Lapar.
 Gadis dua puluh tahunan itu meringis, menahan perih yang menggerogoti perut. Satu tangannya menekan perut dengan kencang, berharap tekanan yang ia bebankan ke titik itu bisa mengurangi sedikit saja rasa lapar. Tangan lainnya membolak-balik halaman buku, dia harus segera menyelesaikan tugas-tugasnya.
 Aku ingin tidur..
 Genangan air memenuhi matanya, dia yakin sedikit saja berkedip, air mata yang sudah ditahan sejak tadi siap meluncur deras. Gadis itu tidak mengantuk, tapi ingin sekali tidur. Baginya, tidur adalah salah satu cara menahan lapar paling mudah, berkelana di dunia mimpi. Siapa tahu, di mimpinya nanti dia akan disuguhkan makanan-makanan enak yang langka bagi anak perantauan seperti dirinya.
 Gadis itu tidak fokus.Â
 Dia tidak bisa lagi mengerjakan tugas yang masih menumpuk. Ini minggu-minggu genting menjelang ujian, tugas-tugas kian banyak dan harus segera diselesaikan. Tapi tidak bisa. Untuk fokus, gadis itu perlu energi sedikit lebih banyak dan perut yang terisi cukup, tidak kelaparan seperti saat ini.
 Bahan makananpersediaannya sudah habis. Beras yang dibawa dari rumah sejak terkhir kali dia pulang sudah tak bersisa, terakhir kemarin, tersisa satu gelas untuk seharian. Uangnya juga menipis, hanya cukup untuk mencetak tugas yang harus dikumpulkan besok. Kalau hari ini uangnya dipakai untuk membeli makan, dia tidak bisa mengumpulkan tugas tepat waktu esok hari.
 Tadi pagi, gadis muda itu sudah menelpon ibunya untuk minta dikirim uang sedikit saja, untuk makan hari ini. Esok hari, dia akan memikirkannya lagi, antara mengambil kerja sambilan sepulang kuliah, atau membantu temannya mengerjakan tugas untuk mendapatkan upah. Tapi hari ini gadis itu buntu sekali. Dia sudah seharian belajar di kampus hingga sore, pulang ke tempat kos, langsung mengerjakan tugas yang tenggat waktu pengumpulannya hanya hingga besok.
 Ibunya di seberang telepon tadi hanya bisa terdiam beberapa detik.
 Gadis itu sudah tahu, diam berarti kabar buruk.