"Rabb, Boy sudah lama lulus dari jurusan-jurusan yang sesuai cita-citaku. Tapi belum pernah kerja di tempat itu. Tapi banyak halangannya Rabb, Boy tak tahu apakah jiwa ini masih mampu bangkit!" aku memiliki beberapa kakak kampus di jurusan sama yang sudah ku anggap teman. Ah, lucu juga mereka menemaniku 3 hari.
"Iya Ma, Boy masuk rumah sakit!!!" sedih Kak Jihan di telepon pada mamanya, kakak paling berpikir dewasa di antara kami dan yang paling... suka katak.
"Boy, you lama-lama Kakak bawa ke rumah nih!" lucu Kak Firhan.
"Apa sih Han, giliran unyu seperti Boy you perjuangkan ia sampai menginjak rumahmu. Itu tetangga rumah apa dong!"
Aku sembuh dari sakitku dan alhamdulillah lulus dengan IPK di atas rata-rata. Seminggu setelah itu aku dipanggil kerja sebagai pengurus hewan di klinik hewan dekat sekolah.
Dua tahun kemudian, aku memutuskan untuk tinggal sendiri di desa terpencil dan diterima di kampus unggulan. Ya, aku merasa jadi mahasiswa betulan di mata keluarga. Aku satu jurusan dengan Diana dan Akbar namun mereka sudah sibuk berkeluarga. Umurku kini 20 tahun, aku tak menyangka banyak rumah sakit yang menyepakati diriku harus ditempatkan dimana. Stetoskop, aku bahkan tak tahu apakah tiap tahun umurku sempat melaksanakan profesi menyelamatkan jiwa orang.
"Dik!" sapa dokter perempuan. Ia cantik, aku suka. Ia juga ramah dan tadi bersama adik yang umurnya 8 tahun, kata adiknya sendiri. "Nama kakak Fasha, kamu Ahmad Boy Sudirman? Pemimpin sudah lihat IPK mu, wow, spektakuler, alhamdulillah kamu diterima jadi dokter di rumah sakit yang diharapkan seluruh warga negara!" apa? Wah, aku mengagumi rumah sakit itu.
"Betul Kak Fasha, wah, terima kasih!" aku menandatangi kertas kerja.
"Gejala penyakit Ibu apa?" ya sekarang aku sering mengatakan itu dan stetoskopku terkabul di usia 20 tahun.
SELESAI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H