Seorang gadis yang duduk di gerbong wanita KRL Tanah Abang--Rangkasbitung baru saja bersiap memasang headphone di kepalanya ketika tepukan ibu-ibu paruh baya menyapa bahu kanannya pelan.Â
"Boleh duduk di sini saya?" Si ibu menunjuk ruang sempit di sebelah kanan si gadis yang tampak tak muat diduduki seorang lagi. Gadis tersebut kemudian refleks bergeser dan  mempersilakan ibu-ibu paruh baya tersebut duduk di sampingnya.
"Habis dari mana, Neng? kuliah ya?" Pertanyaan si ibu menginterupsi gerakan tangan si gadis yang hendak memasang headphone-nya kembali.Â
Sambil tersenyum canggung, si gadis mengangguk.
"Kuliah di mana? Jurusan apa?"Â
Waduh, gadis secara instan langsung paham bahwa pembicaraan ini tidak akan berhenti hingga sepuluh hingga lima belas menit kemudian. Â
***
Dan gadis mahasiswi itu adalah saya.Â
Pukul dua siang itu, seperti biasa, saya menempuh perjalanan pulang dari kampus di Depok menuju rumah yang ada di Tigaraksa, Tangerang, menggunakan KRL Commuter Line, satu-satunya sarana transportasi umum terhemat dan efisien yang saya temukan untuk rutin pulan-pergi ke kampus.Â
Semua manusia pengguna KRL tentu sudah sama-sama tahu bahwa di jam-jam sibuk pagi dan sore hari, KRL pasti selalu penuh dengan manusia yang sama-sama struggle dengan tujuan masing-masing. Drama berebut tempat duduk, anak kecil menangis, hingga orang pura-pura tertidur ketika diminta untuk bergantian tempat duduk dengan penumpang yang lebih membutuhkan adalah episode-episode berulang yang tak akan ada habisnya. Saya sudah sangat maklum, hampir dua tahun selalu pulang-pergi tiga kali seminggu ke kampus dengan KRL membuat saya tidak lagi tertarik menyimak perdramaan tersebut.Â
Tetapi siang itu berbeda sebab drama KRL tiba kepada saya.
Cuaca yang panas dan otak yang sudah ngebul karena ditanya macam-macam saat presentasi di kelas tadi membuat saya merasa lebih lelah berkali-kali lipat. Perjalanan dari stasiun terdekat dengan kampus ke St. Manggarai --untuk kemudian transit menuju St. Tanah Abang-- yang tidak memberi kesempatan saya untuk duduk membuat rasa lelah itu makin bertambah. Beruntungnya, di KRL rute Tanah Abang--Rangkasbitung, saya berhasil mendapat duduk setelah melalui drama kejar-kejaran dengan sesama penumpang lain di tangga stasiun.Â
Saya lelah, saya harus dapat tempat duduk. Hanya itu yang ada di pikiran saya sebab perjalanan dari Tanah Abang ke Daru --stasiun terdekat dengan rumah-- memakan waktu hingga tujuh puluh menit, bisa pingsan saya kalau tidak segera duduk.Â
Di saat itulah kemudian, ketika saya bersiap memasang headphone untuk mendengar beberapa lagu di playlist favorit, seorang ibu paruh baya dengan anak perempuannya yang menggunakan seragam SMP putih biru meminta saat untuk geser sedikit agar beliau bisa duduk di sisi kanan saya. Beruntung si ibu tidak meminta saya  berdiri sebab anaknya bersikeras untuk berdiri saja di depan kami.Â
"Habis dari mana, Neng? Kuliah ya?" Pertanyaan basic yang biasa digunakan untuk basa-basi, tentu saja.Â
Saya hanya mengangguk sambil tersenyum dan berniat memasang headphone saya kembali sebelum pertanyaan berikutnya meluncur dari bibir si ibu.Â
"Kuliah di mana, jurusan apa?" Pertanyaan berikutnya.
Saya berpikir sebentar untuk menjawab.
"Kebetulan di Universitas Indonesia, Bu.. Jurusan--" Belum sempat menjawab lengkap, ibu-ibu tersebut menepuk pundak saya dengan heboh sambil memuji.Â
"Keren Nengnya lolos di UI, jurusan apa?" Ibu itu bertanya kembali.Â
"Ah, Kebetulan Sasta Indonesia, Bu.." Jawab saya jujur.Â
Raut wajah si ibu kemudian sedikit kehilangan minat. Sambil menunjuk anaknya yang berdiri di depan kami, si ibu mulai bercerita.Â
"Anak saya yang ini juga mau kuliah bahasa Indonesia di UI soalnya dia suka buat cerita" Katanya.
Dapat dipahami. Jurusan sastra memang seringkali dikaitkan dengan kemampuan membuat cerita. Saya maklum sambil tersenyum canggung melihat si anak yang tampak tidak nyaman dengan sang ibu yang menunjuknya.
"Tapi gak boleh sama kakaknya, kata kakaknya, mau jadi apa kuliah Sastra Indonesia?" Si Ibu kembali bercerita.Â
Duh, Bu, harus banget bilang kayak gitu di depan mahasiswi Sastra Indonesia?
Saya tertawa hambar sambil melirik ke si anak yang terlihat makin tidak nyaman dengan ibunya yang bercerita dengan suara cukup kencang.Â
"Kakak dia nih lagi skripsian, di Universitas Andalas, Jurusan Fisika. Kata kakaknya, kalau kuliah tuh jurusan yang IPA-IPA aja, atau akuntansi, manajemen, teknik, biar cepet dapet kerja." Ibu paruh baya itu kembali menambahkan.Â
Saya cuman cengar-cengir canggung sambil bilang, "Ah, prospek kerja anak sastra juga luas kok, Bu."Â
Si ibu hendak membuka suaranya kembali ketika anaknya yang berdiri di depan kami menginterupsi,Â
"Mama ih, malu, ah..." Katanya. Saya hanya tertawa kecil menanggapi.Â
Terima kasih kepada si adik karena interupsi pada sang mama memberikan kesempatan kepada saya untuk memasang headphone dan memutar lagu keras-keras di telinga.Â
Saya tahu tentang stereotip yang direkatkan kepada jurusan sastra sebab teman-teman saya sebelumnya pun sering menanggapi "Oh, pantas saja lulus" ketika kabar tentang saya lolos di UI --tapi jurusan Sastra Indonesia-- menyebar saat hari pengumuman SBMPTN dua tahun lalu. Hal ini menjadi pengalaman yang menyebalkan sekaligus tak terlupakan sebab yang mengatakan hal tersebut kemudian adalah stranger yang saya temui di kendaraan umum, tidak kenal saya, dan di kondisi pikiran lelah sebab sebelumnya dibabat habis-habisan di kelas linguistik yang bikin pusing. Saya jadi sakit hati sedikit .Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H