya mencoba untuk memperbaiki praktik yang keliru. Partai-partai yang memiliki struktur kekuasaan hierarkis dan loyalitas buta cenderung tidak mentoleransi perbedaan pendapat, terutama yang menyangkut praktik-praktik curang. Ini menyebabkan kritik yang konstruktif malah dilihat sebagai ancaman, sehingga pemecatan atau pengucilan dianggap sebagai solusi paling cepat dan mudah. 

Akibatnya, pengkritik dipojokkan dan kehilangan dukungan, sementara pihak-pihak yang sebenarnya terlibat dalam penggelembungan suara terus menikmati keuntungan tanpa konsekuensi yang berarti.

Situasi ini menciptakan paradoks dalam politik modern, di mana kritik yang semestinya mendorong perubahan dan perbaikan justru menjadi bumerang bagi mereka yang berani bersuara. Mereka yang diuntungkan oleh penggelembungan suara tidak hanya mempertahankan kekuasaannya, tetapi juga menciptakan lingkungan di mana kebenaran dan transparansi dikesampingkan. Sebaliknya, mereka yang berupaya membongkar kebusukan dalam sistem politik malah dihukum, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dengan demikian, praktik penggelembungan suara dan narasi kritik yang ditekan menunjukkan adanya ketidakadilan sistemik, di mana keuntungan kekuasaan diperoleh dengan mengorbankan integritas politik dan demokrasi yang sehat. Pada akhirnya, yang diuntungkan adalah mereka yang berhasil menjaga kekuasaannya, sementara yang dikambinghitamkan adalah suara-suara yang berani menentang arus dan mempertanyakan moralitas di balik politik kotor.

 

Perlu Reformasi Politik dan Perlindungan Kritik

Reformasi dalam sistem politik dan pemilu menjadi kebutuhan mendesak untuk memperbaiki kualitas demokrasi dan mengembalikan kepercayaan publik. Penggelembungan suara dan berbagai bentuk manipulasi dalam proses pemilu menunjukkan bahwa sistem yang ada masih rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan. 

Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah konkret seperti penguatan transparansi dalam setiap tahapan pemilu, peningkatan independensi lembaga penyelenggara pemilu, dan pengawasan yang lebih ketat dari masyarakat sipil. 

Selain itu, reformasi juga harus mencakup penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kecurangan, sehingga mereka yang terlibat dalam manipulasi politik menghadapi konsekuensi yang jelas. Dengan reformasi yang komprehensif, diharapkan proses politik dan pemilu dapat lebih mencerminkan kehendak rakyat dan menjaga integritas demokrasi.

Melindungi kritik adalah kunci dalam menjaga keadilan dan memastikan demokrasi yang sehat. Kritik berfungsi sebagai alat kontrol sosial yang penting untuk menyoroti kekurangan dalam sistem politik, termasuk korupsi, penggelembungan suara, dan penyalahgunaan kekuasaan. Ketika kritik dilindungi, masyarakat dan para pengkritik dapat menyuarakan pendapatnya tanpa rasa takut, mendorong transparansi dan akuntabilitas di kalangan pemimpin dan institusi politik.

Dalam demokrasi yang sehat, perbedaan pendapat harus dihargai, bukan dihadapi dengan represif atau tindakan pembungkaman. Dengan melindungi hak untuk mengkritik, negara juga memperkuat fondasi demokrasi, di mana setiap suara berkontribusi pada perbaikan sistem dan terciptanya pemerintahan yang lebih adil dan inklusif. Tanpa ruang untuk kritik, demokrasi berisiko kehilangan esensinya dan berubah menjadi otoritarianisme terselubung.

Refleksi dari ulasan ini menekankan pentingnya menjaga integritas politik dan demokrasi melalui transparansi, reformasi, serta perlindungan terhadap kritik. Penggelembungan suara dan manipulasi politik tidak hanya mencederai proses pemilu, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem yang seharusnya mencerminkan kehendak rakyat. 

Di sisi lain, kritik yang dibungkam memperlihatkan adanya ketidakadilan yang mengakar, di mana suara-suara yang berusaha memperbaiki justru dijadikan kambing hitam. Oleh karena itu, refleksi menjadi sangat penting, mendorong kita untuk mempertimbangkan peran kita dalam memperjuangkan politik yang lebih adil, transparan, dan inklusif.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun