Mohon tunggu...
Salman
Salman Mohon Tunggu... Lainnya - Anak Kampung

Menulis untuk mengasah pikiran dan berdiskusi untuk memahami.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Demokrasi Konyol ala Indonesia, Melawan Kotak Kosong

4 Desember 2024   13:58 Diperbarui: 4 Desember 2024   14:16 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Simpelnya jika dalam survey seorang calon kepala daerah mendapatkan suara 70 persen lebih atau beda lebih 50 persen dengan pesaing terdekatnya maka hampir bisa dipastikan bahwa calon tersebut akan memenangi kontestasi. Sedangkan jika hasil survey belum menunjukkan perbedaan signifikan maka kontestasi dapat dilanjutkan. Inilah guna ilmu statistika dalam membuat keputusan. Maka uang triliunan bisa dihemat, contoh ini terjadi di pilkada Provinsi Jawa Barat Tahun 2024 yang dimenangkan oleh Dedi Mulyadi.

Melemahkan Kesadaran Rakyat

Yang lebih mengkhawatirkan adalah dampaknya pada kesadaran politik rakyat. Dalam skenario melawan kotak kosong, masyarakat tidak dihadapkan pada perdebatan program dan visi-misi, tetapi hanya pada pilihan pasif. Ini melemahkan daya kritis masyarakat, yang seharusnya menjadi inti dari demokrasi.

Alih-alih mendorong rakyat untuk aktif berpartisipasi, demokrasi ala kotak kosong justru mengajarkan apati. Ketika orang merasa suara mereka tidak berarti, atau bahwa tidak ada perubahan nyata yang bisa diharapkan, demokrasi kehilangan makna sejatinya.

Revolusi Pemikiran Demokrasi

Indonesia butuh revolusi pemikiran tentang demokrasi. Kita tidak bisa terus-menerus menerima status quo yang menampilkan kotak kosong sebagai mekanisme wajar. Partai politik harus bertanggung jawab atas regenerasi kader, membuka pintu bagi calon-calon berkualitas dari berbagai latar belakang, dan benar-benar menjalankan fungsi mereka sebagai institusi demokrasi.

Di sisi lain, rakyat harus lebih berani menuntut. Pilkada bukanlah sekadar rutinitas lima tahunan, melainkan momen krusial untuk menentukan arah daerah. Kita harus menolak terjebak dalam skenario tanpa pilihan ini. Demokrasi bukan tentang menang atau kalah; demokrasi adalah tentang pilihan yang berarti.

Melawan kotak kosong bukan hanya tentang menolak calon tunggal; ini adalah perjuangan untuk mengembalikan esensi demokrasi. Demokrasi tanpa kompetisi adalah demokrasi yang konyol. Kita tidak boleh berdiam diri. Sudah saatnya rakyat bangkit, menuntut sistem yang adil, partai yang berintegritas, dan pemimpin yang benar-benar layak memimpin.

Jika kita terus membiarkan kotak kosong menjadi bagian dari Pilkada, kita tidak hanya menertawakan demokrasi, tetapi juga masa depan kita sendiri. Pilkada 2024 harus menjadi titik balik, bukan hanya dalam praktik politik, tetapi dalam cara kita memaknai demokrasi di negeri ini, jika tidak Pancasila dihapus saja sebagai dasar negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun