Siapa yang Diuntungkan dan Siapa yang Dikambinghitamkan?
Dalam praktik penggelembungan suara dan permainan politik yang sering kali tidak etis, ada dua pihak yang jelas terlihat: mereka yang diuntungkan dan mereka yang dikambinghitamkan. Pihak yang diuntungkan dari penggelembungan suara biasanya adalah elite politik atau partai yang berkuasa. Mereka memanfaatkan kekuasaan dan pengaruh untuk memanipulasi hasil pemilu agar tetap berada di kursi kekuasaan atau memperluas kekuatan politiknya.Â
Penggelembungan suara bukan hanya soal kemenangan dalam pemilu, tetapi juga soal keberlanjutan jaringan kekuasaan yang menguntungkan segelintir kelompok. Di sini, kekuasaan tidak lagi hanya diukur dari kemampuan memimpin, tetapi juga dari kemampuan untuk memanipulasi sistem agar tetap berpihak pada mereka.
Sementara itu, mereka yang dikambinghitamkan biasanya adalah para pengkritik atau tokoh yang berani berbicara lantang mengenai kecurangan politik. Ketika seseorang, baik dari dalam partai maupun dari luar, mulai mengungkap adanya praktik penggelembungan suara, mereka sering kali langsung menjadi sasaran serangan balik dari kelompok yang sedang berkuasa.
Alih-alih memperbaiki situasi, elite politik sering kali lebih memilih untuk membungkam suara-suara yang berani menentang atau mempertanyakan integritas mereka. Di dalam partai politik, pengkritik yang menantang kepemimpinan partai atau mengungkap skandal kecurangan sering kali dianggap merusak kesatuan partai.Â
Mereka dikambinghitamkan sebagai penyebab kekacauan atau dianggap mengganggu keharmonisan politik, padahal mereka sebenarnya mencoba untuk memperbaiki praktik yang keliru. Partai-partai yang memiliki struktur kekuasaan hierarkis dan loyalitas buta cenderung tidak mentoleransi perbedaan pendapat, terutama yang menyangkut praktik-praktik curang. Ini menyebabkan kritik yang konstruktif malah dilihat sebagai ancaman, sehingga pemecatan atau pengucilan dianggap sebagai solusi paling cepat dan mudah.Â
Akibatnya, pengkritik dipojokkan dan kehilangan dukungan, sementara pihak-pihak yang sebenarnya terlibat dalam penggelembungan suara terus menikmati keuntungan tanpa konsekuensi yang berarti.
Situasi ini menciptakan paradoks dalam politik modern, di mana kritik yang semestinya mendorong perubahan dan perbaikan justru menjadi bumerang bagi mereka yang berani bersuara. Mereka yang diuntungkan oleh penggelembungan suara tidak hanya mempertahankan kekuasaannya, tetapi juga menciptakan lingkungan di mana kebenaran dan transparansi dikesampingkan. Sebaliknya, mereka yang berupaya membongkar kebusukan dalam sistem politik malah dihukum, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dengan demikian, praktik penggelembungan suara dan narasi kritik yang ditekan menunjukkan adanya ketidakadilan sistemik, di mana keuntungan kekuasaan diperoleh dengan mengorbankan integritas politik dan demokrasi yang sehat. Pada akhirnya, yang diuntungkan adalah mereka yang berhasil menjaga kekuasaannya, sementara yang dikambinghitamkan adalah suara-suara yang berani menentang arus dan mempertanyakan moralitas di balik politik kotor.
Â
Perlu Reformasi Politik dan Perlindungan Kritik