Mohon tunggu...
Salma Putri Rany
Salma Putri Rany Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Tetaplah hidup walaupun cobaannya awikwok:)

Selanjutnya

Tutup

Book

Review Buku Hukum Kewarisan Islam

17 Maret 2023   10:11 Diperbarui: 17 Maret 2023   10:38 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada Bab II, penulis menyampaikan lima poin pembahasan mengenai Dasar Hukum Waris Islam dan Asas-asas nya yaitu tentang Al-Qur'an, Sunnah Rosul, Ijtihad, Asas-asas Hukum Waris, dan Prinsip hukum waris islam. Pada Al-Qur'an terdapat sebagian sumber hukum waris yang menjelaskan tentang ketentuan ketentuan fard tiap ahli waris yaitu sebagai berikut : menyangkut tanggung jawab orang tua dan anak terdapat dalam Q.S Al-Baqarah ayat 333, menyangkut harta pusaka dan pewarisnya terdapat dalam Q.S An-Nisa ayat 33, Q.S Al-Anfal ayat 75, dan Q.S Al-Ahzab ayat 6, menyangkut aturan pembagian harta warisan terdapat dalam Q.S An-nisa ayat 7, 14, 34, dan 176, dan Ayat-ayat yang memberikan penjelasan tambahan mengenai waris berisi pengertian pembantu. Pada Sunnah juga menyebutkan ketentuan mengenai waris meskipun dalam Al-Qur'an telah dijelaskan secara rinci, diantaranya sebagai berikut : cara untuk mengadakan pembagian warisan, warisan seorang budal, pewaris yang tidak meninggalkan ahli waris, orang yang berbeda agama tidak saling waris mewarisi, pembunuh pewaris tidak menjadi ahli waris, bagian anak perempuan, cucu perempuan dan saudara perempuan, bagian nenek dari cucu yang tidak punya ibu, hak seorang bayi sama dengan orang dewasa, tentang waktu untuk menetapkan, tentang anak zina dan anak li'an, dan tentang ashabah. Adapun mengenai Asas-asas hukum waris islam yaitu asas ijbari, asas bilateral, individual, keadilan berimbang, prinsip bilateral, dan akibat kematian. Selain itu juga hukum waris Islam mempunyai prinsip yaitu sebagai berikut : hukum waris Islam memberi kebebasan penuh kepada seseorang untuk memindahkan harta peninggalannya dengan jalan wasiat kepada orang yang dikehendaki, warisan adalah ketetapan hukum, warisan terbatas dalam lingkungan keluarga, waris Islam cenderung untuk membagikan harta warisan kepada sebanyak mungkin ahli waris, hukum waris tidak membedakan hak seorang anak atas harta warudan, dan hukum waris Islam membedakan besar kecilnya bagian tertentu ahli waris diselaraskan dengan kebutuhannya dalam hidup sehari-hari.

Pada Bab III, penulis menyampaikan tiga poin pembahasan mengenai Sebab-sebab Waris Mewaris yaitu tentang Sebab-sebab waris mewaris, syarat-syarat warisan dan sebab-sebab seseorang tidak mendapatkan warisan. Didalam buku ini menyebutkan empat penyebab suatu waris terjadi yakni perkawinan, kekerabatan/nasab, wala' (memerdekakan budak) dan hubungan sesama islam. Dalam hubungan kekerabatan/nasab digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu furu' yang berarti anak turun (cabang) dari si mati, ushul yang berarti leluhur (pokok/asal) yang menyebabkan adanya si mati dan hawasyi yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si meninggal dunia melalui garis menyamping seperti paman, bibi, saudara, dana anak keturunan tidak membedakan laki-laki atau perempuan. Berlakunya hak waris juga atas dasar hubungan perkawinan dengan artian suami menjadi ahli waris bagi istrinya yang meninggal dan istri juga menjadi ahli waris bagi suami yang meninggal, dalam buku ini juga disebutkan timbulnya hubungan waris antara suami dan istri berdasarkan atas dua syarat yaitu : perkawinan itu sah menurut syariat islam dan perkawinannya masih utuh. Hubungan wala' terjadi disebabkan oleh udahah seorang pemilik budak yang dengan sukarela memerdekakan budaknya. Dan yang terakhir hubungan sesama islam terjadi apabila seseorang yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris, maka harta warisannya itu diserahkan kepada perbendaharaan umum atau disebut Baitul Maal yang akan digunakan oleh umat Islam. 

Didalam hukum waris islam juga terdapat syarat-syarat mewarisi yang erat kaitannya dengan sebab-sebab seseorang dapat saling mewarisi, yakni sebagai berikut : hubungan kekeluargaan, hubungan perkawinan, hubungan agama (sesama muslim), dan hubungan wala' (sebab memerdekakan budak). Selain itu dalam buku ini juga mengambil referensi dari Mardani dalam bukunya Hukum Waris Islam yang menyebutkan ada syarat khusu lain yang harus dipenuhi agar berhak mendapat warisan secara hukum, seperti : Orang yang mewariskan sudah meninggal dunia, Orang yang menerima warisan (ahli waris) masih hidup pada saat kematian muwaris, Tidak ada penghalang untuk mendapatkan warisan, dan Tidak terhijab atau tertutup secara penuh oleh ahli waris yang lebih dekat. Adapun sebab-sebab seseorang tidak mendapatkan warisan, disebabkan oleh dua hal, yakni : halangan waris dan karena adanya beberapa kelompok yang menjadi penghalang waris ( hijab dan mahjub). Hal-hal yang dapat menyebabkan ahli waris kehilangan hak mewarisi atau terhalang mewarisi adalah pembunuhan, perbedaan agama, perbudakan dan berlainan negara. sebab seseorang tidak mendapatkan warisan yang kedua yaitu karena adanya beberapa kelompok yang menjadi penghalang waris ( hijab dan mahjub). hijab adalah terhalangnya seseorang dari sebagian atau semua harta warisannya karena adanya ahli waris lain, sedangkan mahjub adalah ahli waris yang ditutup hak pusaka nya karena terdapat ahli waris yang lebih utama. Hijab sendiri dibedakan menjadi dua macam yaitu : hijab hirman, yang berarti tertutupnua (hilangnya) hal seorang ahli waris untuk seluruhnya, karena ada ahli waris yang lebih utama daripadanya seperti saudara orang yang meninggal dunia terhijab (tertutup/terhalang) haknya jika yang meninggal dunia itu meninggalkan anak atau cucu dan hijab nuqshan yaitu bergesernya hak seorang ahli waris bagian yang besar menjadi bagian yang kecil, karena adanya ahli waris lain yang mempengaruhinya. 

Pada Bab IV, penulis menyampaikan ua poin pembahasan mengenai Harta Peninggalan, yaitu tentang Pengertian Harta Peninggalan dan Hak-hak yang Terkait dengan Harta Peninggalan. Secara istilah Harta Peninggalan (tirkah) aalah seluruh yang ditinggalkan mayit berupa hartaa dan hak-hak yang tetap scara mutlak. Tirkah juga mencakup empat hal yaitu : Kebendaan, berupa benda-benda bergerak dan benda-benda tetap, Hak-hak yang mempunyai nilai kebendaan, Beberapa tindakan yang dilakukan oleh si mayit saat masih hidup, dan Diyat (denda) yang dibayarkan oleh pembunuh yang melakukan pembunuhan karena khilaf. 

Kewajiban ahli waris adalah terlebih dahulu menyelesaikan urusan si pewaris terhaap orang lain sebelum harta warisan dibagi diantara para ahli waris. Dalam buku ini juga menjelaskan urutan pihak-pihak yang mempunyai hak atas harta peninggalan pewaris, diantaranya : hajk-hak yang menyangkut kepentingan mayit sendiri yaitu untuk biaya pengurusan jenazah (tajhizul mayyit wa takfinuhu), hak-hak yang menyangkut kepentingan para kreditur atau untuk membayar hutang pewaris (qadlau at-tanwin), hak-hak yang menyangkut kepentingan orang yang menerima wasiat atau untuk memenuhi wasiatnya pewaris ( tanfidzul washiyat), hak nya para ahli waris (haqqul warotsah).

Pada Bab V, penulis menyampaikan sepuluh pembahasan mengenai Wasiat, yaitu Pengertian Wasiat, Dasar hukum wasiat, Hukum melakukan wasiat, Rukun dan Syarat wasiat, Batalnya wasiat, Pencabutan wasiat, Wasiat dalam keaaan tertutup, Ketentuan teknis pelaksanaan wasiat, Larangan wasiat, dan Wasiat wajibah bagi anak angkat. Dalam buku ini ulama fikih menefinisikan waasiat dengan "penyerahan harta secara sukarela dari seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang, ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat mati". Hanafi mendefinisikan wasiat dengan pesan seseorang untuk menyisihkan sebagian harta bendanya untuk orang yang ditentukannya dan pelaksanaannya terjadi sesudah ia meninggal dunia. Pendapat Imam syafi'i mengatakan bahwa wasiat tidak boleh untuk ahli waris, karena turunnya ayat-ayat kewarisan yang berarti tidak boleh merugikan hak-hak ahli waris, Menurut Ibn Qudamah, pengikut mazhab Hanbali, menyatakan membolehkan adanya wasiat kepada ahli waris apabila dikehendaki. Sedangkan menurut Imam Malik, wasiat boleh dilaksanakan bila disetujui oleh ahli waris. Definisi wasiat dalam hukum perdata barat, adalah berupa hibah yang tidak dibatasi berapa besarnya , sedangkan dalam hukum islam besarnya wasiat paling banyak hanya 1/3 (sepertiga) harta peninggalan. Adapun dasar yang kuat dalam syariat islam yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah. Ayat-ayat tentang perintah untuk memberikan wasiat dan yang berhubungan wasiat terdapat dalam Q.S. al-Baqarah : 180-181, dan Q.S. an-Nisa : 11-12. Selain itu, ada perbedaan pendapat tentang hukum melakukan wasiat, sebagai berikut : 1. Menurut Az-zuhri dan Abu Mijlaz, bahwa wasiat itu hukumnya wajib bagi setiap muslim yang akan meninggal dunia dan dia meninggalkan harta, baik jumlahnya banyak atau sedikit. 2. Imam Takiyuddin Abi Bakar bin Muhammad al-Husain berpendapat bahwa pada awal-awal islam datang. 3. Menurut Ibnu Hazm, bahwa berwasiat itu hukumnya fardlu 'ain berdasarkan Q.S an-Nisa ayat 11. 4. Menurut Abu Daud, Masruq, Thawus, Uyas, Qatadah, dan Ibnu Jabir, bahwa wasiat itu hukumnya wajib dilaksanakan kepada orang tua dan kerabat-kerabat yang karena satu atau beberapa sebab tidak mendapatkan warisan. Menurut Jumhur Ulama dan Fiqaha Syicah Zaidiyah, bahwa berwasiat kepada orang tua dan karib kerabat tidak termasuk fardlu 'ain dan wajib. Dalam wasiat juga mempunyai rukun dan syarat. Mazhab Hanafi menyatakan bahwa rukun wasiat hanya satu, yaitu ijab (pernyataan pemberian wasiat dari pemilik harta yang akan wafat). Rukun wasiat terdiri atas : Orang yang mewasiatkan (mushi), Orang yang menerima wasiat (musha lah), Harta yang diwasiatkan (musha bih) dan, Lafal ijab dan qabul (shighat). Sesuai dengan rukun wasiat tersebut, maka adapun syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan wasiat, yaitu : Orang yang berwasiat merupakan pemilik sempurna terhadap harta yang diwariskan Orang yang berwasiat haruslah orang yang cakap bertindak hukum (mumayiz), merdeka, berakal (tidak gila), adil, dan tidak dipaksa orang lain. Lalu syarat yang harus dipenuhi oleh si penerima wasiat adalah : penerima wasiat adalah orang yang ditunjukkan secara khusus bahwa ia berhak menerima wasiat, Penerima wasita mesti jelas identitasnya sehingga wasiat dapat diberikan kepadanya, Penerima wasiat tidak berada di daerah musuh (dar al-harb), Penerima wasiat bukan orang yang membunuh pemberi wasiat jika yang disebut akhir ini wafatnya karena terbunuh, Penerima wasiat bukan kafir harbi (kafir yang memusuhi Islam), wasiat tidak dimaksudkan untuk sesuatu yang merugikan umat Islam atau sesuatu maksiat, dan penerima wasiat bukan ahli waris. Adapun harta yang diwasiatkan juga harus memenuhi persyaratan, sebagai berikut yang dikemukakan oleh ulama fikih : Harta atau benda yang diwasiatkan adalah sesuatu yang bernilai harta secara syara' (al-mutaqawimah), Harta yang diwasiatkan adalah sesuatu yang bisa dijadikan milik, baik berupa materi ataupun manfaat, Harta yang diwasiatkan adalah milik mushi (pewasiat) ketika berlangsungnya wasiat, dan Harta yang diwasiatkan itu tidak melebihi 1/3 (sepertiga) harta mushi (pewasiat) kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya. Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam hal-hal yang disepakati dapat membatalkan wasiat, sebagai berikut : Dari aspek pewasiat (mushi), Dari aspek penerima wasiat, Dari aspek harta yang diwasiatkan dan Syarat yang ditentukan dalam akad wasiat tidak terpenuhi.

Dalam buku ini menjelaskan pencabutan wasiat yang telah diatur dalam pasal 199 Kompilasi Hukum Islam, yaitu : Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan persetujuannya atau sudah menyatakan persetujuannya tetapi kemudian menarik kembali, Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akta notaris bila wasiat terdahulu dibuat secara lisan, Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengan cara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akta notaries, dan Bila wasiat dibuat berdasarkan akta notaris maka hanya dapat dicabut berdasarkan akta notaris. Dalam hal ini wasiat juga dapat dilakukan dengan keadaan tertutup, ketentuannya sebagai berikut : Apabila surat wasiat dalan keadaan tertutup, maka penyimpanannya di tempat notaris yang membuatnya atau ditempat lain, termasuk surat-surat yang ada hubungannya, dan Bilamana suatu surat wasiat dicabut sesuai dengan pasal 199 maka surat wasiat yang telah dicabut itu diserahkan kembali kepada pewaris. Adapun Beberapa ketentuan teknis wasiat sebagai berikut : 1. Jika pewasiat meninggal dunia, maka surat wasiat yang tertutup dan disimpan pada notaris, dibuka olehnya di hadapan ahli waris, disaksikan dua orang saksi dan dengan meinbuat berita acara pembukaan surat wasiat itu, 2. Jika surat yang terturup disimpan bukan pada notaries maka penyimpan harus menyerahkan kepada notaris setempat atau Kantor Urusan Agama setempat, dan selanjutnya Notaris atau Kantor Urusan Agama tersebut membuka sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) pasal ini, 3. Setelah semua isi serta maksud surat wasiat itu diketahui maka oleh Notaris atau Kantor Urusan Agama diserahkan kepada penerima wasiat guna penyelesaian selanjutnya. Dalam Kompilasi Hukum Islam juga mengatur larangan wasiat, yaitu sebagai berikut : 1. Wasiat tidak dibolehkan bagi orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seorang dan kepada orang yang memberi tuntutan kerohanian sewaktu ia menderita sakit hingga meninggalnya kecuali ditentukan secara tegas dan jelas untuk membalas jasanya, 2. Wasiat tidak berlaku bagi notaris dan saksi-saksi akta tersebut. Tanpa pengecualian larangan wasiat juga kepada notaris dan para saksi pembuat akta wasiat. Wasiat wajibah bagi anak angkat, dibuku ini pengertian wasiat wajibah tersebut adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa, atau memberi putusan wajib bagi orang yang telah meninggal, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu pula. Dalam pasa 209 Kompilasi Hukum Islam mengatur ketentuan wasiat wajibah selain untuk ahli waris pengganti juga berlaku untuk orang tua angkat dan anak angkat. Mengenai wasiat wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan pasal 209, sebagai berikut : a. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal 176 sampai dengan pasal 193 tersebut diatas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya, b. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya. 

Pada Bab VI, penulis menyampaikan tujuh poin pembahasan mengenai Pembagian Harta Warisan, yaitu Tata cara perhitungan warisan, Masalah 'aul, Masalah Raad, Pembagian masalah akdariyah, Masalah takharruj, masalah munasakhah, dan Koreksi asal masalah. Dalam buku ini penulis menjelaskan sistem perhitungan harta warisan ada dua, yaitu dengan sistem menghitung masalah dan sistem perbandingan. Dalam sistem asal masalah, angka masalah tersebut diambil dari angka terkecil yang dapat dibagi penyebut pada bagian yang diterima ahli waris. akar masalah dalam faraidh ada tujuh macam, yaitu : masalah dua, masalah tiga, masalah empat, masalah enam, masalah delapan, masalah dua belas, dan masalah dua puluh empat. Sedangkan dalam sistem perbandingan, suatu sistem yang memperbandingkan seluruh bagian ahli waris satu sama lain. Adapun cara penyelesaiannya, yaitu sebagai berikut : a. Hendaklah diketahui bagian masing-masing ahli waris, kemudian bagian-bagian yang berupa angka pecahan dibandingkan satu sama lain menjadi angka yang yuh, b. Angka perbandingan yang sudah utuh, pada hakikatnya adalah bagian masing-masing, dijumlahkan, c. Dicari satu bagian, yaitu dengan membagi harta peninggalan dengan jumlah bagian para ahli waris, d. Akhirnya besarnya bagian masing-masing ahli waris dikalikan dengan nilai satu bagian. Dalam buku ini menjelaskan tentang Masalah 'aul yang secara istilah adalah bertambahnya jumlah ashhabul Furudh yang menyebabkan gak waris berkurang. Jika hal ini terjadi, maka yang dilakukan dalam pembagian waris adalah menambah asal masalah. Sedangkan Masalah Raad ini kebalikan dari 'aul, yaitu mengembalikan sisa harta warisan setelah adanya pembagian tetap kepada ashhabul furudh secara proporsional apabila tidak ada ashabah. Raad tersebut tidak mungkin terjadi dalam suatu keadaan, kecuali terwujud tiga syarat yaitu : 1. adanya ashhabul furudh, 2. tidak adanya ashabah, dan 3. adanya sisa harta waris. Raad terjadi dan melibatkan semua ashhabul furudh, kecuali suami dan istri. Selanjutnya yaitu pembagian masalah akdariyah, masalah ini disebut masalah akdariyah karena berasal dari jawaban atas pertanyaan orang dari Ban Akdar. Adapun pembagian harta warisan kepada ahli waris masalah akdariyah, yaitu terdiri dari suami, ibu, saudara kandung/tunggal seayah, dan kakek. Adapun masalah takharruj, adalah apabila para ahli waris mengadakan perdamaian dengan jalan mengeluarkan sebagian ahli waris dari haknya atas bagian warisan dengan imbalan menerima sejumlah harta tertentu, dari harta warisan atau harta lain, maka hal tersebut disebut takharruj atau tashaluh. masalah ini terjadi jika salah seorang ahli waris umpamanya mengadakan persetujuan damaun dengan ahli waris lain, bahwa bagiannya diserahkan kepada ahli waris lain dengan ketentuan bahwa dia cukup menerima sejumlah uang dari waris yang bersangkutan. Dalam buku ini dijelaskan masalah munasakhah menurut As-Sayyid Asy-Syarif munasakhah adalah memindahkan bagian demi bagian ahli waris kepada orang yang mewarisinya akibat kematian sebelum dilakukan pembagian harta peninggalan dilaksanakan. Ada tiga keadaan dalam masalah munasakhah, yaitu : ahli waris kedua terdiri dari atas ahli waris yang pertama, ahli waris kedua terdiri dari para ahli waris pertama tetapi ada beberapa perbedaan kedudukannya dengan ahli waris pertama, dan para ahli waris kedua bukan termasuk ahli waris yang pertama atau sebagian mereka terdiri atas orang yang mewarisi dari jihad, baik jihad pewaris pertama maupun kedua. Adapun cara melakukan koreksi asal masalah ialah dengan memperhatikan angka bagian dari jumlah kepala yang akan menerimanya. 

Pada Bab VII, penulis menyampaikan dua poin pembahasan mengenai Ashabah, yaitu Pengertian ashabah, dan Macam-macam ashabah. Disini dijelaskan definisi ashabah menurut ahli faroidh yaitu setiap orang yang mendapat seluruh harta jika berada sendiri dan mendapat sisanya setelah ashabul furudh mendapat bagian mereka yang telah ditentukan. Didalam pembagian sisa harta warisan, ahli waris yang terdekatlah yang lebih dulu menerimanya. Macam-macam ashabah juga terbagi menjadi dua yaitu : ashabah bin nafsi, ashabah bil ghair dan ashabah ma'al ghair. Ashabah bin nafsi adalah ahli waris yang karena kedudukan dirinya sendiri berhala menerima bagian ashabah. ashabah bin nafsi mempunyai empat arah dan derajat kekuatan hak warisnya sesuai urutannya. Adapun para ashabah bin nafs lebih dari satu orang, maka ada cara penarjihnya yaitu : 1. penarjuhan dari segi arah, 2. penarjihan secara sederajat, 3. penarjihan menurut kuatnya kekerabatan. Macam ashabah yang kedua yaitu : ashabah bil ghair adalah ahli waris yang menerima bagian dari sisa karena bersama-sama dengan ahli waris yang telah menerima bagian sisa apabila ahli waris penerima sisa tidak ada maka ia tetap menerima bagian tertentu. Ada juga syarat-syarat ashabah bil ghair : 1. Perempuan tersebut tergolong ahli waris ashabul furudh (mempunyai bagian tetap), 2. Antara perempuan yang mempunyai bagian tetap (ashabul furudh) dengan orang yang meng-ashabah-jan (muashibnya) memiliki tingkatan dalam (jihat) garis yang sama, 3. Orang yang meng-ashabah-kan (muashib) harus sama derajatnya dengan perempuan yang mempunyai bagian tetap (ashabul furudh), 4. Adanya persamaan kekuatan kerabat antara perempuan ashabul furudh dengan muashibnya. Yang terakhir, Ashabah ma'al ghair adalah ahli waris yang menerima bagian ashabah karena bersama ahli waris lain yang bukan penerima bagian ashabah. Yang menjadi ashabah ma'al ghair adalah saudara perempuan seibu sebapak karena mewaris bersama dengan anak perempuan, cucu perempuan, cicit perempuan, dan seterusnya.

Pada Bab VIII, penulis menyampaikan dua poin pembahasan mengenai Dzawil Furudh, yaitu Pengertian Fardhu dan Ashhabul furudh dan Hak-hak atau Bagian ahli waris Dzawil Furudh. Dalam buku ini menjelaskan pengertian Fardhu dan Ashhabul furudh, Fardhu sendiri merupakan bentuk mufrod (tunggal) dari furudh, atau juga diartikan bagian yang sudah ditentukan jumlahnya untuk waris dari harta peninggalan, baik dengan nash ataupun dengan jalan ijma'. Ahli waris sendiri dikelompokkan menjadi tiga yaitu : ahli waris sababiyah (karena perkawinan), ahli waris nasabiyah (qarabah, hubungan nasab), dan ahli waris wala' (pembebasan hamba sahaya). Ahli waris nasabiyah juga tersusun sebagai berikut : Furu'ul mayyit, Ushulul mayyit, Hawasyil mayyit, dan Dzawil arham. Selain itu juga ada Hak-hak atau bagian ahli waris Dzawil Furudh yang terbagi menjadi 6 bagian, yaitu : 1. Dzawul Furudh yang berhak menerima setengah (nishf) harta, ini terdiri dari lima orang, yaitu : suami, anak perempuan, anak perempuannya anak laki-laki, saudara perempuan sekandung, dan saudara perempuan seayah, 2. Dzawul Furudh yang berhak menerima seperempat (rubu') harta, terdiri dari dua orang yaitu : suami dan istri, 3. Dzawul Furudh yang berhak menerima seperdelapan (tsumun) harta, yaitu bagian seorang ahli waris dari beberapa ahli waris, yaitu seorang istri atau lebih dengan syarat jika orang yang meninggal mempunyai anak laki-laki atau anaknya anak laki-laki, 4. Dzawul Furudh yang berhak menerima dua pertiga (tsulutsani) harta, terdiri dari empat orang yaitu : dua orang anak perempuan atau lebih, dua anak perempuan atau lebih dari anak laki-laki, dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih dan dua orang saudara perempuan seayah atau lebih, 5. Dzawul Furudh yang berhak menerima sepertiga (tsulust) harta, terdiri atas dua orang yaitu : ibu dan beberapa orang saudara laki-laki atau perempuan seibu, 6. Dzawul Furudh yang berhak menerima seperenam (sudus) hatya. sudus (seperenam) adalah fardhu bagi tujuh orang waris, yaitu : ayah, kakek sejati, ibu, nenek sejati, cucu perempuan dari anak lelaki, saudara perempuan seayah dan seorang anak ibu (saudara seibu).

Pada Bab IX, penulis menyampaikan dua poin pembahasan mengenai Ahli Waris Dzawil Arham dan Penyelesaian Haknya yaitu Definisi ahli waris dzawil arham dan Cara pembagian waris dzawil arham. Dalam buku ini secara umum pengertian Dzawil Arham adalah mencakup seluruh keluarga yang mempunyai hubungan kerabat dengan orang yang meninggal, baik yang termasuk ahli waris golongan ashhabul furudh, ashabah, maupun golongan lain. namun secara istilah adalah mereka (semua ahli waris) yang tidak memiliki bagian tertentu dalam Al-Qur'an dan Sunnah, serta bukan termasuk ashabah. Disini juga terdapat dua syarat yang harus dipenuhi oleh Dzawil Arham agar dapat menerima harta peninggalannya (warisan) kekerabatannya, yaitu : tidak ada ashhabul furudh dan ashabah, dan bersama salah seorang suami istri. Cara membagi Harta warisan Dzawil Arham yaitu : 1. jika ahli waris Dzawil arham yang akan menerima bagian itu hanya seorang diri, maka seluruh sisa harta yang sudah dibagikan kepada ashhabul furudh suami dan istri, dibagikan kepada dzawil arham semua, 2. jika ahli waris Dzawil Arham lebih dari seorang maka harus diklarifikasikan terlebih dahulu. Adapun rumpun-rumpun Dzawil arhama yaitu : 1. anak turunnya anak-anak si pewaris (cucu-cucu) yang tidak termasuk ashabul furudh dan ashabah, 2. Kakek ghairu shahih dan nenek-nenek ghairu shahih, 3. anak turunnya saudari-saudari yang tidak termasuk ashhabul furudh dan ashabah, 4. anak turunnya kakek dan nenek.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun