Radar buatan Rusia itu digadang dapat mendeteksi kehadiran kedua pesawat stealth paling canggih itu pada jarak 600 Km. Bahkan ketika pesawat itu sedang akan tinggal landas dari Jogja misalnya, radar Rusia yang dipasang di Jakarta, telah mampu mendeteksi. Perkara rudal serang kemudian diluncurkan, itu urusan strategi.
Selain Nebo-M, radar Kontainer stasioner milik Rusia yang lain, di atas cakrawala juga dapat mendeteksi target pada jarak 2000 kilometer. Itu seperti pesawat tempur kita sudah keburu ketahuan bahkan saat sedang akan tinggal lamdas dari Halim oleh radar Rusia itu yang ditempatkan dikepulauan Spratly milik China di LCS misalnya.
Artinya, tak ada visual dibutuhkan. Tak ada warna diperlukan bagi mata penjahat yang berniat tak baik ingin menyerang pesawat kepresidenan itu dong?
Sepertinya, warna biru menjadi merah pada pesawat kepresidenan itu bukan soal esensial, itu terasa berbau politis. Biru Demokrat dan merah adalah PDIP. Ini seperti persaingan dua partai politik.
Bahwa Demokrat yang punya gagasan membeli pesawat kepresidenan itu pada 2014 berargumen warna biru dan putih demi keamanan, itu tidak 100% demi ide atau gagasan aman itu sendiri. Warna biru memang sangat tendensius.
Pun merah agar terlihat menjadi seperti warna bendera kita merah putih sebagai alasan, itu tak serta merta membebaskan PDIP dari argumen bahwa warna merah adalah identifikasi miliknya.
Beruntung pesawat kepresidenan itu tidak dicat dengan warna kuning. Selain Golkar tak lagi sebagai partai berkuasa, Golkar sudah kenyang dan bosan dengan politik warna.
Justru partai Golkarlah yang kini terlihat sebagai pemenang. Politik warna sebagai warisannya dijadikan sebagai rebutan dua partai berpengaruh di negeri ini. Ingat dong "KUNINGISASI" lima tahunan pada setiap pemilu di jaman Soeharto?
Ya, rakyat sebagai pemilih diajak (dipaksa) memilih warna bukan program.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H