Oktober, tahun ini.
Mata bening itu berkabut.
Menerawang langit-langit ruangan, pindah menatap bulan purnama yang cahayanya berpendar-pendar. Bintang-bintang malam itu juga berlomba-lomba menghias langit, menambah meriah suasana malam. Amat bertolak belakang dengan suasana langit malam yang meriah beserta seluruh kerlip perhiasannya, mata gadis itu redup, sudah sejak tadi pemiliknya kehilangan cahaya dalam kedua manik matanya.
Sekarang hampir tengah malam. Beberapa menit lagi usianya genap 15 tahun. Berbeda dengan kebanyakan remaja putri lainnya yang selalu berdebar-debar penuh kegembiraan menghitung menit menuju hari jadi mereka, gadis itu justru membenci hari kelahirannya sendiri.
Alun-alun Tigaraksa dekat tempatnya tinggal sudah menembakkan petasan kembang api ke udara tepat tengah malam itu. Malam ini perayaan Hari Ulang Tahun Kabupaten Tangerang, bersamaan dengan hari lahirnya. Suara-suara petasan dengan pertunjukan indah di langit-langit malam seharusnya bisa menghapus sedih yang menggantung pada wajah gadis itu, seluruh Tangerang seperti merayakan hari ulang tahun bersamanya.
Tapi yang gadis itu rasakan hanya hampa.
Ia sendiri tidak mengerti mengapa rasa kehilangan itu bermetamorfosa menjadi trauma berkepanjangan. Kalau saja ia bisa menendang jauh-jauh satu saja tanggal itu dari kalender, dia berpikir mungkin dia bisa terlepas dari memori-memori lama itu, agar tidak ada lagi yang bisa diingatnya tentang kejadian sembilan tahun lalu.
Gadis itu sadar terlalu banyak berandai-andai. Dia berdiri dari duduk, menutup jendela kamarnya yang masih terbuka lebar, lalu menyeret langkah menuju tempat tidur. Tidak ada gunanya menunggu waktu yang seperti membeku. Gadis yang kini berusia 15 tahun itu hanya berharap, saat terbangun esok pagi, memori-memori lama itu terhapus tiba-tiba dari ingatannya, agar ia tidak perlu bersusah payah lagi mencoba berdamai dengan takdir. Itu harapannya tahun ini, agar menjadi hadiah ulang tahunnya.
***
Oktober, sembilan tahun lalu.
Keluarga kecil itu tidak terbiasa merayakan hari ulang tahun, lebih karena mereka keluarga religius yang tidak menganggap penting hal-hal seperti itu.
Tapi tahun ini, putri kecil mereka yang hampir berusia enam tahun meminta kue ulang tahun seperti teman-temannya sambil menangis tersedu-sedu. Jadilah malam ini, tepat sebelum usia gadis kecil itu enam tahun, keluarga kecil itu berjanji untuk memotong kue bersama, di ruang keluarga mereka setelah sang ayah pulang kerja.
Kue ulang tahun cantik berwarna merah muda itu sudah diletakkan sejak tadi di atas meja. Si empunya sudah tidak sabar menunggu sang ayang pulang ke rumah.
Waktu berjalan dengan sangat cepat.
Sudah pukul sepuluh malam. Seharusnya gadis kecil seusianya sudah tidur sejak satu jam yang lalu, tapi dia memaksakan diri menunggu ayahnya yang belum juga pulang. Dia masih tetap ngotot duduk di sofa ruang tamu, berjaga-jaga kalau ayahnya datang, ia ingin jadi yang pertama menyambut ayahnya.
“Adel, udah yuk, tidur dulu, sudah malam!” Ibunya merapat ke sofa, duduk di samping gadis kecil itu.
Si gadis kecil, Adel namanya, menggeleng kuat-kuat. Dia tidak ingin tidur, dia hanya ingin menunggu ayahnya yang tadi pagi berjanji akan pulang cepat untuk potong kue dan makan malam bersama. Gadis kecil berkuncir dua itu tidak peduli, dia bersikeras untuk menunggu.
Setengah jam berlalu lagi, kali ini hujan deras sudah turun, menjadi irama yang menemani gadis kecil yang terkantuk-kantuk itu. Sudah beberapa kali dia berlari ke kamar mandi untuk mencuci muka, mengusir kantuk yang sejak tadi mengganggu matanya.
Setengah jam berikutnya, gadis itu akhirnya menyerah dan tenggelam di alam mimpi, lupa dengan tujuan awalnya menunggu sang ayah. Dia tidak peduli lagi, paling-paling jika ayahnya datang, ayahnya akan membangunkan dan mereka bisa makan malam bersama meski tahu persis bahwa jam makan malam sudah jauh tertinggal di belakang.
***
Oktober, sembilan tahun lalu
Ibu gadis kecil itu tiba-tiba terbangun oleh dering telepon genggam, bergegas beres-beres setelah mengobrol dengan seseorang di seberang telepon. Telepon tadi bukan kabar baik, itu kabar buruk, buruk sekali malahan. Yang meneleponnya tadi adalah nomor suaminya, ibu muda itu bahkan sudah hendak marah-marah pada sang suami karena belum pulang dan tidak ada kabar sampai selarut itu, anak mereka sudah menunggu-nunggu sejak tadi, menagih janjinya.
Tapi ibu muda itu tiba-tiba membeku karena yang berbicara di seberang telepon adalah suara bapak-bapak lain yang mengabarkan bahwa pemilik telepon genggam baru saja mengalami kecelakaan parah di Jalan Raya Serang, segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Bagai ada petir besar yang menyambar kepala ibu itu, ia tiba-tiba menangis, menuju ruang tamu tempat anaknya tidur pulas, langsung digendong dan dibawa serta menuju rumah sakit.
Gadis kecil dalam pelukan wanita muda itu membuka mata saat mereka tiba di rumah sakit. Adel melihat ibunya sudah berurai air mata.
“Bu, kok nangis?” Gadis kecil itu mendongak. Sang ibu cepat-cepat mengusap matanya yang sembab, menjelaskan beberapa hal, mengajak Adel berdoa. Gadis kecil itu tetap tidak bisa tenang. Walaupun dia tidak sepenuhnya mengerti di usia itu, dia tahu bahwa malam ini tidak ada makan malam, tidak ada kue ulang tahun yang akan dipotong bersama dengan ayah tercinta.
Tapi kabar buruk belum berakhir di situ. Beberapa saat setelahnya, ibu muda itu dikabarkan bahwa suaminya tidak bisa diselamatkan, lukanya terlalu parah, suaminya baru saja meregang nyawa. Sudah genap kesedihan itu, sudah genap kabar buruk ini.
Usia Adelia baru enam tahun saat takdir mengambil ayahnya begitu cepat.
***
Oktober, tahun ini.
Gadis lima belas tahun itu terbangun lagi oleh mimpi buruk yang selalu menghampirinya setiap malam selama sembilan tahun belakangan.
Tahun itu, sembilan tahun lalu adalah satu-satunya ulang tahun yang dirayakan –meski berakhir buruk, dan selamanya akan menjadi kenangan buruk.
Gadis itu mendekap kedua kakinya dalam pelukan. Penyesalan selalu terselip dalam malam-malam pada hari kelahirannya. Kalau saja dia hari itu tidak merengek minta ulang tahunnya dirayakan, ayahnya tidak perlu terburu-buru pulang ke rumah dan mengalamai kecelakaan itu. Ayahnya mungkin masih ada di sini bersama mereka.
Cahaya lampu tembak dan petasan kembang api yang indah masih menghiasi langit, berasal dari alun-alun Tigaraksa tempat festival Ulang Tahun Tangerang dilaksanakan.
Hati gadis itu semakin hampa.
Gadis remaja itu larut dalam tangisan.
Perlahan, isak kecilnya berubah menjadi sedu sedan.
___
Bionarasi
Halo, Saya Salma Rihhadatul Aisy, mahasiswa sastra sekaligus penulis pemula. Cerpen saya sudah diterbitkan beberapa kali di antologi cerpen dan beberapa platform menulis. Sekarang, saya berdomisili di Tangerang. Temui saya pada akun instagram @meisalma_
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI