ANTARA KEBENARAN DAN KETIDAKSENANGAN: KETIKA TEGURAN BAIK BERUJUNG PENGUSIRAN
*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao
Sebuah berita yang viral di media sosial terkait seorang guru Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Kalimantan Selatan bernama Amalia Wahyuni, menceritakan kisahnya saat menghadiri rapat bersama Kepala Dinas setempat. Menurut penuturannya, oknum Kepala Dinas itu merokok di ruangan ber-AC ketika rapat berlangsung. Dia mengaku sudah menegur sang Kepala Dinas, namun justru diusir ke luar ruangan. Peristiwa itu terjadi saat dirinya mengikuti kegiatan Rapat Koordinasi Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan SMK tahap II yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalsel.
Dikisahkan bahwa dalam acara tersebut, oknum Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Kadisdikbud) Kalsel itu hadir memberikan sambutan di depan para pejabat, panitia. Pihak panitia sudah memberikan atensi kepada peserta yang hadir untuk tertib saat kepala dinas datang. Namun dirinya justru tidak dihargai saat kepala dinas datang menggunakan sendal dan rokok ditangan. Baginya menganggap Kepala Dinas tidak memberikan cerminan sebagai publik figur.
Memahami Sebuah Teguran
Teguran adalah bagian penting dalam interaksi sosial yang sering kali berfungsi sebagai cermin bagi seseorang untuk melihat dan menyadari kekeliruan yang mungkin tidak disadarinya. Dalam banyak situasi, teguran berperan sebagai alat untuk memperbaiki perilaku, meningkatkan kualitas diri, dan mendorong seseorang menuju perubahan yang lebih baik. Dengan adanya teguran yang baik, seseorang memiliki kesempatan untuk mengevaluasi diri, belajar dari kesalahan, dan melakukan perbaikan yang konstruktif. Namun, meskipun bertujuan baik, teguran tidak selalu diterima dengan mudah. Kerap kali, teguran yang bermaksud untuk mengoreksi justru menimbulkan reaksi ketidaksenangan yang bisa berujung pada penolakan atau bahkan pengusiran. Fenomena ini mencerminkan betapa kompleksnya dinamika antara kebenaran yang ingin disampaikan dan reaksi emosi dari pihak yang menerimanya.
Teguran yang bermaksud baik sering kali tidak diterima dan justru berujung pada pengusiran karena berbagai faktor psikologis dan sosial yang memengaruhi respons individu terhadap kritik. Salah satu alasan utamanya adalah ego atau harga diri yang merasa terancam. Ketika seseorang ditegur, terutama di depan orang lain, mereka mungkin merasa dipermalukan atau direndahkan, meskipun teguran itu dimaksudkan untuk kebaikan mereka. Selain itu, ada ketidakmampuan menerima kritik secara konstruktif, terutama jika mereka merasa bahwa teguran tersebut meragukan kompetensi atau integritas mereka. Terkadang, kesalahpahaman terhadap niat pemberi teguran juga memicu reaksi negatif; penerima teguran mungkin menafsirkan teguran tersebut sebagai bentuk serangan pribadi atau penghinaan. Akibatnya, teguran yang dimaksudkan untuk memperbaiki justru memicu perasaan defensif yang kuat, yang pada akhirnya dapat menyebabkan tindakan ekstrem seperti pengusiran untuk menjaga otoritas atau kehormatan pihak yang merasa tersinggung.
Kebenaran dalam Teguran: Niat dan Tujuan
Kebenaran dalam teguran terletak pada niat tulus untuk memperbaiki dan mengarahkan seseorang menuju jalan yang lebih baik. Teguran yang diberikan dengan niat baik biasanya bertujuan untuk mengoreksi kesalahan, mencegah kebiasaan buruk, atau mengingatkan seseorang akan tanggung jawabnya. Misalnya, dalam konteks keluarga, teguran orang tua kepada anak bertujuan untuk membentuk karakter yang baik dan mengajarkan nilai-nilai moral. Di lingkungan sekolah atau pekerjaan, teguran guru atau atasan sering kali dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja, mengembangkan keterampilan, atau memperkuat etika profesional.
Di balik setiap teguran, terdapat harapan bahwa penerima akan menyadari kekeliruannya dan melakukan perubahan positif. Namun, meskipun niatnya baik, keberhasilan teguran sangat bergantung pada cara penyampaiannya dan penerimaan pihak yang ditegur. Ketika teguran disampaikan dengan penuh empati, menghargai martabat penerima, dan berlandaskan fakta yang jelas, kebenaran dalam teguran tersebut memiliki peluang lebih besar untuk diterima dan dipahami. Sebaliknya, jika tidak disertai pendekatan yang bijak, teguran yang benar sekalipun dapat dianggap sebagai ancaman atau kritik yang menyakitkan, sehingga tujuan utamanya tidak tercapai.
Ketidaksenangan terhadap Teguran: Alasan dan Reaksi
Ketidaksenangan terhadap teguran sering kali muncul dari berbagai alasan yang berakar pada aspek psikologis dan emosional. Salah satu alasan utamanya adalah perasaan tersinggung atau harga diri yang terluka; ketika seseorang menerima teguran, terutama yang disampaikan secara langsung atau di depan umum, mereka mungkin merasa dipermalukan atau diremehkan.
Selain itu, adanya ketidakmampuan menerima kritik atau kurangnya keterampilan untuk melihat kritik sebagai peluang perbaikan dapat membuat teguran terasa menyakitkan atau mengancam. Beberapa orang juga menafsirkan teguran sebagai serangan pribadi, bukannya nasihat yang konstruktif, karena cara penyampaian yang dianggap terlalu keras atau tidak empatik.
Reaksi terhadap teguran ini bisa sangat beragam, mulai dari defensif, menyangkal kesalahan, hingga merespons dengan marah atau memutuskan hubungan. Ketidaksenangan ini semakin diperparah jika teguran datang dari seseorang yang dipersepsikan memiliki otoritas lebih rendah, atau dari orang yang tidak dianggap memiliki hak untuk menegur.
Ketika Teguran Berujung pada Pengusiran
Ketika teguran berujung pada pengusiran, sering kali terjadi karena teguran tersebut memicu respons yang jauh lebih intens daripada yang diharapkan. Situasi ini biasanya terjadi ketika pihak yang menerima teguran merasa bahwa nasihat atau kritik yang diberikan tidak hanya mengancam harga diri mereka, tetapi juga posisi, status, atau kekuasaan yang mereka miliki. Misalnya, dalam lingkungan kerja, seorang karyawan yang menegur atasan mengenai suatu kebijakan yang kurang tepat dapat dianggap menantang otoritas, sehingga atasan tersebut merespons dengan mengambil tindakan tegas seperti pengusiran.
Hal serupa dapat terjadi dalam hubungan sosial lainnya, di mana teguran dianggap sebagai ancaman terhadap kewenangan atau kendali seseorang, menyebabkan mereka merasa perlu mengamankan posisinya dengan menyingkirkan pihak yang dianggap mengganggu. Pengusiran ini bisa menjadi cara untuk menghindari ketidaknyamanan lebih lanjut atau mencegah kritik serupa di masa depan.
Pada akhirnya, meskipun teguran tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki atau memperingatkan, keengganan untuk menerima kritik dan ketakutan terhadap perubahan sering kali membuat pihak yang ditegur mengambil tindakan drastis untuk melindungi diri, bahkan jika itu berarti menghilangkan mereka yang membawa kebenaran.
Refleksi: Antara Kebenaran dan Ketidaksenangan
Refleksi atas fenomena teguran yang berujung pada pengusiran mengungkapkan dilema mendasar antara menyampaikan kebenaran dan menghadapi ketidaksenangan. Di satu sisi, menyampaikan teguran adalah bentuk tanggung jawab moral yang bertujuan untuk memperbaiki dan mengarahkan, namun di sisi lain, tidak semua orang siap menerima kebenaran, terutama jika hal tersebut menyentuh harga diri atau kepentingan pribadi.
Dilema ini menunjukkan bahwa kebenaran, meskipun penting dan bernilai, sering kali tidak mudah diterima karena memerlukan kerendahan hati dan keterbukaan untuk diakui dan dipahami. Menghadapi kenyataan ini, penting bagi pemberi teguran untuk mempertimbangkan cara penyampaiannya dengan menggunakan pendekatan yang lebih empatik, berbasis dialog, dan menghargai pihak yang ditegur.
Bagi penerima teguran juga perlu belajar untuk menerima kritik dengan lapang dada, memahami bahwa kritik bukanlah ancaman, melainkan peluang untuk tumbuh. Dengan demikian, keseimbangan antara menyampaikan kebenaran dan mengelola ketidaksenangan menjadi kunci untuk mencapai tujuan bersama yang lebih konstruktif dan harmonis.
Sebagai penutup, pentingnya cara komunikasi yang bijaksana dan pemahaman bersama tidak dapat diabaikan agar kebaikan dalam teguran dapat diterima tanpa menimbulkan konflik. Teguran yang disampaikan dengan empati, rasa hormat, dan ketulusan memiliki peluang lebih besar untuk dipahami dan diterima dengan baik, sehingga tujuannya untuk memperbaiki dan mengarahkan dapat tercapai.
Di sisi lain, penerima teguran perlu memiliki sikap terbuka dan kesediaan untuk melihat kritik sebagai bagian dari proses pembelajaran. Dengan membangun komunikasi yang efektif dan saling memahami, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih harmonis, di mana kebenaran dapat disampaikan tanpa memicu ketidaksenangan yang berlebihan.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H